Chanelmuslim – Praktisi Pendidikan Nasional Rahmat S Syehani S.Pd M.Pd memberikan tanggapan atas riset yang dilakukan Dompet Dhuafa University. Menurutnya dengan menggunakan metode persepsi publik, jawaban riset itu sangat bergantung pada latar belakang responden.
Rahmat memberi contoh terkait akses pendidikan gratis. Ia mengatakan bahwa jawaban atas pertanyaan di atas bukan karena faktor tingkat pendidikan orang Indonesia melainkan budaya masyarakat yang senang gratis.
“Tapi masalahnya meski gratis proses pendidilan Indonesia berjalan seadanya karena sekolah tidak boleh menarik uang dan sekolah juga tidak boleh menarik uang dari siswa. Akibatnya tidak ada pengembangan SDM. Berbicara sekolah gratis tidak linear,” ucap Rahmat di Jakarta, Kamis (27/4).
Berikutnya terkait pengembangan kurikulum. Rahmat melihat kurikulum yang dilakukan pemerintah tidak melakukan riset, berbeda dengan Amerika yang melakukan riset untuk kurikulum selama delapan tahun, untuk itu dibutuhkan dana yang tak sedikit. Maka tak heran bila data yang dilansir DD University menunjukan angka hampir sama.
Selain itu, berbicara tentang sekolah gratis, pun tak lepas dari klaim dari setiap Gubernur, Walikota, dan Bupati, bahwa kalau mereka menjadi pemimpin akan membuat sekolah menjadi gratis. Namun yang kita rasakan justru masyarakat melihat jadi tidak gratis, apa sebabnya? Karena, bahwa pendidikan kita ini memiliki biaya yang cukup tinggi.
Rahmat mengaku pernah menulis tentang Ujian Nasional (UN), ambil contoh bahwa UN tidak perlu diadakan, siapa yang akan menjamin di pelosok anak-anak kita itu mendapatkan pendidikan yang baik? UN dibutuhkan, karena memiliki standar kurikulum, jika tidak ada UN, berarti tidak ada standar kurikulum yang terstandar.
Menurut Rahmat, tidak ada standar kurikulum berarti membolehkan setiap sekolah mengembangkan kurikulumnya sendiri-sendiri, baru kemudian tidak layak adanya UN, karena kurikulumnya berbeda satu sama lain. Dari situ akan berlanjut pada kepatutan, kelayakan, kemampuan sekolah mengembangkan kurikulum. Untuk kota besar, mungkin guru-guru pengajarnya masih dapat dikatakan mampu mengembangkan kurikulum, sementara untuk wilayah pelosok, apakah bisa bersaing untuk mengembangkan kurikulum tersebut? “Sistem pendidikan nasional masih rapuh, gampang diacak-acak, salah satu cara untuk tidak rapuh, yakni sistem pendidikan tidak bercampur dengan politik,” pungkasnya.