SEBUAH video menampakkan seorang ibu di Gaza yang sedang memasak.
Ternyata kompor yang digunakan untuk memasak tersebut ia rakit sendiri dengan menggunakan tenaga surya.
Ia memakai kaca bekas dari reruntuhan di sekitarnya untuk membuat alat ini.
Diketahui sang ibu adalah seorang insinyur sebelum penjajahan yang dilakukan Israel terjadi.
Tak hanya itu, sang ibu juga menciptakan alat penyaring air laut.
Video yang diposting oleh Kristinawati Hidajat, seorang relawan Palestina tersebut dibanjiri komentar positif netizen berisi kekaguman kepada warga Gaza.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
View this post on Instagram
“Mungkin ini alasan mengapa Allah sangat sayang terhadap warga Palestina, menguji mereka dengan penjajahan karna Allah tahu mereka pintar dan sanggup menjalaninya❤️ Peluk jauh untuk saudara/i kita,” ketik @citradinap di kolom komentar.
“Mengapa orang orang di Gaza hebat2 dan sangat mencintai ilmu? Sy baru tahu jawabannya,” ketik @afifahumm di kolom komentar.
Kristinawati Hidajat juga menuliskan bahwa menjadi seorang wanita haruslah pintar.
“Wanita itu harus pintar !! sedikitnya terdapat empat kecerdasan yang wajib dimiliki perempuan, meliputi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan finansial. Bukan untuk mengejar karier diluar rumah, tapi kepintaran wanita adalah untuk mencerdaskan anak keturunannya supaya bisa menjadi jariyah di akhir hidupnya. Inilah yang dilakukan wanita wanita Palestina di Gaza,” tulis Kristina.
Seorang Ibu di Gaza Menciptakan Alat Penyaring Air Laut dan Kompor Tenaga Surya
Baca juga: Wanita Gaza Ciptakan Produk Kecantikan dari Bahan Herbal
Di tengah gempuran genosida, wanita Palestina terus mempertahankan imannya.
Seperti cerita Shaymaa Abualatta, gadis berusia dua puluh tahun yang tinggal di kamp pengungsian.
“Ketika anak-anak perempuan selesai membaca Al-Quran, kami semua menangis dan bersyukur kepada Allah atas berkah yang luar biasa ini,” kata Shaymaa.
“Saya merasa sangat bersyukur melihat orang-orang memegang Al-Quran di hati mereka, terutama di masa-masa sulit ini. Itu sangat berkesan.”
Dalam upaya mereka untuk menemukan keadaan normal, Shaymaa dan orang lain di kamp pertama-tama beralih ke belajar dan mengajar anak-anak.
“Namun, ada satu hal yang memberi kami banyak kekuatan, yaitu Al-Quran. Jadi, kami harus mengembalikan Al-Quran,” katanya.
Mereka awalnya berkumpul di tenda Shaymaa, namun karena semakin banyak orang yang bergabung dengan lingkaran mereka atau halaqah, sebuah pertemuan keagamaan untuk mempelajari Islam dan Al-Quran.[Sdz]