MALAYSIA mengalami ‘gangguan’ dari dalam dan luar. ‘Gangguan’ muncul setelah besaran tarif Trump tak kunjung tuntas.
Bukan hanya Thailand yang mengalami ‘gangguan’ pasca besaran tarif Trump tak kunjung tuntas. Malaysia pun kini seperti mengalami hal yang sama.
Hingga kini, Malaysia masih alot bernegosiasi dengan ‘tekanan’ tarif Trump. Pada April lalu, Trump ‘menembak’ tarif masuk produk Malaysia ke AS sebesar 25 persen. Jauh lebih kecil dari yang ditentukan untuk Indonesia dan Thailand.
Kalau Indonesia sudah dinilai ‘sukses’ menurunkan tarif menjadi 19 persen. Tapi Malaysia bernasib sama dengan Thailand. Kedua negara ini masih terus berusaha agar negosiasi tarif tersebut tidak merugikan.
Keuntungan Malaysia dan Kerugian AS
Berbeda dengan Indonesia yang nilai ekspor ke AS hanya sekitar 8 miliar dolar, besaran nilai ekspor Malaysia ke AS sebesar 52 miliar dolar. Sementara, impor dari AS sebesar 27 miliar.
Dengan kata lain, surplus perdagangan Malaysia ke AS mencapai sekitar 25 miliar dolar. Angka inilah yang mungkin menjadi ‘bidikan’ Trump untuk menekan Malaysia.
Produk-produk ekspor Malaysia ke AS antara lain kelapa sawit, minyak mentah, gas, dan olahan kelapa sawit.
Target Tarif Trump untuk Malaysia
Seperti halnya Indonesia, Trump tampaknya bersikeras agar Malaysia mau menerima besaran tarif untuk produk impor dari AS sebesar nol persen. Tapi, hal itu ditolak Malaysia.
Karena itulah, Trump menaikkan tarif impor dari Malaysia ke AS sebesar 25 persen dari sebelumnya 24 persen. Hal ini tentu akan menurunkan daya saing produk Malaysia yang masuk ke AS.
Tidak heran jika beberapa bulan terakhir ini, nilai ekspor Malaysia ke AS mengalami penurunan luar biasa. Bahkan hingga di angka 8 miliar dolar dari sebelumnya di atas 50 miliar.
‘Gangguan Dalam dan Luar’
Kalau Thailand mengalami ‘gangguan’ dari luar berupa serangan mendadak dari Kamboja, Malaysia mengalami ‘gangguan’ yang berbeda.
Pada Sabtu lalu (26/7), sekitar 18 ribu demonstran berunjuk rasa di pusat kota Kuala Lumpur.
Bisa dibilang, ini merupakan aksi demo terbesar sepanjang sejarah di Malaysia. Bahkan, di antara tokoh yang turun di demo tersebut ada mantan PM Malaysia: Mahathir Muhammad.
Mereka meminta agar PM Anwar Ibrahim turun. Bukan karena diduga melakukan korupsi, tapi karena dinilai tak mampu memberantas korupsi seperti yang dijanjikan dalam kampanye.
Itu di dalam negeri. Dari luar negeri tergolong ‘bahaya laten’. Yaitu, soal sengketa perbatasan antara Malaysia dan Indonesia.
Namun, sengketa Malaysia dengan Indonesia sepertinya berjalan tidak sesuai seperti yang dialami Kamboja dengan Thailand. Kamboja langsung menyerang habis-habisan.
Hal itu karena hubungan Malaysia dan Indonesia bukan sekadar hubungan sebagai negara bertetangga. Lebih dari itu, sebagai hubungan sesama saudara muslim dengan rumpun budaya melayu yang hampir sama.
Boleh jadi, kunjungan Anwar Ibrahim saat ini ke Prabowo sebagai bagian dari meredakan ‘gangguan’ itu. Anwar sepertinya bermain cantik, tidak terprovokasi. Begitu pun dengan pihak Indonesia.
Entah seperti apa lagi ‘ulah’ Trump untuk lebih menekan lagi tarif untuk Malaysia. Ujung-ujungnya cuma satu: Trump ingin AS untung dari hubungan dagang dengan Malaysia. Apa pun caranya. [Mh]