Chanelmuslim.com – Menelusuri asal usul maulid dikalangan sunni Alwi Alatas menuliskannya dari berbagai literatur sejarah.
Maulid di Kalangan Sunni
Di antara informasi awal yang menyebutkan tentang adanya peringatan maulid di dunia Sunni adalah catatan perjalanan Ibn Jubair. Ia melintasi Mesir dari Aleksandria ke pelabuhan Aydzab, dalam perjalanan hajinya, antara bulan Dzul Hijjah 578 H (April 1183) dan Rabiul Awwal 579 H (Juli 1183). Setelah menetap di Tanah Haram dan melakukan ibadah haji, ia meneruskan perjalanan ke Irak dan Suriah sebelum kembali ke negerinya, Andalusia. Satu-satunya peringatan maulid yang ia sebutkan hanya berlangsung di kota Makkah yang berlangsung setiap bulan Rabiul Awwal. Itu pun tidak ia amati secara langsung, karena ia baru masuk ke Hijaz pada bulan Rabiul Akhir.
Maulid yang disebutkan oleh Ibn Jubair (2001: 111) berbeda dengan perayaan maulid yang kita kenal sekarang dan mungkin memiliki asal-usul yang lebih tua daripada maulid Fatimiyah. Maulid yang disebutkan oleh Ibn Jubair adalah pertemuan tiga makna maulid, yaitu waktu kelahiran, tempat kelahiran, serta aktivitas yang dilakukan terkait kedua hal itu.
Maulid yang dimaksud di sini adalah rumah tempat Nabi shallallahu alaihi wasallam dilahirkan di kota Makkah dibuka untuk umum pada setiap hari Senin di bulan Rabiul Awwal dan orang-orang berdatangan untuk mengharapkan keberkahannya. Jadi aktivitas maulid di sini hanya sebatas peningkatan kunjungan ke tempat Nabi dilahirkan, bukan dalam bentuk perayaan tertentu.
Sebagaimana disebutkan oleh Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wa-l-Nihayah jilid 3 (1997: 377), rumah Nabi ini telah diubah menjadi masjid oleh ibu Harun al-Rasyid, Khayzuran, sewaktu ia melaksanakan haji ke Makkah. Menurut Encyclopaedia of Islam jilid 6 (1991: 650, 895), hal ini terjadi pada tahun 789 M, jauh sebelum adanya Dinasti Fatimiyah. Mungkin sejak saat itu mulai terjadi peningkatan kunjungan oleh para peziarah, terutama pada bulan Rabiul Awwal, sebagai penghormatan dan ekspresi cinta mereka terhadap tempat dan waktu Nabi shallallahu alaihi wasallam dilahirkan.
Informasi lainnya tentang perayaan maulid pada masa itu datang dari Ibn Khallikan (w. 1282). Dalam Wafayat al-A’yan, ia menyebutkan tentang adanya perayaan maulid di kota Irbil, Irak, kota yang juga merupakan tempat kelahiran Ibn Khallikan sendiri. Perayaan maulid itu berlangsung pada tahun 604 H (1207/8), sekitar 14 tahun setelah wafatnya Shalahuddin, dan diadakan oleh gubernur kota Irbil, Muzaffaruddin Kukburi bin Zainuddin (w. 1233).
Muzaffaruddin merupakan adik ipar Shalahuddin melalui pernikahannya dengan Rabia Khatun binti Ayyub. Ia merupakan salah satu emir kepercayaan Shalahuddin dan menyertainya dalam banyak pertempuran, termasuk Pertempuran Hattin. Muzaffaruddin juga merupakan seorang yang banyak bersedekah. Ia membangun panti-panti untuk kepentingan orang-orang cacat serta para janda dan anak yatim, rumah sakit dan klinik bagi mereka yang sakit, madrasah bagi para pelajar, serta ribat kaum sufi, dan ia biasa mengunjungi tempat-tempat itu dan berinteraksi dengan orang-orang yang ada di dalamnya.
Ibn Khallikan menyebutkan secara detail banyak keutamaannya sebagai pemimpin yang jarang dimiliki oleh para penguasa selainnya.
Muzaffaruddin merayakan maulid secara besar-besaran di Irbil dan menyediakan dana yang banyak untuk keperluan itu. Para ulama, qari’, sufi, sastrawan, dan orang-orang lainnya berdatangan dari Baghdad, Mosul, Sinjar, dan kota-kota lainnya ke Irbil sejak bulan Muharram untuk menghadiri perayaan tersebut.
Kegiatan maulid di Irbil ini merupakan sebuah festival besar yang terbuka untuk masyarakat umum dan berlangsung selama sebulan lebih dan menampilkan musik-musik rohani serta pertunjukan lainnya. Puncak kegiatan maulid diadakan pada tanggal 8 atau 12 Rabiul Awwal secara bergantian setiap tahun mengikuti pendapat yang ada berkenaan dengan tanggal kelahiran Nabi shallallahu alaihi wassalam.
Saat ia menyiapkan perayaan maulid di tahun 1207/8 M sebagaimana disebutkan di atas, seorang ulama asal Andalusia, Ibn Dihyah, sedang dalam perjalanan ke Khurasan dan mampir di kota Irbil. Ia kemudian menulis sebuah buku berjudul Kitab al-Tanwir fi Maulid al-Siraj al-Munir sebagai hadiah kepada Muzaffaruddin dan sebagai bentuk dukungan atas perayaan maulid tersebut. Muzaffaruddin pun menghadiahi Ibn Dihyah 1000 dinar untuk kitabnya itu. Menurut Ibn Khallikan, nasab Ibn Dihyah dari pihak ayah bersambung kepada sahabat Nabi yang bernama Dihyah al-Kalbi ra. dan dari pihak ibu bersambung kepada Ali bin Musa al-Kadzim yang merupakan keturunan Hussain bin Ali bin Abi Thalib ra (Ibn Khallikan, 1843: 384-5, 537-41).
Ibn Khallikan tidak menyebutkan kapan perayaan maulid ini mulai dilakukan dan apa yang melatarbelakanginya. Namun, kita menemukan informasi tambahan tentang ini pada sebuah buku yang ditulis oleh Abu Syamah al-Maqdisi (w. 1268). Ia merupakan seorang ulama yang menulis sebuah kitab yang berharga tentang pemerintahan Nuruddin dan Shalahuddin serta peristiwa Perang Salib, yaitu Kitab al-Rawdatayn fi Akhbar al-Dawlatayn. Ia menyebutkan tentang perayaan maulid dalam bukunya yang lain yang berjudul Kitab al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bid’a wa-l-Hawadits (1990: 95-6). Ia menyebutkan bahwa yang pertama kali melakukan perayaan maulid (yawm mawlid al-Nabi shallallahu alaihi wasallam) adalah Syaikh Umar al-Malla’, “seorang soleh yang masyhur”, di kota Mosul. Hal itu kemudian diikuti oleh Muzaffaruddin dan yang lainnya.
Siapakah Syaikh Umar al-Malla’? Ia merupakan seorang yang hidup sederhana di zawiyahnya di kota Mosul dan banyak dikunjungi oleh para emir dan orang-orang lainnya. Nuruddin Mahmud Zanki merupakan sahabatnya. Ia sangat mempercayai Syaikh Umar al-Malla’, sering berkonsultasi dengannya, serta memakan makanan yang disediakan olehnya saat ia berkunjung ke kota Mosul.
Informasi tentang perayaan maulid oleh Syaikh Umar al-Malla’ ini membawa kita pada tahun yang lebih awal lagi dibanding yang diberikan oleh tulisan Ibn Khallikan dan Ibn Jubair. Perayaan maulid ini bahkan telah muncul sejak masa pemerintahan Nuruddin Mahmud Zanki (w. 1174), sebelum era Shalahuddin al-Ayyubi (w. 1193).
Jika Abu Syamah hanya menyebutkan sekilas di dalam Kitab al-Ba’its tentang perayaan maulid Syaikh Umar al-Malla’, informasi yang lebih detail bisa didapati dalam kitab al-Barq al-Shamikarya Imaduddin al-Katib al-Isfahani. Imaduddin mengawali karir di Baghdad, kemudian bekerja pada pemerintahan Nuruddin, dan setelah itu menjadi sekretaris Shalahuddin. Kitab al-Barq al-Shami berisi sejarah yang berkaitan dengan masa pemerintahan Shalahuddin. Kitab itu sebagian besarnya sudah hilang, tetapi ringkasan yang dibuat oleh al-Bundari, Sana al-Barq al-Shami, masih bisa dijumpai hingga sekarang ini.
Dalam Sana al-Barq al-Shami (1979: 52) disebutkan bahwa setiap tahun, pada hari-hari maulid Nabi (ayyam mawlid al-Nabi shallallahu alaihi wasallam), Syaikh Umar al-Malla’ biasa mengundang para emir, para penyair, dan lainnya untuk hadir ke tempatnya. Dalam kesempatan itu para penyair biasanya menyenandungkan puji-pujian terhadap Nabi (shallallahu alaihi wasallam). Setelah itu Imaduddin menjelaskan hubungan dekat Nuruddin dan Syaikh Umar serta masuknya Nuruddin ke Mosul ketika saudaranya yang memimpin kota itu wafat pada tahun 1171. Imaduddin menyebut Syaikh Umar sebagai rajulun min syuyukh al-shalihin wa a’imah al-arifin. (bersambung)
Sumber: http://inpasonline.com/new/mencari-asal-usul-maulid-nabi/