RUU Perampasan Aset menjadi salah satu yang diaspirasikan aksi unjuk rasa pekan lalu. Sekitar lima belas tahun, RUU ini terhambat di DPR.
Salah satu yang ‘diteriakkan’ aksi unjuk rasa besar pekan lalu adalah mandegnya RUU Perampasan Aset di DPR. Padahal, sudah tiga presiden meminta RUU ini disahkan: SBY, Jokowi, dan Prabowo.
Perjalanan Panjang
RUU yang menjadi alat pamungkas pemberantasan korupsi ini disusun oleh PPATK era SBY. Pada tahun 2008, PPATK saat itu menyusun RUU yang disinyalir sangat ditakuti koruptor itu. Dan sekitar tahun 2010, RUU ini diajukan masuk Prolegnas: Program Legislasi Nasional.
Pada tahun 2015-2019 atau DPR di masa Presiden Jokowi periode pertama, RUU itu masuk Prolegnas. Tapi, hingga periode DPR masa ini berakhir, RUU tersebut tak kunjung dibahas.
Pada tahun 2020-2024 atau DPR di masa Presiden Jokowi periode kedua, RUU ini juga diusulkan masuk Prolegnas. Sayangnya, DPR periode itu tidak menyetujui.
Pada tahun 2023, Presiden Jokowi bahkan mengirimkan Surpres atau Surat Presiden ke DPR. Isinya antara lain meminta DPR untuk segera membahas RUU tersebut. Sayangnya, hingga periode DPR ini berakhir, RUU itu tak kunjung selesai.
Pada tahun 2024, RUU ini kembali diajukan pemerintah masuk Prolegnas periode DPR 2024-2029. Dan pada awal September ini, RUU ini secara resmi masuk dalam Prolegnas di DPR. Entah akhir perjalanannya nanti seperti apa.
RUU yang Ditakuti Koruptor
RUU Perampasan Aset merupakan penyempurna dari UU Tipikor dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang.
Salah satu isi dari RUU Perampasan Aset ini adalah pengadilan bisa menyita aset kekayaan koruptor meskipun belum berkuatan hukum tetap.
Dengan begitu, terduga koruptor yang kabur keluar negeri, kekayaannya di dalam negeri bisa langsung dilakukan penyitaan. Begitu pun ketika koruptor meninggal dunia.
RUU ini melakukan penyitaan terlebih dahulu kekayaan koruptor hingga tersangka bisa membuktikan bahwa kekayaannya bukan hasil kejahatan korupsi. Tangkap, sita, dan koruptor harus membuktikan di pengadilan kalau kekayaan yang disita bukan hasil korupsi.
Tanpa UU Penyitaan Aset, kekayaan yang disita dari koruptor hanya sebatas barang bukti. Sementara di luar itu, kekayaan koruptor tak bisa dilakukan penyitaan hingga pengadilan bisa membuktikan bahwa kekayaan itu hasil korupsi.
Pendek kata, UU Perampasan Aset menyita terlebih dahulu harta koruptor, kecuali koruptor bisa membuktikan bahwa harta yang disita bukan hasil korupsi. Sementara selama ini, pengadilanlah yang harus membuktikan bahwa yang disita memang terbukti sebagai hasil dari korupsi.
Akankah aspirasi besar untuk DPR ini dipatuhi, kita lihat saja. Jika aspirasi ini tidak kunjung ditindaklanjuti, jangan heran jika akan ada aksi massa berikutnya. [Mh]