ChanelMuslim.com- Di Hari Anak Nasional terdapat banyak masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Seperti, kekerasan seksual, kekerasan fisik dan isu radikal pada anak
Berdasarkan survey PPIM UIN Jakarta yang dimulai 1 September – 7 Oktober 2017 menyasar 2.181 orang muslim yang terdiri dari 1.522 siswa, 337 mahasiswa, 264 guru yang tersebar di 34 provinsi, 68 kabupaten dan kota di Indonesia.
Dari hasil survey tersebut memperlihatkan, sepertiga dari responden setuju bahwa Jihad adalah perang, 1 dari 5 siswa setuju bahwa bom bunuh diri adalah jihad, sepertiga dari mereka juga tidak mempermasalahkan jika orang yang murtad dibunuh, dan sepertiga Generasi Z setuju jika perbuatan intoleran kepada minoritas tidak masalah.
Menurut para responden, sumber rujukan mereka 50,89% berasal dari media sosial. Hasil Survey ini juga mengungkapkan 49% guru dan dosen tidak setuju jika pemerintah melindungi kelompok yang dianggap menyimpang. 86,55% guru dan dosen setuju pemerintah melarang keberadaan kelompok yang dianggap menyimpang.
Namun, yang jadi pertanyaan benarkah isu radikal telah menyasar pada anak-anak di Indonesia?
Ketua Komisi Pendidikan MUI, Sudarnoto Abdul Hadi mengatakan dalam Diskusi Publik; PR Pendidikan di Hari Anak, Sabtu (13/7/2019), bahwa terdapat 500 pemuda Indonesia yang berjihad ke Suriah.
Jihadnya 500 pemuda itu menurutnya adalah tindakan radikal dan tidak seharusnya dilakukan oleh anak-anak, bahkan orang Indonesia.
Ia berpendapat perlu ada pengawasan di sekolah-sekolah terhadap guru agama, bahkan di Taman Pendidikan Al Quran juga terpapar radikalisme.
“Masalah yang perlu diperhatikan pada hari anak selain dari kekerasan seksual, kekerasan fisik, seperti narkoba, terpaparnya paham radikal di pengajian bahkan di TPA,” katanya, Sabtu (21/7/2019).
Setelah dikonfirmasi apa yang dikatakannya, bukan temuan dirinya melainkan anaknya yang TPA diajarkan nilai-nilai radikalisme.
“Kalau pengalaman anak saya sendiri pernah ikut TPA, yang diajarkan tadi? Ya, tidak langsung jihad, misalnya begini, Indonesia adalah negara yang tidak ideal, karena kita tidak menerapkan syariat islam,” katanya.
Peraturan-peraturan yang tidak bersyariat islam, katanya, jangan dipakai.
“Itu yang terkait pandangan keislaman ya, jadi menyempit, membuat sikap anak ekslusif dan banyak anak-anak seperti ini,” tambahnya.
Temuan kemensos, katanya, banyak anak-anak dalam tingkat mengkhawatirkan yang ikut orangtuanya berpaham radikal.
Menghilangkan Pancasila?
Wakil Rektor UIN itu juga mengatakan bahwa pada akhirnya radikalisme yang mengakibatkan anak-anak di TPA dan pengajian bisa menghilangkan pancasila.
“Pada akhirnya kan seperti itu, dengan mengatakan satu-satu jalan agar kehidupan kita tentram nanti kan lama-lama kan jadi pandangannya, kok ada pancasila? Bukan syariat islam, anak-anak yang ekslusif itu akan menganggap pandangan ke orang lain curiga,” katanya.
TPA dan pengajian yang eksklusif itu, katanya, bisa mengkhawatirkan masa depan Indonesia.
“Pengalaman saya pribadi menjadi wakil rektor UIN, dari total mahasiswa UIN ada yang berpandangan radikal. Jika yang sedikit tidak diberi perhatian maka mustahil suatu saat mereka akan membesar,” tambahnya.
Menurutnya, pemerintah juga sudah lama mengatakan banyak perguruan tinggi negeri terpapar radikalisme.
“Namun harus cek ulang, karena indikator yang dikembangkan dan hasil survey mengatakan hal itu,” katanya.
Ideologi radikal itu, kata dia, dari mana? Yang pasti bukan dari kampus tetapi dari pengajian eksklusif.
“Kalau di runut, memungkinkan lembaga-lembaga umat swasta, jika tidak diberi perhatian khusus memungkinkan penyemaian berpaham radikal,” katanya.
Menurutnya pengajian itu harus rahmatan lil alamin yang membangun kedamaian dengan sesama orang meski itu berbeda agama.
“ Kalau ada survei untuk pemimpin non muslim, wah harus ditolak. Ini mesti harus menjadi perhatian kita, diskusi kita hari ini untuk memerhatikan pada pendidikan nilai. Nilai-nilai kalau saya bilang human values, nilai-nilai kemanusian yang dimiliki banyak orang tetapi jika nilai-nilai tidak dikembangkan maka pikiran kita akan eksklusif, mencurigai orang,” katanya
Upaya-upaya itu mendestruksi pancasila , kata dia, sudah lama dari gerakan kelompok tertentu menolak pancasila.
“Menolak demokrasi, bahwa pancasila ideologi sekuler, demokrasi itu tidak ada dalam ajaran islam. Itu sudah lama. Kita bersyukur bisa dipertahankan, tapi kedepan bagi anak-anak milenial harus menjadi perhatian,” katanya.
Mungkin saja, suatu hari anak-anak milenial ini, katanya, anak-anak pragmatis yang tidak memberikan perhatian yang penting pada Pancasial.
“Yang penting bisa hidup dengan baik, ekonomi baik, tapi tidak peduli. Gejala-gejala seperti ini , bisa merosotkan nilai-nilai pancasila. Sekarang, anak-anak muda banyak yang menyebarkan hoaks, itukan sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Terakhir pola pendidikan kita perlu diubah, anak-anak milenial ini tidak bisa juga didik dengan cara lama, mudah-mudahan bisa terselesaikan,” katanya
Pancasila Sudah Final
Berbeda pandangan dengan Sudarnoto Abdul Hadi, Pengurus Pusat Himpunan Dai Muda Indonesia (HDMI), Muhammad Irfan Abdul Aziz, Pancasila itu sudah final.
“Pancasila sudah final. Bahkan salah satu dari 4 pilar MPR RI, nggak bisa diganti,” katanya.
Apalagi, dasar negara kita ini dirumuskan oleh para ulama, seperti K.H. Wahid Hasyim dari Nahdlatul Ulama, Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimejo Persyarikatan Muhammadiyah) dan Teuku Muhammad Hasan dari Aceh
Dalam pertemuan itu juga dilaksanan di bulan Ramadhan, Sabtu, 18 Agustus 1945 M, bertepatan 10 Ramadhan 1364 H.
Pada pertemuan ini, dibicarakan tentang perubahan sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945 M, Jumat Kliwon, 11 Rajab 1364 H, yakni “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya“.
Bunyi sila pertama ini diambil dari isi Piagam Jakarta yang ditetapkan pada sidang BPUPK kedua sebelumnya pada 10 Juli 1945 M. Bahwa Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, telah disepakati oleh semua komponen bangsa Indonesia.
Pada 18 Agustus 1945 M, Piagam Jakarta yang sudah disepakati di BPUPK dihapus, dengan alasan ada keberatan dari pihak Kristen Indonesia Timur.
Konon, datang seorang utusan dari Indonesia Bagian Timur, melalui opsir Tentara Jepang yang waktu itu masih berwenang di Jakarta. Utusan tersebut menyampaikan pesan kepada Soekarno dan Hatta untuk mencabut “tujuh kata” yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Kalau tidak, umat Kristen di Indonesia sebelah Timur tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan.
Perubahan ini semula ditolak, baik oleh K.H. Wahid Hasyim maupun Ki Bagus Hadikusumo, seperti penolakan Bung Karno dalam Rapat Pleno BPUPK pada 14 Juli 1945 M, sesudah penandatanganan Piagam Jakarta, dengan alasan telah disetujui oleh seluruh Panitia Sembilan.
Namun, Bung Hatta malah mengusulkan untuk menghapus “Tujuh Kata” dalam Piagam Jakarta yang telah disetujui Panitia Sembilan.
Dengan adanya pertemuan khusus kelima wakil di atas akan mudah disetujui penghapusan tersebut. Akhirnya, Ki Bagus Hadikusumo menyetujui penghapusan Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta tersebut, dengan syarat kata “Ketuhanan” ditambahkan dengan “Yang Maha Esa“.
Sehingga dengan ini tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila.
Di titik inilah, menjalankan Pancasila sama artinya mempraktekan Syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara.
Pemahaman Agama yang Benar menjadikan Anak Soleh dan Solehah Bukan Radikal
Berdasarkan kesimpulan ini, kata Irfan, Pancasila sudah final. “Apa yang diajarkan di TPA dan pengajian itu untuk memahamkan kepada anak mengenai agama yang benar,” katanya.
Pemahaman agama yang benar, kata ustaz muda ini, tidak akan mengantarkan anak menjadi keras / ekstrim (bukan radikal, karena artinya hal yang paling dasar).
“Maka, bila ada orang yang ekstrim, baik itu ekstrim keras (terlalu mempersulit) maupun ekstrim lunak (terlalu memudah-mudahkan), maka itu artinya dia belum memahami Islam dengan baik,” tambahnya.
Sedangkan yang dimaksud Islam rahmatan lil alamin yang paling utama adalah mengantarkan hidayah ke setiap manusia.
“Jadi rahmatan alamin itu bukan sebatas toleransi, tapi mengantarkan hidayah. Sebab hidayah itulah rahmat sesungguhnya,” kata pria yang juga penulis ini.
Mengenai memilih pemimpin muslim atau non muslim, kata Irfan, itu merupakan adalah hak setiap muslim.
“Memang salah kalau muslim memilih pemimpin yang muslim? Apalagi Indonesia mayoritas Islam,” katanya.
Adapun toleransi itu, kata dia, akan terbangun kalau setiap diri menghargai prinsipnya masing-masing.
“Sebab toleransi itu lahir. karena kita dapat menghargai. Bagaimana orang akan menghargai kita bila kita sendiri tidak menghargai diri kita. Begitupun sebaliknya,” tambahnya.
Jika dibilang, pengajian dan TPA itu radikal, kata Irfan, menghilangkan nilai-nilai rasa cinta tanah air itu tidak benar.
“Coba sebutkan dan ada sejarahnya tidak, umat Islam yang mengaji tidak peduli kepentingan bangsa?” tanyanya.
Justru dari pengajian-pengajian umum, dari pesantren, umat islam berhasil mempertahankan kemerdekaan.
“Intinya kalau ada orang yang jadi ekstrim baik radikal (istilah mereka) ataupun liberal, maka dia nggak paham agama,” katanya.
Senada dengan Irfan, orangtua dari Bekasi, Enjang mengatakan bahwa pendidikan di TPA itu tidak seperti isu yang dikabarkan.
“Belum ada membedakan kafir dan muslim. Penguatan Rukun Islam dan Rukun Iman lumayan porsinya. Ada hafalan juga, tapi tetap ada porsi budaya Nusantara, perpisahan TK, ada tari-tarian, lagu-lagu daerah,” katanya.
Meski demikian, anaknya bernama Biyu pernah menanyakan mengenai kawan-kawannya.
"Kok, teman Biyu di sekolah orang Islam semua?" tanya anak Enjang.
Enjang menjawab apa yang ditanyakan Biyu.
“Iya. Sekarang Islam semua. Soalnya TK Islam, SD Islam, tapi suatu saat kamu akan punya teman yang bukan orang Islam. Mungkin nanti saat kuliah, atau kerja,” nasehat Enjang pada anaknya.
Saya, kata Enjang, juga menjelaskan tetangga-tetangga yang non muslim. Ia menambahkan, selain TK, anaknya juga ikut TPA di Musholla.
“Di TPA musholla, yang ngajar santri Pesantren Tahfiz. Tidak ada mengenai apa yang dikatakan seperti mengenai jihad, kebencian kepada non muslim. Fokus mengenai tajwid saja,” kata pria yang bekerja di Cikarang ini.
Meski demikian anaknya yang kedua, Murad, menyukai Palestina. Lucunya, ingin membuat robot transformer buat bantu Palestina.
“Pemikirannya itu bukan didapat dari TPA, justru karena nonton konser amal Palestina,” katanya.
Namun, Enjang tetap menjelaskan mengapa harus mendukung Palestina. Pertama, karena merupakan negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
“Namun, sampai sekarang negara itu dijajah oleh Yahudi. Sebagai bentuk moral, kita harus dukung Palestina,” tambahnya.
Menurut Enjang, intinya, orangtua harus mengajak anak diskusi mengenai apa yang ia dengar dan lihat.
“Memang, intinya orangtua harus banyak ngobrol dengan anak,” katanya.
Perlukah TPA dan Pengajian?
Peneliti Maarif Institute, Abdullah Darraz pernah mengatakan dalam wawancara di BBC (25/6/2016) dalam penelitian di Garut Jawa Barat, sering kali orang tua membiarkan anak-anaknya mengikuti kelompok radikal, daripada anaknya terlibat tawuran atau narkoba.
Salah satu orangtua di Bekasi, Enjang, membenarkan pernyataan ini. Menurutnya, orangtua mana yang setuju jika membiarkan anak terlibat tawuran atau narkoba.
“Mengaji itu itu bukan mengikuti kelompok radikal. Justru memahamkan mengenai agama yang benar,” katanya.
Menurutnya, banyak anak-anak enggak ngaji. Nongkrong di jalanan.
“Sedangkan, emaknya sibuk maen hp dan sinetron. Bapaknya sibuk kerja,” tambahnya.
Pernyatan Enjang ini juga dibenarkan oleh Irfan. “Apa yang diajarkan di TPA dan pengajian itu untuk memahamkan kepada anak mengenai agama yang benar,” katanya.
Pemahaman agama yang benar, kata ustaz muda ini, tidak akan mengantarkan anak menjadi keras / ekstrim (bukan radikal, karena artinya hal yang paling dasar).
Ketua Komisi Pendidikan MUI, Sudarnoto Abdul Hadi pun mengatakan bahwa masih diperlukan TPA dan pengajian.
“Sebetulnya pendidikan agama Indonesia itu sudah lama sekali. Tokoh-tokoh, ulama kita yang menjadi besar. Mereka pergi haji, mukim lima hingga sepuluh tahun dan pulang menjadi ulama besar,” katanya.
Tokoh-tokoh itu mendidik masyarakat, membangun nasionalisme dan mendirikan republik ini.
“Kemudian, muncul pondok-pondok pesantren di desa-desa, di kota-kota. Lalu, muncul sekolah-sekolah Muhammadiyah, NU dan sebagainya. Itu melahirkan orang-orang yang siap berkontribusi kepada bangsa,” tambahnya.
Menurutnya pemerintah harus mendukung TPA, pengajian di masjid-masjid. Namun, harus dipantau
“Tetapi harus dipantau, ya sama saja sekolah-sekolah yang formal itu harus dipantau, tidak saja islam ya, saya kira setiap agama harus dimoderat dan itu harus dimulai dari keluarga,” katanya. (Mh/Ilham)