MUI (Majelis Ulama Indonesia) mendukung akselerasi sertifikasi halal dengan penguatan kapasitas kelembagaan, di antaranya dengan memperbaiki tata kelola kelembagaan fatwa.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisi Fatwa MUI K.H. Asrorun Ni’am Sholeh, Kamis (29/12/2022), di Kantor MUI Pusat, Jakarta.
Ia mengatakan, salah satu bentuk komitmen MUI adalah dengan perbaikan tata kelola dan penguatan kapasitas kelembagaan fatwa.
Lima langkah yang dilakukan dalam perbaikan tata kelola tersebut, yaitu sebagai berikut.
1-Memperbanyak intensitas sidang
Dari yang semula seminggu sekali menjadi seminggu empat kali. Kapasitas seminggu lima hari, dan setiap hari 6 jam, dengan per sesi rapat 2 jam (sesuai dengan produk yang masuk).
2-Delegasi kewenangan
Komisi Fatwa MUI provinsi menangani hasil audit LPH tingkat provinsi untuk produk yang berskala lokal serta hasil self declare.
Sementara Komisi Fatwa MUI kota menangani hasil audit LPH tingkat kota untuk produk yang berskala lokal serta hasil self declare.
3-Membuat ruang paralel dalam sekali sidang
Sidang penetapan halal diredesain dengan sidang panel secara paralel. Kapasitas di MUI pusat, dengan jumlah anggota 73 orang, dibagi 14 panel. Kapasitas di MUI Provinsi, dibagi dalam 5 panel, dan di MUI Kabupaten/Kota 2 panel.
4-Digitalisasi
Sidang penetapan halal dilakukan secara hybrid memanfaatkan teknologi digital.
5-Koordinasi lintas lembaga
Membangun kesepahaman (standar dan acuan syari yang harus dipedomani pelaku usaha, BPJPH, dan stakeholders halal) dan mengoptimalkan daya dukung.
Baca Juga: Ketua MUI Ajak Umat Waspadai Perilaku dan Kampanye Lesbian
MUI Dukung Akselerasi Sertifikasi Halal dengan Penguatan Kapasitas Kelembagaan
Menanggapi komplain terkait MUI menjadi faktor penghambat percepatan halal, Asrorun menanggapi dengan data.
“Dalam setahun, MUI Pusat menghasilkan 5.040.000 laporan, MUI Provinsi 30.600.000 laporan, dan MUI Kabupaten/Kota sebanyak 72.000.i 000 laporan,” tambahnya.
Data itu menegaskan bahwa kapasitas kelembagaan MUI untuk sidang halal masih cukup mampu.
“Jumlah yang produk yang disidangkan MUI Pusat per 28 Desember 2022 yaitu 105.326 pelaku usaha dalam 114 kali sidang. Artinya, ada 901 rerata produk per sidang,” jelasnya.
Laporan ini menunjukkan kinerja MUI dan menunjukkan komitmen pendukungan terhadap upaya akselerasi sertifikasi halal terhadap pelaku usaha.
Sertifikasi halal, lanjut Asrorun, merupakan bagian dari perkhidmatan MUI dalam memberikan perlindungan umat dari konsumsi barang yang tidak jelas.
“Karenanya, MUI memberikan dukungan optimal dalam upaya percepatan sertifikasi halal dan peningkatan cakupannya dengan tetap menjaga ketepatan aspek syarinya,” kata Asrorun.
Cepat tetapi harus tetap tepat. Itulah motto yang dipegang oleh MUI dalam upayanya menerbitkan sertifikat halal.
“Data ini menjawab anggapan sebagian orang yang menyatakan bahwa faktor lambannya proses sertifikasi halal itu di MUI. Selama ini, tuduhan tersebut muncul secara liar, namun MUI tidak pernah merespon secara reaktif,” tambahnya.
MUI terus melakukan pembenahan internal untuk mendukung program percepatan sertifikasi halal.
Karena sejak awal, MUI memiliki pandangan tentang pentingnya jaminan produk halal bagi masyarakat muslim, dan komitmen pemerintah ini perlu didukung secara optimal.
“Namun, anggapan bahwa MUI menjadi penghambat proses sertifikasi halal sudah masuk pada tahap yang perlu diklarifikasi, karena dianggap sebagai sebuah kebenaran dan bahkan menjadi salah satu dasar bagi pengambil kebijakan,” lanjutnya.
Penjelasan ini sekaligus menjadi informasi faktual dan menjawab keraguan pihak-pihak yang tidak tahu proses sertifikasi halal.
Kedudukan MUI dalam proses sertifikasi halal sesuai dengan mandat UU Nomor 3 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
“Penetapan kehalalan produk dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia dalam bentuk Ketetapan Halal (KH) sebagai landasan BPJPH mengeluarkan sertifikat halal,” kata Asrorun.
Perlu diketahui, dalam proses sertifikasi halal ini, MUI berkolaborasi dengan BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) dan LPH (Lembaga Pemeriksa Halal).
Ketiganya memiliki fungsi tersendiri dalam proses penetapan sertifikat halal. MUI berfungsi menetapkan fatwa produk halal yang menjadi landasan penerbitan sertifikat halal.
Sebelum penetapan fatwa, proses pemeriksaan dilakukan dengan dua model, yaitu melalui LPH yang dilakukan oleh auditor dan melalui pernyataan pelaku usaha dengan didampingi oleh Pendamping Produk Halal (PPH).[ind]