TASRIH merupakan surat izin untuk mengikuti pelaksanaan ibadah haji. Data calon jamaah haji yang sudah mendapat tasrih akan masuk ke data haji pusat secara digital.
Jangan bayangkan kalau warga yang tinggal di Arab Saudi akan bebas-bebas saja mengikuti ibadah haji. Kalau belum mendapat tasrih, meskipun tinggal di Mekah, tidak diizinkan untuk mengikuti ibadah haji.
Lha, bukankah pelaksanaan haji bersifat terbuka? Sayangnya tidak juga. Karena setiap calon jamaah haji harus memiliki gelang yang berisi barcode, tanda sudah mendapat tasrih.
Untuk mendapat tasrih, warga yang tinggal di Saudi harus mendaftar ke kantor urusan haji di Saudi. Syaratnya, mereka harus memiliki kartu identitas resmi, vaksin meningitis, dan tidak pergi haji selama 5 tahun terakhir.
Tidak heran jika saat ini para pekerja, mahasiswa, dan warga lainnya yang sedang tinggal di Saudi atau Mekah tidak bisa begitu saja ‘nyelonong’ beribadah haji tanpa tasrih.
Hal ini dilakukan pemerintah Arab Saudi untuk mengendalikan jumlah jamaah agar tidak over kuota. Sekaligus, untuk menertibkan data peserta ibadah haji.
Bagaimana kalau memaksakan diri untuk menerobos masuk ke tempat-tempat pelaksanaan haji seperti Masjidil Haram, Mina, Muzdalifah, dan Arafah?
Jika menerobos, maka calon haji akan ditangkap aparat polisi atau tentara. Hukumannya bisa dua: denda dan penjara.
Dendanya juga lumayan besar. Yaitu, sekitar 10 ribu riyal atau sekitar 40 juta rupiah.
Di hari-hari puncak pelaksanaan ibadah haji seperti tanggal 8 dan 9 Zulhijjah seperti saat ini, razia ‘gelang’ barcode tasrih akan semakin gencar. Tanpa sungkan, aparat akan menangkap siapa pun yang melanggar meskipun sudah mengenakan busana ihram.
Jadi saat ini, jangan membayangkan betapa enaknya mereka yang kebetulan tinggal di Mekah karena bisa ibadah haji kapan saja.
Bayangan itu salah besar. Meskipun mereka tinggal di Arab Saudi, bahkan di Mekah sekali pun, tidak bisa seenaknya nyelonong mengikuti prosesi ibadah haji. [Mh]