SEKOLAH Pemikiran Islam (SPI) angkatan ke-14 telah memasuki pekan keempat belas.
Pada perkuliahan Rabu malam (27/11/2024), tema yang diangkat adalah “Nativisasi” dengan pemateri Dr. H. Tiar Anwar Bachtiar, S.S., M.Hum. Kuliah berlangsung di Aula Imam Ghazali INSISTS Jakarta Selatan.
“Apa itu nativisasi?” tanya sang pemateri mengawali perkuliahan malam itu.
Ia menjelaskan bahwa secara bahasa, nativisasi berasal dari kata native, yang berarti asli.
Dalam konteks ini, nativisasi merujuk pada kampanye keaslian, termasuk agama asli seperti Sunda Wiwitan, Kejawen, Kaharingan, dan lainnya.
Tiar juga menyoroti keberhasilan kampanye ini, terutama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan judicial review yang mengakui agama-agama lokal tersebut dalam KTP.
Namun, ia menyayangkan keputusan tersebut karena memicu berbagai persoalan administratif.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
“Jumlah penganutnya sangat sedikit,” ujar Tiar.
“Yang mengaku Sunda Wiwitan, misalnya, tidak sampai 1%. Meski MK sudah memutuskan, implementasinya di lapangan merepotkan. Misalnya, bagaimana mencatatnya secara administratif? Kelompoknya banyak, pemimpinnya beragam. Jadi, kalau disebut sebagai agama tersendiri, itu akan sangat rumit.”
Sebagai seorang doktor sejarah dari Universitas Indonesia, Tiar menilai bahwa klaim agama asli lokal tidak memiliki dasar historis yang kuat.
“Pada tahun berapa orang Jawa menganut Kejawen seperti yang dipraktikkan sekarang? Misalnya, orang Eropa pada zaman Julius Caesar punya bukti bahwa Katolik menjadi agama resmi dan masyarakat dipaksa memeluk Kristen. Lalu, kapan orang Jawa memiliki agama Kejawen seperti yang diakui saat ini?” tegasnya.
Ia melanjutkan dengan mempertanyakan keberadaan bukti sejarah sebelum Hindu-Buddha.
“Apakah ada bukti sejarah tentang agama asli sebelum Hindu-Buddha? Jadi, pengakuan terhadap agama asli itu tidak sesuai fakta historis.”
Perkuliahan SPI Jakarta, Nativisasi: Munculnya Klaim Agama-agama Lokal
Baca juga: SPI Jakarta: Bongkar Tuntas Keistimewaan Konsep Wahyu dan Kenabian dalam Islam
Lebih jauh, Tiar mengungkapkan bahwa klaim agama lokal ini adalah warisan kolonial Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia, khususnya antara kalangan santri dan kerajaan.
“Strategi divide et impera penjajah memang bertujuan memecah belah agar lebih mudah menguasai. Mereka melihat celah antara kerajaan dan pesantren, lalu memunculkan isu jati diri Jawa, sehingga mencoba memisahkan Jawa dari Islam,” paparnya.
Salah seorang peserta kuliah, Kamila Yasmine, mengungkapkan pendapatnya mengenai materi yang disampaikan malam itu.
Ia mengatakan, “Materi yang disampaikan sangat membuka wawasan. Saya jadi lebih memahami bahwa isu agama lokal ini tidak hanya tentang kepercayaan, tetapi juga terkait sejarah, politik, dan strategi kolonial yang masih berdampak hingga sekarang,” ujar Kamila.[Sdz]
Kontributor: Muhammad Iqbal