ChanelMuslim.com- PSBB atau pembatasan sosial berskala besar kini mulai memasuki babak baru. Ada tarik-menarik antara kepentingan kesehatan dan ekonomi. Di sisi kesehatan, PSBB harus tetap ketat. Tapi, di sisi ekonomi, PSBB nyaris mencekik.
Indonesia tidak menganut mazhab lockdown seperti yang dilakukan beberapa negara di dunia. Hal ini karena pertimbangan kemampuan finansial Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Terpilihlah mazhab PSBB: lebih ketat dari sekadar social distancing, tapi lebih longgar dari lockdown.
Dalam mazhab PSBB, warga masih bebas keluar rumah tanpa harus diawasi aparat. Ada yang keluar untuk belanja, berdagang, bekerja, atau mungkin ada yang hanya sekadar “cari angin” dengan berkeliling jalan raya.
Selama tidak berkerumun, dalam mazhab PSBB, warga bisa bebas melakukan aktivitas di luar rumah. Kereta Jabodetabek pun masih tetap beroperasi.
Dengan kata lain, mazhab PSBB memberikan sinyal bahwa pemerintah tidak bisa menutup seratus persen akses warga demi kepentingan kesehatan. Silakan warga mencari uang, beraktivitas sosial, dan lainnya, tapi jangan berkerumun, bermasker, dan lainnya.
Berbeda dengan mazhab lockdown yang super ketat. Warga dilarang keluar rumah kecuali tiga tujuan: ke rumah sakit, toko obat, dan belanja makanan. Warga yang keluar rumah akan dicegat aparat keamanan untuk diperiksa, dibuntuti, dan jika melanggar akan kena denda yang lumayan besar.
Namun begitu, walau dengan mazhab PSBB pun, daya tahan ekonomi negara dan warga sudah nyaris di ujung tanduk. Asosiasi pengusaha sudah berteriak-teriak, sektor UMKM sedang berada pada titik kritis. Para pengusaha besar memprediksi, daya tahan mereka hanya bisa sampai hingga bulan Juni. Apalagi, pengusaha kecil yang tentu lebih rentan.
Inilah dilema, antara kepentingan kesehatan dan ekonomi. Bahkan, ada pengusaha kecil yang berujar, “Kami mungkin tidak mati karena wabah. Tapi, entah kami bisa bertahan hidup karena tidak ada yang bisa dimakan.”
Pekan ini, akhirnya menjadi hari-hari yang paling sibuk buat pemegang kebijakan. Menkopolhukam, Mahfud MD, menceritakan hal itu kepada media. Menurutnya, hampir tiap hari rapat kabinet terus digelar untuk mencermati perkembangan “angka-angka”.
Publik menafsirkan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan untuk melakukan pelonggaran aturan PSBB. Padahal, kenaikan angka wabah terus berlangsung dan belum ada tanda-tanda pemulihan yang signifikan.
Dalam situasi seperti ini, pertanyaannya berujung pada satu hal: mana yang harus diutamakan, kepentingan kesehatan atau ekonomi? Sebuah pilihan yang teramat sulit dalam situasi kantong negara dan warga yang kian menipis.
Belajar dari “Lockdown” Nabi Yusuf
Dalam Surah Yusuf, Allah swt. menganugerahkan Nabi Yusuf kendali kekuasaan dalam situasi khusus. Hal itu sesuai tafsir mimpi Nabi Yusuf bahwa dunia akan mengalami dua keadaan ekstrim dalam kurun dua kali 7 tahun. Kurun pertama, dunia mengalami kesuburan. Dan kurun kedua, akan ada masa paceklik yang super hebat.
Kebijakan yang diambil Nabi Yusuf adalah mengumpulkan sebanyak-banyaknya hasil pertanian untuk kurun pertama. Tidak boleh ada konsumsi selama kurun itu, kecuali sekadarnya. Sekali lagi, sekadarnya. Siapa pun yang melanggar akan kena hukuman.
Bayangkan, betapa sulitnya aturan ini untuk warga yang berlimpah panen. Mereka justru dipaksa untuk super hemat, di saat lumbung mereka berlimpah ruah. Dan terbukti, setelah kurun pertama berlalu, datang kurun kedua yang membuat mereka akhirnya sangat terpuaskan dengan kebijakan yang awalnya tidak mengenakan itu.
“Lockdown” ala Nabi Yusuf bukan dalam soal wabah. Tapi, dalam hal penghematan hasil panen untuk menghadapi masa paceklik yang mereka belum alami.
Penerapan kebijakan Nabi Yusuf ini sebenarnya jauh lebih sulit dibandingkan dengan lockdown di masa wabah seperti sekarang ini. Kalau warga dipaksa berhemat di masa susah, itu sudah sangat wajar. Tapi, betapa susahnya memaksa warga berhemat justru di saat logistik berlimpah.
Dan ingat, kebijakan “lockdown” Nabi Yusuf itu bukan hitungan bulan. Tapi, tahunan.
Pilihan dari dilema kesehatan dan ekonomi ini memang sangat sulit. Tapi, menarik apa yang pernah dipidatokan seorang presiden dari wilayah Afrika sana. “Kita mungkin bisa membangun kembali ekonomi yang sudah ambruk. Tapi, kita tidak akan mampu menghidupkan kembali orang yang sudah mati.” (Mh)