ChanelMuslim.com- Ada yang terdengar sumbang di suara menteri agama saat diskusi tentang ASN berjudul ‘ASN No Radikal’, Rabu (2/9). Menurutnya, paham radikal bisa masuk melalui orang-orang good looking, berpenampilan baik, hafiz, penguasaan bahasa arabnya bagus. Dari orang inilah akan masuk kemudian paham dan orang-orang radikal ke dalam masjid di lembaga pemerintahan.
Suara yang terdengar sumbang ini pun memantik reaksi sejumlah pihak. Sejumlah tokoh Islam menilai, penyataan ini menyakitkan umat Islam. Hal tersebut di antaranya disampaikan Wakil Ketua MUI, Muhyiddin Junaidi.
"MUI minta agar Menag menarik semua tuduhannya yang tak mendasar karena itu sangat menyakitkan dan mencederai perasaan umat Islam yang sudah punya andil besar dalam memerdekakan negara ini dan mengisi kemerdekaan dengan karya nyata," ungkapnya seperti dilansir laman detikcom, akhir pekan lalu.
Dari pihak Menag, pernyataannya itu tidak bermaksud seperti yang diresponkan, karena pernyataan itu dalam kaitannya dengan diskusi internal di ASN dengan tema radikalisme. Dan masih menurut pihak Menag, siapa pun yang tidak memiliki niat buruk mestinya tidak tersinggung.
Selesaikah ketidaknyamanan di tingkat elit ini? Setidaknya, masih ada pro kontra tentang pernyataan itu. Walaupun hal tersebut bisa dibilang hal biasa di alam demokrasi yang dianut Indonesia.
Masalahnya adalah kenapa propaganda anti radikalisme selama ini cenderung dialamatkan ke Islam. Untuk di Menag saja, setidaknya sudah dua kali pernyataan serupa dilontarkan. Yaitu, soal fenomena celana cingkrang di kalangan ASN.
Padahal, radikalisme juga dinilai tumbuh subur di agama lain. Bahkan, radikalisme ini sudah mengarah kepada gerakan separatisme seperti yang kini masih terjadi di sebagian Indonesia Timur seperti Ambon dan Papua.
Hal yang lain adalah diskusi tentang wujud paham radikalisme sendiri masih belum selesai. Belum ada kesepakatan bersama apa yang dimaksud dengan radikalisme. Yang muncul dan berkembang bahwa radikalisme ingin mengganti negara Pancasila menjadi negara agama.
Jika wujud ini tidak tergambar jelas, tidak heran jika radikalisme bisa dipersepsikan menurut selera penyebarnya. Apakah itu celana cingkrang, good looking, hafiz Quran, pandai bahasa Arab, kopiah bulat, baju gamis Arab, cadar, dan entah wujud-wujud lain yang bisa dibelokkan ke segala arah.
Hal yang mungkin tidak disadari Menag sendiri bahwa simbol-simbol Islam dalam sosok umatnya akan menjadi wujud yang menakutkan. Tiba-tiba, anak-anak muda yang gemar berkopiah, mengenakan busana gamis, celana cingkrang, kemampuan bahasa Arab yang bagus, dan bahkan hafiz Quran menjadi bayangan sosok lain yang tidak biasanya. Bukan lagi sosok yang menyenangkan dan membanggakan sebagai generasi bangsa yang saleh, tapi sebagai agen gerakan radikalisme yang menakutkan.
Menariknya lagi, kenapa rezim ini begitu rajin menyuarakan bahaya radikalisme yang dialamatkan ke umat Islam sementara melupakan bahaya laten komunisme yang sudah jelas-jelas ditulis dalam amanat konstitusi bangsa ini.
Melalui perjalanan sejarah yang panjang, bangsa ini tidak lagi akan terpedaya dengan maling teriak maling. Bangsa ini tidak akan terpedaya dengan mereka yang gemar teriak aku Pancasila dan lainnya sebagai sosok yang pancasialis. Karena, tokoh PKI seperti DN Aidit, setahun sebelum melakukan kudeta berdarah di 30 September 1965 menerbitkan bukunya yang berjudul ‘Membela Pancasila’.
Tidak tertutup kemungkinan, semakin sering elit pemerintahan ini berteriak-teriak tentang bahaya radikalisme Islam, semakin kuat kecurigaan dan ketidaksukaan mayoritas bangsa ini terhadap rezim yang berkuasa. Dan itu akan memunculkan hal yang tidak produktif dalam proses pembangunan bangsa.
Keadaan pandemi saja sudah sangat menyusahkan rakyat Indonesia, janganlah lagi ditambah dengan “suara sumbang” yang terasa sangat menyakitkan. (Mh)