ChanelMuslim.com-Di balik megahnya slogan Pulau Seribu Masjid juga destinasi halal internasional, Lombok ternyata menyimpan segudang permasalahan, khususnya yang menimpa kaum wanita. Setidaknya, ada tiga permasalahan perempuan di Lombok yang masih menjadi sorotan, yakni: tingginya angka pernikahan dini, meningkatnya jumlah perceraian, dan juga persoalan gizi buruk yang dipicu oleh kondisi ekonomi keluarga yang dilatarbelakangi salah satu pasangan menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri.
Bertahun-tahun lalu, Kakek Tuan Guru Bajang (TGB) Maulana Syekh Tuan Guru Haji M. Zainuddin Abdul Madjid adalah pendiri Nahdlatul Wathan (NW) ormas Islam terbesar di NTB berhasil menanamkan ghiroh membangun masjid secara fisik di Lombok. Setiap beliau ceramah, jamaah didorong untuk ‘melontar’ uang koin ke arah mimbar yang dibalut sarung atau kain panjang seolah-olah seperti melempar jumroh dalam ritual ibadah Haji. Tuan Guru Haji juga menyebarkan semangat bahwa siapa pun yang berkontribusi dalam membangun masjid maka pahalanya akan terus mengalir bahkan setelah wafat.
Namun perjuangan untuk mengisi dan memakmurkan masjid itulah yang menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi Gubernur NTB TGB M. Zainul Majdi dan penggantinya nanti.
Masjid sebagai pusat spiritual masyarakat Lombok belum mampu membangun karakter Islami masyarakat di sekitarnya, melainkan hanya yang bersifat ritual semata. Tarik menarik antara adat, budaya, dan agama Islam menjadikan masyarakat Lombok belum bisa move on sepenuhnya menjalankan syariah Islam. Sebagai contoh, tradisi kawin culik di Lombok memang terbukti mampu menekan perzinahan di kalangan remaja, tapi tingginya angka pernikahan dini akibat tradisi kawin culik itu memicu lonjakan jumlah perceraian di Lombok.
Tradisi kawin culik di Lombok adalah sebuah tradisi menuju pernikahan. Seorang wanita yang diculik oleh lelaki dalam waktu 1 x 24 jam (disembunyikan di sebuah rumah keluarga lelaki) dan diketahui oleh keluarga si wanita dan mereka menyetujui pasangan tersebut untuk menikah lalu terjadilah negosiasi pernikahan. Namun sialnya, jika sang wanita menolak untuk menikah, dia akan menjadi bahan cemoohan masyarakat serta dipandang membuat malu nama keluarga besarnya, bahkan harga diri wanita itu juga dinilai lebih rendah dibandingkan seorang janda. Oleh karena itu, setelah “diculik” wanita dan keluarganya biasanya dengan mudah menyelenggarakan pernikahan tanpa memedulikan usia anak, pendidikan, apalagi memberi bekal ilmu rumah tangga. Tak heran, tingginya jumlah pernikahan dini ini memicu perceraian di usia pernikahan yang tergolong belia.
Selain itu, minimnya aspek agama dan pengetahuan mengenai ilmu rumah tangga juga mengakibatkan tingginya angka pernikahan yang dilandasi syahwat semata, contohnya, di beberapa daerah terjadi seorang lelaki menikahi dua wanita sekaligus atau dalam kurun waktu sepekan. Hal ini terjadi karena wanita pertama awalnya tidak ingin menikah dengan lelaki tersebut, kemudian si lelaki menculik wanita lain dan terjadilah lamaran. Penculikan itu terdengar hingga ke keluarga wanita yang pertama dan merasa tidak terima dengan penculikan wanita kedua tersebut akhirnya meminta wanita pertama untuk diculik juga, dan akhirnya bisa ditebak, lelaki itu menikahi keduanya.
Menyoroti masalah ini, Wakil Gubernur NTB, H. Muh. Amin mengakui pernikahan dini di NTB sulit dikendalikan. Dilaporkan laman suarantb.com pada Kamis, 27 Juli 2017, Wagub NTB mengatakan pelaku usia dini berusia 15-19 tahun jumlahnya di atas 50 persen.
Amin menduga masyarakat masih memiliki pola pikir menikah dari sudut kenikmatannya saja. Termasuk menyangkut sikap mental, lingkungan dan kultur juga turut mengambil peranan. Meski telah sering dilakukan edukasi pada para remaja, namun faktor-faktor tersebut masih menjadi alasan para remaja di NTB menikah muda.
Menurut Amin, orang tua menganggap dengan menikahkan anaknya cepat-cepat, mereka akan lepas dari tanggung jawab sebagai orang tua.
Oleh sebab itu, ia mengaku diperlukan kerja keras untuk memberikan pemahaman pada masyarakat apa sesungguhnya pernikahan dini tersebut. Tak lupa pula akibat buruknya yang berbanding lurus dengan angka perceraian dan kemiskinan.
Menurut data BKKBN, angka pernikahan dini pada tahun 2015 di NTB masih tinggi. Rekor tertinggi dipegang oleh Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah, dengan angka 67,15 persen dan 63,28 persen.
Sementara untuk data perceraian, Pengadilan Agama (PA) Selong Kelas 1-B melaporkan untuk jenis perkara cerai talak dari bulan Januari hingga Desember 2015 yang diterima sebanyak, 214 perkara talak dan 961 perkara cerai gugat.
Dari jumlah itu perkara yang diputus, untuk cerai talak sebanyak 166 perkara, sedangkan untuk cerai gugat sebanyak 803 perkara. Adapun untuk tahun 2016, perkara cerai talak yang diterima mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yakni sebanyak 224 perkara. Namun untuk cerai gugat mengalami penurunan dari tahun 2015, yakni dari 961 perkara menjadi 952 perkara cerai gugat di tahun 2016.
Persoalan ketiga yang melanda keluarga di Lombok adalah gizi buruk di kalangan balita dan anak-anak. Sesungguhnya, gizi buruk ini erat kaitannya dengan dua permasalahan sebelumnya, yakni pernikahan dini dan perceraian. Pasangan pernikahan dini yang tidak memiliki bekal keilmuan tentang rumah tangga acapkali cekcok yang berujung pada perceraian atau juga karena desakan ekonomi, salah satu pasangan memilih jalan pintas menjadi TKI atau TKW ke luar negeri, akibatnya anak terbengkalai dengan pengasuhan seadanya.
Dilaporkan laman radarlombok.com, pada 17 Januari 2018, penderita gizi buruk tersebar di seluruh kabupaten/kota. Data per Oktober 2017, di Kota Mataram ada 31 kasus penderita gizi buruk. Kemudian Lombok Barat 30 kasus, Kabupaten Lombok Utara (KLU) 30 kasus, Lombok Tengah 24 kasus dan Lombok Timur 60 kasus.
Kemudian di Sumbawa Barat ada 3 kasus, Sumbawa 18 kasus, Dompu 18 kasus, Kabupaten Bima 11 kasus dan Kota Bima 9 kasus. Totalnya ada 214 kasus, 109 orang berjenis kelamin laki-laki dan 105 orang perempuan. Penderita gizi buruk terbanyak se-NTB ada di Lombok Timur.
Meski angkanya fluktuatif dan upaya pemerintah provinsi dalam menekan kasus gizi buruk mulai membuahkan hasil, namun permasalahan gizi buruk ini selalu muncul tiap tahun karena lagi-lagi akar persoalan dari kasus ini belum terselesaikan.
Humas Persaudaraan Muslimah (Salimah) Perwakilan Daerah (PD) Mataram, Dian Sosianti Handayani menyayangkan permasalahan yang menimpa perempuan dan keluarga di Lombok.
“Salimah sebagai organisasi yang peduli terhadap permasalahan perempuan, anak, dan keluarga sangat menyayangkan kasus-kasus ini terus berulang setiap tahunnya. Untuk itu, kami terus berupaya menggulirkan program untuk membangun kesadaran perempuan tentang ilmu pernikahan, mendidik anak, sekaligus memberdayakan mereka di bidang ekonomi,” ujar Dian ditemui ChanelMuslim.com di Mataram, Rabu (21/2/2018).
Permasalahan perempuan yang begitu kompleks di Lombok tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah saja, tapi juga harus ada langkah konkret dan sinergi dari berbagai pihak, lembaga sosial keagamaan dan ormas, dan tokoh ulama untuk mengembalikan ruh Lombok sebagai Pulau Seribu Masjid tak hanya menjadi slogan semata. (ind)