ChanelMuslim.com – Lagi-lagi Sumbar (Sumatera Barat). Sebelumnya ada persoalan aplikasi Injil Bahasa Minang, istilah kadrun dan tuduhan orang Sumbar terkebelakang. Sekarang muncul sebutan Sumbar tidak Pancasilais.
Apapun itu, Sumbar kini jadi perbincangan hangat ditengah publik. Tak hanya soal politik ternyata, Sumbar juga jadi prototipe kebangkitan ekonomi berbasis kerakyatan.
Sepanjang 10 tahun terakhir, Sumbar berkembang menjadi provinsi yang memprioritaskan pedagang kecil tradisional. Tidak ada satupun gerai alfamart, indomart, lawson, 7 eleven dan retail-retail raksasa di Sumbar.
Apakah tidak ada toko modern, ber-AC, tertata rapi, dan barang lengkap seperti toserba dan minimarket di Sumbar? Ada. Gerai minimarket tetap ada dan dikelola orang Minang dan pedagang lokal.
Ada Minang Mart, Serambi Mart, Salapan Mart, dan minimarket di sepanjang Jalan Khatib Sulaiman dan Jalan S.Parman, dikelola dengan mengutamakan produk UMKM. Sesuai julukannya : Padang (Pandai Dagang), karena orang Minang sejak dulu terkenal dengan jiwa dagangnya.
Dengan membangun perekonomian yang mengutamakan penduduk lokal ini, Sumbar menjadi Provinsi dengan tingkat kesejahteraan paling merata di Indonesia. Rasio Gini (tingkat kesenjangan) Sumbar hanya 0,312 (data BPS). Jauh dibawah Rasio Gini Nasional 0,391 pada rentang waktu yang sama. Artinya, konsep Ekonomi kerakyatan Sumbar berhasil mengatasi kesenjangan kaya dan miskin.
Ekonomi kerakyatan. Biasanya hanya jadi jargon partai politik jelang Pemilu. Tapi di Sumbar, telah nyata-nyata berhasil. Ini Pancasilais sejati. Ingat Sila ke-4 tentang Kerakyatan.
Itulah mengapa saat kehancuran ekonomi Nasional akibat terlindas wabah Covid-19, Sumbar masih mampu bertahan. Saat pertumbuhan Ekonomi Nasional Indonesia di kwartal I 2020 ada di 2,97% (year-on-year), Sumbar masih tumbuh diatas, 3,92% pada kwartal yang sama. Di kwartal II 2020 pun, saat perekonomian Nasional ambruk, minus (-)5,32%, Sumbar masih lebih baik 0,4% dibanding perekonomian Nasional.
Padahal, kekayaan sumber daya alam Sumbar tak “sesumbar” cadangan Migas dan Batubara di Provinsi lain.
Sebutlah misalnya batubara. Cadangan reserve proven batubara di Sumbar hanya 795 juta ton (data Kementerian ESDM, 2020). Bandingkan dengan Provinsi-provinsi yang ada di Kalimantan. Cadangan Batubara Kaltim 48,2 miliar ton, Kalbar 22,8 miliar ton, Kalsel 16,5 miliar ton, Kalteng 3,4 miliar ton.
Di sektor Minyak dan Gas Bumi, alih-alih punya sumber daya Migas. Kalaupun ada, itu baru reserve proven setahun terakhir. Ditemukan di cekungan ombilin, terletak dalam formasi batuan geologi untuk sumur gasnya di Kabupaten Sijunjung, dengan nama Blok South West Bukit Barisan.
Itu satu-satunya blok Migas di Sumbar yang sudah POD (Plant of Development). Itu pun baru tahun 2019 lalu. Dibanding blok Migas lain di tanah air yang sudah beroperasi puluhan tahun dan dikuasai kontraktor asing. Disini dibalik pertanyaannya, dimana pengamalan Pancasilanya untuk mereka yang menjual kekayaan alam tanah air untuk perusahaan migas dan batubara asing. _
(Buruak muko camin dibalah).
Bariak tando tak dalam, bakucak tando tak panuah (Dia mengaku benar dan pandai, tetapi kenyataannya justru sebaliknya).
Saat kepentingan ekonomi kapitalis yang dikuasai asing telah menyerobot kekayaan migas dan batubara hampir di seluruh Indonesia, Sumbar sepertinya akan tetap bertahan dengan ekonomi kerakyatannya.
Menariknya, meski telah terbukti membangun nagari berbasis ekonomi kerakyatan,
Sumbar tak pernah sesumbar dengan jargon-jargon kosong, karena jargon Sumbar adalah Di mano kain kabaju, diguntiang indaklah sadang, lah takanak mangko diungkai, dimano nagari namuah maju, Adat sajati nanlah hilang, dahan jo rantiang nan dipakai.
Kamajuan suatu negeri di Minangkabau, tidak akan dapat dicapai dengan baik, kalau ajaran Adat diamalkan tidak sepenuh hati dan tinggal sebutan.#
Adhi Azfar
(Orang Sumbar)
Sumber:
Adhi Azfar ST.,ME. : Sumbar Dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan