oleh: Nuim Hidayat
ChanelMuslim.com – “Kami mendengar Gus Wahid akan diangkat menjadi menteri, bagaimana itu? tanya seseorang. “Wa maa tadri maadzaa taksibu ghodan…” orang bisa beramal banyak dan bermanfaat di mana saja, sekalipun tidak menjadi menteri. Kebanyakan orang menganggap jabatan menteri itu kehormatan dan kemuliaan, padahal itu tak lebih dari sekadar amanat yang harus dipertanggungjawabkan,”kata Gus Wahid.
Ya. Gus Wahid, Wahid Hasyim menganggap jabatan menteri agama adalah amanat yang berat. Bukan untuk gengsi-gengsian atau pamer jabatan.
Dalam pesannya kepada generasi muda, Hasyim menyatakan,“Perjuangan bersenjata melawan Belanda akan segera berakhir hanya memerlukan beberapa tahun saja, dan kita akan menang, insya Allah. Tetapi perjuangan yang lebih lama dari itu adalah perjuangan politik, ekonomi, kebudayaan, dan pembangunan akhlak. Perjuangan itu akan berlangsung lama, memerlukan kebijaksanaan dan kesabaran.” (Lihat jejakislam.net)
Wahid Hasyim lahir di Jombang, Jawa Timur pada 1 Juni 1914. Ia anak tokoh pendiri NU, K.H. Hasyim Asy`ari dan Nyai Nafiqah binti Kiyai Ilyas.
Kecerdasan Hasyim sudah nampak sejak usianya masih sangat belia. Pada usia 7 tahun ia sudah khatam Alquran dengan mendapat bimbingan langsung dari ayahnya. Pada usia itu, ia sudah belajar kitab Fathul Qarib, Minhajul Qawim dan Mutammimah pada ayahnya. Pada usia 13 tahun, Wahid dikirim ayahnya ke Pondok Pesantren Siwalan, Panji Sidoarjo. Di sana ia mempelajari kitab Bidayatul Hidayah, Sulamut Taufiq, Taqrib dan Tafsir Jalalain.
Pada usia 15 tahun, ia sudah mengenal huruf latin, menguasai bahasa Belanda dan Inggris tanpa pernah mengenyam pendidikan dari sekolah kolonial sedikitpun. Yang berperan membuat Wahid ahli berbahasa asing adalah ibunya, Nyai Nafiqoh. Dialah yang meminta orang Eropa yang bekerja sebagai manajer di Pabrik Gula setempat mengajari putranya Bahasa Inggris dan Belanda. Hal itu dimaksudkan agar Wahid kelak bisa masuk pergaulan elite di perkotaan.
Pada usia 18 tahun, ia menunaikan ibadah Haji sekaligus bermukim selama 2 tahun di Makkah untuk memperdalam ilmu agama.
Dalam usia 20 tahun, anak sulung dari 10 bersaudara itu diminta ayahnya membantu mengajar dan membimbing para santri. ”Semua dawuh Gus Wahid ketika itu dianggap top,” kata almarhum Muchit Muzadi tokoh NU, murid dari Gus Wahid. “Ndak ada yang berani protes kalau beliau lagi mengetik.”
Gus Wahid hampir tiap malam mengetik di salah satu kamar di ujung kompleks
Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Tahun 1934 itu mesin ketik itu barang langka dan mewah.
Tertarik pada suara mesin ketik itu, Muchit dan sejumlah santri sering mengendap-endap, mengintip Wahid Hasyim dari balik jendela kamar. Muchit melihat kalau Gus Wahid tidak mengetik, biasanya ia membaca kitab atau buku.
Gus Salahuddin bercerita kepada Tempo, bahwa ayahnya yang memulai tradisi pendidikan non agama di Pesantren Tebu Ireng. Perombakan kurikulum ini dimulai dengan resmi dengan berdirinya Madrasah Nizamiyah, yang tempat belajarnya di serambi Masjid Tebu Ireng dengan siswa pertama 29 orang. Pelajarannya menggunakan tiga Bahasa: Arab, Belanda dan Inggris.
Pada September 1940, kepengurusan Majelis Islam A`la Indonesia (MIAI), berupa lima wakil perhimpunan anggota, disahkan. Di situlah Gus Wahid yang aktif di MIAI 1939, terpilih sebagai Ketua Pertama. Wahid yang baru berusia 26 tahun menjadi ketua, karena dianggap mewakili kharisma bapaknya, K.H. Hasyim Asyari.
Dalam sidang di Jombang, Wahid telah menghasilkan beberapa keputusan penting. Misalnya, pembentukan Komisi Pemberantas Penghinaan Islam. MIAI juga berhasil memulangkan lebih dari 900 orang Islam Indonesia yang telantar di Mekkah.
Puncaknya, pada saat kongres di Solo, MIAI di bawah Wahid memutuskan pelarangan bantuan milisi untuk Belanda, karena dianggap sebagai bantuan kepada orang kafir. MIAI juga melarang transfer darah untuk membantu peperangan Belanda. Selain itu, MIAI menuntut perubahan tata negara: Indonesia berparlemen berdasarkan Islam.
Kiprah Wahid di MIAI tak lama. Pada September 1941, setahun setelah menjadi Ketua MIAI, ia mengundurkan diri karena akan memimpin Pesantren Tebu Ireng menggantikan bapaknya, Kiyai Hasyim Asyari.
Wahid juga memimpin buletin Suluh Nahdhatul Ulama. Selain sebagai pemimpin, Wahid juga seorang penulis. Banyak tulisannya yang dimuat di Suara NU dan Berita NU.
Tahun 1949-1950, Wahid diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri Agama. Saat menduduki jabatan itu, ia banyak melakukan hal yang penting dan strategis. Di antaranya, ia mengeluarkan Peraturan Pemerintah 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum.
Wahid juga mendirikan pendidikan guru agama di berbagai daerah antara lain: Jakarta, Bandung, Salatiga, Pamekasan, Tanjung Karang, Padang, Aceh, Tanjung Pinang dan Banjarmasin. Ia juga memelopori pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Penyelenggaraan PTAIN ini selanjutnya diatur dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan tertanggal 21 Oktober 1951 yang diteken Wahid Hasyim dan Mr Wongsonegoro. (Lihat buku: Nugroho Dewanto dan Redaksi KPG, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, KPG, 2016).
Sebelumnya, pada tahun 1943, saat menjadi Wakil Ketua Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), Wahid merintis pembentukan Barisan HIzbullah, yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan.
Peranan Wahid Hasyim juga cukup monumental ketika ia memperjuangkan kata Islam agar masuk menjadi konstitusi negara. Hal itu dimulai ketika BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 11 Juli 1945 mengadakan rapat pleno membahas isi Piagam Jakarta yang telah disahkan oleh Tim Sembilan pada 22 Juni 1945.
Tim Sembilan beranggotakan Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebardjo, Muhammad Yamin, dan Wahid Hasyim. Berusia 31 tahun, saat itu Wahid adalah Ketua Umum Nahdhatul Ulama.
Jadi pangkal utama perdebatan itu pada tujuh kata rancangan pembukaan UUD 1945: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Anggota BPUPKI seperti Latuharhary, Wongsonegoro, dan Hoesein Djajadiningrat mengungkapkan keberatannya. Mereka khawatir klausul itu menimbulkan dampak bagi pemeluk agama lain, bergesekan dengan hukum adat atau memaksa pelaksanaan ajaran Islam untuk pemeluknya.
Menanggapi keberatan itu, Wahid Hasyim di kursi nomor 50 dengan lantang mengatakan,”Ada yang menganggap kalimat ini tajam, ada juga yang menganggap kurang tajam.”
Untuk menenangkan rapat, Presiden Soekarno mengingatkan kembali bahwa tujuh kata itu merupakan kompromi dua kelompok: muslim nasionalis dan sekuler nasionalis. “Kalau kalimat ini tidak dimasukkan, tidak bisa diterima oleh kaum Islam,” katanya. Profesor Soepomo, anggota BPUPKI mengomentari perdebatan itu sebagai, ”polarisasi yang terbentuk sejak awal Badan Penyelidik bersidang: Indonesia sebagai negara Islam atau bukan.”
Sidang akhirnya menerima naskah itu, yang rencananya dijadikan Pembukaan UUD 1945. Dua hari kemudian BPUPKI kembali bersidang. Kali ini membahas isi konstitusi.
Wahid Hasyim kembali mengangkat tangan, mengajukan dua poin untuk mempertegas kedudukan Islam dalam negara melalui pasal soal presiden dan agama resmi negara. Menurut dia, pasal 4 ayat 2 yang mengatur presiden seharusnya berbunyi,”Yang dapat menjadi presiden dan wakil presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam.” Ia beragumen, hubungan masyarakat dan pemerintah penting sekali bagi masyarakat muslim. “Jika presiden orang Islam, perintah-perintah berbau Islam, dan akan besar pengaruhnya.”
Wahid melangkah lebih jauh. Ia mengusulkan pasal 28 mengenai agama berisi ketentuan yang secara jelas mengatur Islam sebagai agama negara. “Agama negara adalah Islam dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain…” Menurut Wahid ini penting bagi pembelaan negara saat diperlukan.
“Pada umumnya, pembelaan yang berdasarkan kepercayaan sangat hebat. Menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.” Pandangannya ini disokong Soekiman Wirjosandjojo, anggota panitia kecil yang membahas konstitusi. “Itu akan memuaskan rakyat,” kata politikus dari Partai Masjumi itu.
Setelah perdebatan panjang, poin-poin dari Wahid Hasyim ini diterima sebagai keputusan rapat oleh pimpinan rapat yang diketuai Presiden Soekarno.
Tapi keputusan yang telah dirundingkan berhari-hari itu, akhirnya mentah semua pada tanggal 18 Agustus 1945. Sehari setelah kemerdekaan, Soekarno dan Hatta memimpin rapat yang menghapus semua kata Islam, di konstitusi. Dan Wahid Hasyim yang gigih memperjuangkan pasal-pasal itu tidak diikutsertakan.
Meski kecewa, Wahid Hasyim yang kelak bergabung dengan Partai Masyumi tidak memberontak pada Soekarno. Mereka tetap memperjuangkan hukum-hukum Islam berlaku dengan cara yang konstitusional. Soldier never die.[ind]