ChanelMuslim.com–Penolakan terhadap RUU P-KS (Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual) terus berlanjut. Bukan hanya di kota-kota besar. Namun sampai ke pelosok pedesaan Lampung.
Sabtu (23/2/2019), para ibu yang tinggal di Desa Penengahan Kecamatan Way Khilau Kabupaten Pesawaran Lampung, menyatakan menolak RUU P-KS disahkan. Penolakan ini dilakukan setelah mereka mendengar penjelasan yang disampaikan oleh sekjen AILA Indonesia Nurul Hidayati, MBA.
Desa Penengahan kecamatan Way Khilau terletak di Kabupaten Pesawaran paling barat. Untuk sampai di desa ini, dibutuhkan waktu tiga jam dari Kota Bandar Lampung. Walau letaknya yang jauh di pedalaman, namun para ibu di desa Way Khilau sangat haus ilmu. Ini terbukti dari banyaknya ibu yang mengikuti kajian yang disampaikan oleh Sekjen AILA Indonesia tersebut. Lebih dari 200 orang ibu dari Majelis Taklim Baytul Hidayah, Rahmat Hidayah, Al Hidayah dan Muslimat NU mengikuti pengajian ini.
“Ibu – ibu harus menjadi ibu yang produktif dalam mendidik anak-anak. Walau desa ini letaknya jauh dari kota, ibu-ibu harus tetap semangat dalam menimba ilmu. Karena untuk menjadi pribadi yang produktif, ibu juga harus rajin belajar, rajin membaca. Agar bisa berhati-hati dalam menerima informasi dari luar. Terutama tentang aturan-aturan yang tidak sesuai dengan norma, agama dan budaya kita,” jelas Nurul.
Sebagai muslimah pembentuk peradaban, para ibu jangan sampai kehilangan jati dirinya. Para ibu harus terus mendalami Islam yang penuh kemuliaan. Selain itu, harus waspada pada setiap pemahaman yang bertujuan untuk menghancurkan ketahanan keluarga. Pemahaman yang menjauhkan umat dari kemuliaan hidup yang sesuai dengan perintah Tuhan.
“Ibu – ibu harus waspada dengan pemahaman yang mengikis keyakinan kita sebagai umat beragama. Seperti pemahaman tentang konsep kedaulatan tubuh. Ibu – ibu, tubuh kita ini bukanlah milik kita. Tubuh kita milik Allah. Tubuh kita adalah amanah yang kelak harus kita pertanggungjawabkan kepada Allah,” pungkas Nurul.
Dalam penjelasannya, Nurul mengatakan “Jika benar-benar kita ingin melindungi korban perkosaan, maka seharusnya terminologi kejahatan seksuallah yang digunakan. Bukan ‘kekerasan seksual’ yang artinya bisa multitafsir.”
Selain itu, Nurul juga menjelaskan tentang filosofi RUU P-KS, filosofi RUU serta membedah naskah akademik (NA) yang menggunakan feminist legal theory. Juga diuraikan beberapa pasal dan istilah yang melahirkan multi tafsir dan berpotensi menimbulkan permasalahan baru bagi masyarakat.
Meskipun demikian, RUU P-KS masih dalam tahap pembahasan di Komisi 8 DPR RI dan direncanakan akan dipertajam kembali seusai agenda Pilpres pada April mendatang.[ind/rilis]