ChanelMuslim.com – Nangroe Aceh Darussalam sebagai kota Serambi Mekkah sudah dikenal menerapkan hukum syariah dalam kehidupan bermayarakat. Banyak aturan-aturan bermasyarakat ditetapkan berdasarkan syariah Islam. Tetapi, meski mereka mentepkan syariah , Aceh tetaplah bagian dari Provinsi di tanah air sehingga ada aturan kewenangan Pemerintah secara nasional yang harus tetap dilaksanakan.
Sehingga dengan pertimbangan untuk memberikan kepastian, kejelasan, dan landasan hukum dalam menyelenggarakan kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 270 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 12 Februari 2015 lalu, telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah Yang Bersifat Nasional di Aceh.
Pasal 2 PP itu menegaskan, Pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di Aceh yang meliputi: a. urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal nasional; b. Urusan tertentu dalam bidang agama; dan c. Urusan pemerintahan yang bersifat nasional di Aceh.
“Kewenangan Pemerintah khusus untuk urusan keamanan menyangkut pengangkatan Pejabat Kepala Kepolisian Daerah, dan urusan yustisi menyangkut pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Aceh dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 3 PP tersebut.
Adapun kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional sebagaimana dimaksud meliputi: a. Pendidikan; b. Kesehatan; c. Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang; d. Perumahan dan Permukiman; e. Keamanan dan ketertiban umum serta perlindungan masyarakat; f. Sosial; g. Tenaga kerja; h. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; i. Pangan; j. Pertanahan; k. Lingkungan hidup; l. Kependudukan dan catatan sipil.
Selain itu: m. Pemberdayaan masyarakat dan gampong; n. Pengendalian penduduk dan keluarga berencana; o. Perhubungan; p. Komunikasi dan informatika; q. Koperasi dan usaha kecil dam menengah; r. Penanaman modal; s. Kepemudaan dan keolahragaan; t. Statistik; u. Persandian; v. Kebudayaan; w. Perpustakaan; x. Kearsipan; y. Kelautan dan perikanan; z. Pariwisata; aa. Pertanian; b. Kehutanan; cc. Energi dan sumber daya mineral; dd. Perdagangan; ee. Perindustrian; dan ff. Transmigrasi.
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015 itu menegaskan, kewenangan Pemerintah yang bersifat nasionald alam urusan energi dan sumber daya mineral pada sub bidang minyak dan gas bumi hanya untuk kegiatan usaha hilir.
Adapun kewenangan Pemerintah dalam urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral pada sub bidang minyak dan gas bumi untuk kegiatan usaha hulu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) tersendiri mengenai pengelolaan bersama minyak dan gas bumi di Aceh.
Penyelenggaraan Kewenangan
Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud, diselenggarakan dalam bentuk: a. penetapan kebijakan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria yang berlaku di Aceh oleh menteri/Kepala lembaga pemerintah non kementerian; b. fasilitasi, pembinaan, dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan di Aceh; dan c. pelaksanaan urusan pemerintahan sebagaimana tercantum dalam lampiran PP tersebut.
Menurut PP ini, dalam menyelenggarakan kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud, Pemerintah dapat: a. Melaksanakan sendiri; b. Melimpahkan sebagian kewenangan pemerintah kepada instansi vertikal atau kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah dalam rangka dekonsentrasi; atau c. Menugaskan sebagian kewenangan Pemerintah tersebut kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau pemerintah gampong atau nama lain bedasarkan asas perbantuan.
“Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai pendayaan yang dilakukan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Urusan pemerintahan yang yang ditugaskan kepada Pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota, dan gampong disertai pendanaan yang dilakukan sesuai dengan asas perbantuan,” bunyi Pasal 8 Ayat (1,2) PP tersebut.
Adapun kewenangan pengelolaan oleh Pemerintah Aceh terhadap pulau-pulau kecil, menurut PP ini, hanya meliputi pulau-pulau yang bukan merupakan batas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sementara pemberian hak dan izin yang berkaitan dengan tanah oleh Pemerintah Aceh untuk Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha, menurut PP ini, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun demikian, PP ini menegaskan, Pemerintah Kabupaten/Kota Aceh berhak mengusulkan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk pemberian hak dan izin yang berkaitan dengan tanah Hak Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha.
“Penetapan lokasi izin yang berkaitan dengan tanah oleh Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota di Aceh hanya untuk program yang berasal dari APBD Aceh/APBD Kabupaten/Kota. Penetapan lokasi izin yang berkaitan dengan tanah bagi program yang dananya berasal dari APBN dilakukan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional bersama-sama dengan Pemerintah Aceh,” bunyi Pasal 11 PP No. 3/2015 itu.
Mengenai kewenangan Pemerintah di Aceh yang belum diatur dan mempunyai eksternalitas nasional, menurut PP ini, tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Kewenangan tersebut akan ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dan mendapat pertimbangan Gubernur.
“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015 yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 12 Februari 2015 itu.(Pusdatin/ES)