ChanelMuslim.com – Diskursus seputar perilaku Lesbian Gay Bisexual Transgender (LGBT) telah menjadi perdebatan panjang di tengah masyarakat kita. Perdebatan tersebut didorong oleh para pelaku dan pembela LGBT yang kian berani tampil terang-terangan di hadapan publik dengan mengatasnamakan isu persamaan hak.
Advokasi legalisasi LGBT juga semakin masif dilakukan para penyokongnya. Mereka berusaha mendobrak batas ketabuan yang selama ini diyakini oleh masyarakat Indonesia. Keadaan tersebut menimbulkan persoalan karena LGBT merupakan sebuah anomali bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi norma-norma agama dan nilai-nilai budaya.
Buku “Tranformasi Menuju Fitrah” ini bertujuan untuk: (1) memberikan gambaran tentang sikap masyarakat Indonesia yang tercermin dalam filosofi bangsa, hukum, agama dan budaya Indonesia dalam memandang fenomena LGBT; (2) mengetahui upaya Judicial Review Pasal 292 KUHP terkait perbuatan cabul sesama jenis di Indonesia; (3) memaparkan upaya-upaya yang dapat dilakukan bangsa Indonesia dan mengembalikan kelompok LGBT kepada fitrah kemanusiaan. Buku ini disusun berdasarkan hasil kajian pustaka dan riset lapangan. Pengumpulan data diperoleh melalui Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara dengan sejumlah ahli lintas bidang yang otoritatif terkait fenomena LGBT di Indonesia.
Kebutuhan mendasarkan seluruh perundang-undangan dalam konsep dasar moral yang berlandaskan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebuah keniscayaan dalam tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan catatan sejarah, para pendiri bangsa Indonesia sama sekali tidak mencitakan Indonesia sebagai negara “netral agama” atau “negara sekuler”. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 sarat dengan muatan nilai-nilai keagamaan sebagai dasar berdirinya Negara Indonesia.
Karena itu, pemahaman terhadap Pancasila dan UUD 1945 tidak boleh dilepaskan dari kerangka nilai-nilai agama, apalagi diseret ke kutub netral agama. Hukum positif yang ada di Indonesia memang tidak secara tegas, melarang atau membolehkan perilaku LGBT di Indonesia. Namun pernikahan sejenis belum dimungkinkan terjadi di Indonesia karena bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan.
Hak Asasi Manusia (HAM) yang kerap dijadikan argumen untuk mendukung perilaku LGBT juga tidak dapat dibenarkan. Argumentasi tersebut berasal dari nilai-nilai HAM partikular negara-negara Barat yang tidak dapat diterapkan secara universal ke seluruh dunia. Indonesia memiliki hukum yang hidup dalam masyakat (the living law) berupa ajaran agama, adat, tradisi dan nilai-nilai lainnya. Meski tidak seluruhnya diformulasikan oleh negara, tetapi hukum itu hidup dalam alam pikiran dan kesadaran hukum masyarakat. Pada beberapa sisi daya pengaruh living law ini bahkan mengalahkan pengaruh hukum positif di negara ini. Faktanya, living law inilah yang membentuk norma hukum Pancasila, dan hukum positif adalah alat untuk mengekspresikan living law tersebut. Apalagi secara global, banyak negara yang tidak mengakui hak-hak LGBT. Sebagian di antaranya menunjukkan stance-nya dengan tidak mengakui pernikahan sejenis, melarang penyebaran materi berbau LGBT, dan ada pula yang mengkriminalisasi pelakunya bahkan hingga hukuman mati. Hal ini menunjukkan tidak ada pengakuan universal, bahkan tidak juga mayoritas, terhadap hak-hak pelaku LGBT.
Meski masyarakat Indonesia mayoritas menolak perilaku LGBT, namun tak berarti masyarakat Indonesia harus membenci dan menjauhi para pelakunya. Gerakan penolakan yang terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia dan upaya Judicial Review pasal-pasal kesusilaan, merupakan gerakan penolakan terhadap pemaksaan nilai-nilai yang bertentangan dengan agama dan moralitas bangsa. Sedangkan mereka yang terjebak pada perilaku menyimpang LGBT, tentunya harus dirangkul dan didorong untuk bertransformasi agar bisa hidup sebagaimana fitrah kemanusiaan yang sejati.
Masyarakat Indonesia memiliki nilai-nilai spiritualitas yang bersumber dari agama. Nilai-nilai agama merupakan salah satu nilai yang secara positif membantu para pelaku LGBT untuk kembali kepada fitrahnya. Tuntutan pembaharuan hukum di Indonesia untuk mengatur perilaku LGBT harus dilandasi pandangan falsafah yang kokoh. Filosofi yang harusnya dikedepankan dalam menyikapi masalah kriminalisasi LGBT adalah, seseorang dilindungi bukan karena perlindungan tersebut dapat menimbulkan dampak terhadap orang lain, tetapi juga seseorang harus dilindungi dari perbuatan merusak dirinya sendiri.
Agar transformasi menuju fitrah dapat berjalan efektif, maka diperlukan upaya penguatan nilai-nilai moral dan agama, baik di lingkungan keluarga maupun pada level masyarakat. Pembaharuan hukum terkait LGBT, edukasi mengenai dampak negatif perilaku LGBT, dan pendirian pusat kajian serta lembaga-lembaga terapi atau konseling bagi kaum LGBT, harus mendapatkan prioritas utama. Oleh karena itu diperlukan optimalisasi peran institusi keluarga, agama, organisasi kemasyarakatan, media massa serta negara, guna menciptakan suasana kondusif bagi perubahan perilaku yang diharapkan. PBB juga harus menghargai negara-negara yang menolak LGBT sebagai bentuk ‘margin of appreciation’. Oleh karena itu, negara-negara yang tidak mengakui hak LGBT tidak boleh dipaksa untuk berubah, mengikuti pandangan partikular negara yang pro perkawinan sejenis. PBB ataupun lembaga profesi internasional lainnya juga sebaiknya tidak melarang para pelaku LGBT di Indonesia untuk menjalani terapi/konseling sesuai dengan keyakinan yang dianutnya. Kampanye untuk mengubah keyakinan seseorang merupakan bentuk intoleransi yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang hakiki. [Wnd/rls]