ChanelMuslim.com – Mahkamah konstitusi Austria, Jumat (11/12), membatalkan undang-undang yang diberlakukan tahun lalu yang melarang murid-murid SD mengenakan jilbab. Mahkamah menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak konstitusional dan diskriminatif.
“Apa yang disebut larangan jilbab di sekolah dasar dicabut karena tidak konstitusional," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Austria Christoph Grabenwarter.
Dalam pernyataan yang menjelaskan putusan tersebut, Mahkamah mengemukakan undang-undang itu “bertentangan dengan prinsip kesetaraan terkait dengan kebebasan beragama, berkeyakinan dan hati nurani.”
Undang-undang itu menghalangi anak-anak perempuan yang berusia kurang dari 10 tahun mengenakan jilbab. Dua siswi dan orang tua mereka telah mengajukan tantangan hukum terhadap undang-undang tersebut.
Undang-undang itu disahkan pada Mei 2019 oleh koalisi terdahulu dari Partai Rakyat (OeVP) yang berhaluan tengah kanan dan Partai Kebebasan (FPoE) yang ekstrem kanan, hanya beberapa hari sebelum pemerintah tumbang karena sebuah skandal korupsi.
Kanselir Sebastian Kurz yang konservatif terus menerus mengambil sikap keras mengenai imigrasi, dan sikapnya secara signifikan beririsan dengan sikap Partai Kebebasan, yang menyatakan Islam tidak punya tempat di tengah masyarakat Austria.
Juru bicara kedua partai ketika itu telah menjelaskan bahwa undang-undang tersebut menarget penutup kepala.
Namun, naskah legislasi itu berupaya menghindari tuduhan diskriminatif dengan menyebut melarang “baju yang dipengaruhi oleh agama atau ideologi yang berkaitan dengan menutup kepala.”
Akan tetapi, mahkamah menyatakan bahwa yang banyak dipahami adalah undang-undang itu menarget penutup kepala yang dikenakan Muslim.
Grabenwarter, sewaktu mengemukakan keputusan Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa larangan selektif tersebut diberlakukan hanya terhadap siswi Muslim dan karena itu memisahkan mereka secara diskriminatif dari para siswa lainnya.
Dengan peraturan ini, para legislator secara selektif menarget suatu bentuk spesifik busana yang terkonotasi dengan agama atau ideologi, yang diperbandingkan dengan busana lain terkonotasi agama atau ideologi lainnya yang tidak dilarang.
Pemerintah Partai Rakyat dan Partai Kebebasan sendiri memang telah menyatakan bahwa penutup kepala patka, yang dikenakan anak-anak Sikh, atau kippa, yang dikenakan umat Yahudi, tidak terimbas undang-undang tersebut.
Kurz kini memerintah dengan berkoalisi dengan Partai Hijau yang beraliran kiri sejak Januari lalu. Namun, kesepakatan koalisi mereka mencakup banyak kebijakan yang diperkenalkan sewaktu Kurz beraliansi dengan Partai Kebebasan, termasuk rencana memperluas larangan berjilbab bagi anak-anak perempuan berusia kurang dari 14 tahun. Program pemerintah yang sekarang ini menyatakan bahwa anak-anak harus dapat tumbuh besar “dengan sesedikit mungkin paksaan.” Satu-satunya contoh yang menyertai pernyataan itu adalah mengenakan berjilbab.
Menteri Pendidikan sekarang ini, Heinz Fassmann dari Partai Rakyat, mengatakan bahwa kementeriannya “akan mencatat putusan dan memperhatikan argumen-argumennya.”
“Saya menyesal karena anak-anak perempuan tidak memiliki kesempatan untuk menempuh sistem pendidikan yang bebas dari paksaan,” lanjutnya.
Dalam pernyataannya, mahkamah menyatakan bukannya mendorong pembauran, “larangan tersebut malah dapat mengarah pada diskriminasi karena berisiko mempersulit anak-anak perempuan Muslim mengakses pendidikan dan secara sosial mengucilkan mereka.”
IGGOe, sebuah lembaga yang diakui resmi sebagai perwakilan komunitas Muslim Austria, menyambut baik putusan tersebut dan menyatakan bahwa mahkamah telah mengakhiri “politik larangan yang populis.”
Ketua IGGOe Umit Vural mengemukakan dalam suatu pernyataan, “Kami tidak menerima sikap meremehkan terhadap perempuan yang memutuskan tidak mengenakan jilbab, tetapi kami juga tidak dapat menerima pembatasan kebebasan beragama kaum perempuan Muslim yang mengenakan jilbab yang mereka pahami sebagai bagian integral dari praktik keagamaan yang mereka jalani.”
IGGOe telah menyatakan ketika larangan itu dikeluarkan bahwa jika pun paksaan itu ada, hanya “sejumlah kecil” anak perempuan yang mengalaminya.[ah/voaindonesia]