“BARAT memahami sejarah secara linear, dari zaman prasejarah, klasik, pertengahan, kemudian modern. Oleh karena itu, penggunaan istilah Golden Age dipahami sebagai sebuah masa yang tidak terulang. Sementara dalam Islam, kita meyakini bahwa masa kejayaan Islam itu akan berulang,” ujar Akmal Sjafril menyarikan hasil pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Kalimat ini disampaikan oleh Akmal selaku narasumber dalam perkuliahan ke-18 Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Jakarta 14 yang bertempat di aula INSISTS pada Rabu (08/01) malam dengan tema “Musim Semi Peradaban Islam”.
Akmal menjelaskan bahwa penulisan sejarah yang kerap diketahui masyarakat awam sebagai The Dark Ages, sebenarnya tidak menggambarkan sejarah seluruh umat manusia, namun hanya menggambarkan sejarah di negara-negara barat saja.
“Orang-orang barat suka menulis sejarah seakan-akan itu sejarah dunia, padahal itu adalah sejarah kalangan mereka sendiri,” ujar founder gerakan Indonesia Tanpa JIL (ITJ) tersebut.
Eropa pernah mengalami masa kegelapan pada rentang abad V-XV Masehi.
Zaman itu disebut zaman kegelapan karena Eropa mengalami kemunduran yang luar biasa bila dibandingkan dengan zaman klasiknya.
Faktor utama kemunduran tersebut yakni kejatuhan Romawi Barat, diikuti dengan wabah misterius yang disebut dengan black death, yang membunuh hampir 1/3 penduduk Eropa.
Wabah ini kemudian dikenal dengan wabah pes disebabkan kapal dagang Asia dan Afrika yang membawa tikus.
Pada masa itu, penduduk Eropa tidak memiliki sistem kekebalan yang sama seperti penduduk Asia dan Afrika, sehingga rentan tewas ketika terjangkit penyakit ini.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Akmal menjelaskan bahwa pada zaman kegelapan Eropa inilah, peradaban Islam menjadi sokoguru sains dan teknologi, terutama di Qurthuba dan Baghdad.
“Cordoba memiliki perpustakaan yang masif sekali, dengan 500.000 judul buku. Sementara di masa yang sama, perpustakaan di Prancis hanya memiliki 19 buku,” ungkap Akmal menjelaskan salah satu ketimpangan antara peradaban Islam dan barat saat itu.
Alumnus ITB dan UI tersebut juga menjabarkan beberapa tokoh ilmuwan Islam dan karya-karyanya, seperti Al-Jazari dengan Jam Gajah-nya yang sampai sekarang mekanisme pengoperasiannya masih menjadi misteri.
Kemudian Mariam al-Ijliya yang mengembangkan astrolabe, al-Biruni yang menghitung diameter Bumi sekaligus dianggap sebagai bapak indologi atas jasanya menyusun karya ensiklopedi tentang kebudayaan India, al-Battani yang memprediksi jadwal gerhana, Ahmad ibn Fadhlan dari Baghdad yang menulis tentang bangsa Rus dari Negeri Ruusiyyah, dan masih banyak ilmuwan lainnya.
“Pada masa peradaban Islam inilah ilmu astronomi menjadi sangat berkembang. Hal ini dikarenakan orang-orang Muslim adalah yang pertama kali memisahkan antara astronomi dan astrologi. Memisahkan mana yang fakta, mana yang takhayul,” ujar Akmal.
Penulis buku Islam Liberal 101 tersebut menjelaskan bahwa revolusi kuliner juga terjadi pada masa itu.
SPI Jakarta, Musim Semi Peradaban Islam: Keniscayaan yang Akan Terulang
Hal tersebut dikarenakan peradaban Muslim yang cukup egaliter.
Buku-buku resep muncul di era Islam karena para bangsawan mempersilakan para kokinya untuk menuliskan resep agar masyarakat luas dapan menikmati hidangan yang lezat.
Umat Muslim juga yang pertama mengonsumsi kopi.
Kaum sufi menggunakannya tidak dalam jumlah banyak, dengan tujuan agar kuat menjalankan ibadah malam.
Kopi juga digunakan dalam perbincangan-perbincangan bisnis.
“Peradaban Islam identik dengan pendidikan. Di mana ada Islam, di situ ada madrasah. Para pemimpin besar seperti Nuruddin Zanki dan Shalahuddin Al-Ayyubi, meski dikenal karena keprajuritannya, mereka juga sangat menghargai ilmu dan pendidikan.” ungkap Akmal.
Menuntut ilmu adalah sesuatu yang wajib bagi seorang Muslim.
Baca juga: Perkuliahan SPI Jakarta: Antara Islam dan Pluralisme Agama
Berbeda dengan agama-agama lain, Islam tidak mengalami konflik dengan sains.
Tidak hanya diwajibkan, bahkan ada derajat tertentu yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan mengalami alam semesta.
Aqidah Islam menekankan sikap rasional, yaitu sikap anti takhayul dan cara berpikir yang tidak ilmiah.
“Sejatinya ilmu itu lezat. Jika sekarang antum tidak merasakan hal itu, coba gali sebab-sebabnya. Belajarlah terus, jangan dibuat stres, nikmati prosesnya, dan lihat sejauh apa nanti kita dapat melangkah. Siapa tahu kita bisa ikut berkontribusi untuk peradaban Islam,” pungkas Akmal pada akhir perkuliahan.
Salah seorang peserta, Alivia, mengungkapkan mengenai pentingnya untuk mengenal sejarah, “Seperti yang disampaikan Ustad Akmal, ilmu sejarah itu ilmu yang powerful. Dengan mempelajari musim semi peradaban Islam yang sebelumnya pernah terjadi, membuat kita dapat lebih bijak dalam bertindak dan mengambil peran untuk kemajian peradaban Islam di masa mendatang.”[Sdz]
Kontributor: Anggita Arief F