RUU Ketahanan Keluarga mempunyai posisi penting dalam mewujudkan pembangunan ramah keluarga karena kebijakan tersebut membutuhkan kolaborasi dan payung regulasi yang kuat.
Upaya menghadirkan pembangunan yang ramah keluarga terus menjadi perhatian para pemerhati kebijakan publik.
Dalam dialog “Potret Keluarga Indonesia di Tengah Arus Perubahan”, Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, pakar Ketahanan Keluarga dan Guru Besar IPB University, menekankan bahwa pembangunan yang memihak keluarga tidak mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri, baik oleh individu, komunitas, maupun lembaga tunggal, Sabtu (15/11/2025) secara daring.
Menurutnya, keluarga adalah unit sosial yang paling terdampak oleh setiap perubahan, sehingga kebijakan publik harus memastikan bahwa pembangunan tidak menimbulkan risiko dan kerentanan baru bagi mereka.
“Kita tidak bisa berharap satu lembaga menyelesaikan persoalan keluarga. Pembangunan ramah keluarga harus melibatkan pemerintah, dunia pendidikan, lembaga layanan, masyarakat, dan sektor swasta. Kolaborasi adalah kunci, bukan kerja parsial,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa setiap pembangunan memiliki konsekuensi. Karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan—baik yang berkaitan dengan ekonomi, infrastruktur, transportasi, perumahan, maupun transformasi digital—tidak menambah tekanan bagi keluarga. Banyak kebijakan pembangunan saat ini, menurutnya, kurang memperhitungkan dampak terhadap kehidupan keluarga, sehingga memunculkan beban sosial baru yang harus ditanggung masyarakat.
Baca juga: Prof. Euis: Kebijakan Pembangunan yang Ramah Keluarga Sangat Penting
“Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memastikan pembangunan tidak membawa risiko bagi keluarga, baik risiko sosial, psikologis, ekonomi, maupun moral,” tambahnya.
RUU Ketahanan Keluarga Sebagai Kerangka Utama
Dalam konteks tersebut, Prof. Euis menilai bahwa RUU Ketahanan Keluarga memegang posisi strategis. RUU ini dianggap bukan sekadar dokumen legal formal, tetapi kerangka besar yang dapat menyatukan arah kebijakan lintas sektor. Selama ini, program penguatan keluarga berlangsung secara terpisah dan tidak memiliki payung hukum yang dapat menyatukan berbagai kementerian dan lembaga.
RUU Ketahanan Keluarga memuat sejumlah prinsip penting, antara lain:
* penguatan fungsi keluarga dalam bidang pendidikan, perlindungan, ekonomi, dan pembinaan karakter;
* perlindungan keluarga dari kerentanan sosial dan digital, termasuk kekerasan, eksploitasi, dan tantangan era teknologi;
* koordinasi lintas kementerian dan lembaga agar kebijakan tidak berjalan terfragmentasi;
* penyediaan standar minimal pelayanan keluarga oleh pemerintah;
* penataan lingkungan dan tata ruang yang berpihak pada keluarga melalui ruang publik yang aman dan inklusif.
Bila RUU ini berjalan, pembangunan nasional akan memiliki acuan yang jelas dalam menempatkan keluarga sebagai pusat orientasi kebijakan.
“RUU Ketahanan Keluarga ini penting sebagai payung kebijakan. Tanpa regulasi yang kuat, pembangunan akan terus parsial. RUU ini memberi arah agar negara benar-benar hadir mendukung ketahanan keluarga secara sistematis,” jelasnya.
Ia menutup paparannya dengan menegaskan bahwa ketahanan keluarga adalah fondasi ketahanan bangsa. Keluarga bukan sekadar objek pembangunan, tetapi harus menjadi pusat orbit dari seluruh proses pembangunan nasional. Dengan demikian, setiap upaya pembangunan dapat membawa hasil yang lebih adil, berkelanjutan, dan benar-benar berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Baca juga: Euis Sunarti Paparkan Kekeliruan dalam RUU P-KS
Dialog Potret Keluarga Indonesia digelar dalam rangka memaknai Hari Ayah Nasional 2025 dan Milad Penggiat Keluarga (GiGa) Indonesia ke-11.
Kegiatan yang berlangsung secara daring ini dibagi menjadi dua sesi, yaitu panel tematik yang membahas Potret Keluarga Indonesia di Tengah Arus Perubahan dan sesi Desiminasi Hasil Survei Keluarga Indonesia.
Sesi 1 menghadirkan narasumber: Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si. (Ahli Pemberdayaan & Ketahanan Keluarga IPB) dengan Materi: “Ketahanan Keluarga di Tengah Krisis Kesehatan Mental, Ekonomi dan Liberalisasi Seksualitas”.
Ada pula Prof. Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, M.Si. (Ahli Sosiologi Pedesaan IPB) dengan materi: “Perubahan Sosial dan Lanskap Baru Kehidupan Keluarga Indonesia”, serta Achmad Nur Hidayat, M.P.P. (Pemikir Kebijakan Publik Indonesia) dengan materi: “Arah dan Dampak Kebijakan Publik terhadap Ketahanan Keluarga”.
Sementara itu, sesi 2 menghadirkan narasumber: Sinta Susanto Putri, S.P., M.Edu.(Ketua Indonesian Family Institute (IFI) GiGa Indonesia), dan Rahmi Damayanti, M.Si. (Ketua Gugus Tugas Data dan Informasi (DIRGA) GiGa Indonesia).[ind]




