ChanelMuslim.com- Satu hari setelah umat Islam dunia merayakan Idul Fitri, Amerika dilanda kasus berbau rasisme antara kulit putih dan hitam. Siapa sangka, lebih dari sepuluh hari berlalu, gejolak ‘Black Lives Matter’ tetap membara di Amerika. Bahkan semarak di beberapa negara Eropa.
Adalah toko kelontong milik Mahmoud Abumayyaleh yang berlokasi di wilayah Minnesota, Amerika, sebagai tempat awal kasus ini terjadi. Pada tanggal 25 Mei 2020 petang, seorang penjaga toko itu menelepon panggilan darurat 911 atas laporan dugaan penggunaan uang palsu.
Petang itu, seorang warga keturunan kulit hitam membeli rokok. Ia membayar dengan uang pecahan 20 dolar. Setelah transaksi, pegawai itu curiga kalau uang tersebut palsu. Ia pun meminta si pembeli yang tak lain adalah George Floyd, 46 tahun, untuk mengembalikan rokok yang sudah diterimanya. Tapi, Floyd menolak. Dari situlah, laporan itu diterima polisi.
Tidak sampai 10 menit, tiga orang polisi datang memeriksa lokasi kejadian. Floyd yang memang masih berada di lokasi langsung diamankan dengan tangan diborgol. Entah bagaimana kejadiannya, seorang polisi berkulit putih bernama Derek Chauvin tiba-tiba menjatuhkan Floyd ke aspal. Bukan itu saja, ia pun menindih leher korban dengan lututnya hingga 7 menit.
Anehnya, tiga rekan polisi lain, Tou Thau, Thomas Lane, dan J. Alexander Kueng tidak bereaksi dengan tindakan brutal rekannya itu. Justru, teriakan untuk menghentikan aksi itu datang dari dalam toko kelontong itu. Seorang pegawai toko itu berteriak agar sang polisi menyudahi aksi brutal itu.
Sang pegawai mendengar korban berteriak saat penganiayaan itu. “Tolong…saya tidak bisa bernafas. Mama..mama…,” teriak sang korban. Setelah dibawa ke rumah sakit, korban dilaporkan meninggal dunia.
Parahnya, kejadian brutal yang tidak mengenakkan itu terekam video yang akhirnya menjadi pencetus adanya kerusuhan di seluruh wilayah Amerika.
Klaim Negara Multi Ras dan Kerapuhan Amerika
Sungguh pun semua politisi Amerika mengklaim bahwa negaranya sebagai multi ras: beragam warna kulit, agama, dan lainnya; tapi konflik antara kulit hitam dan putih seperti tak pernah berakhir di negeri yang katanya menjunjung tinggi kemanusiaan itu.
Kasus seperti yang terjadi tentang George Floyd ini bukan yang pertama. Puluhan bahkan mungkin lebih kasus serupa silih berganti terjadi dan berujung pada model kerusuhan yang sama: rasisme.
Kasus ini memang yang terbesar sejak lima puluh tahun terakhir. Hal ini dikarenakan ketimpangan ekonomi yang kian menganga pasca pandemi Covid-19 menghantam Amerika. Di mana, para konglomerat yang notabene berkulit putih meraup keuntungan besar sementara kalangan bawah yang sebagian besar kulit berwarna mengalami krisis ekonomi parah. Tidak kurang dari 45 juta rakyat Amerika mengalami pemecatan massal.
Kepemimpinan Partai Republik oleh Donald Trump yang berselera rasis kian menambah bara api kemarahan rakyat yang multi ras pun mudah membesar. Bayangkan, baru sehari kerusuhan dan penjarahan merebak, Trump langsung mengeluarkan pernyataan yang justru menambah buruk situasi. Ia memerintahkan agar polisi menembak pelaku kerusuhan.
Bukan itu saja, beberapa hari setelah kerusuhan yang kian tak kunjung jelas jalan keluarnya, sang presiden justru mengancam akan mengerahkan tentara lengkap dengan alat tempurnya. Trump seperti tak lagi percaya dengan polisi yang “kalah” dengan perusuh. Dan ketidakpercayaan ini berujung pada pengerahan tentara berikut tank-tank tempur untuk menghalau massa.
Dualisme Politik Demokrat dan Republik yang Mengaitkan Rasisme
Disadari atau tidak, kasus rasisme di Amerika menjadi bahan olahan para politisi untuk meraih kepentingan politik. Dua partai besar di Amerika, Demokrat dan Republik, selalu memanfaatkan fakta rasis ini untuk kepentingan politik.
Partai Republik yang mengagungkan ras kulit putih dan menjadikan isu ini sebagai pendulang kemenangan dalam pemilu kerap berhadapan dengan Partai Demokrat dengan isu yang sama. Demokrat dan Republik seperti dua sisi dalam koin yang sama.
Periode lalu di saat Demokrat menang pemilu, partai ini tidak ragu mengusung Barack Obama yang berkulit berwarna sebagai presiden. Barack Obama pun berhasil memimpin. Obama seperti kebalikan dari pendahulunya yang berasal dari Republik, Bush, yang menggebu-gebu menggelorakan perang terhadap Islam sebagai stigma melawan terorisme.
Obama seperti pengakuannya, justru membuat faksi militer baru di luar negeri sebagai perlawanan terhadap dirinya sendiri. Ia membuat apa yang disebut sebagai ISIS di Irak.
Tapi, kebalikan dari Demokrat dilakukan Republik saat menang pemilu. Sejak awal pemilihan, Trump yang dari Republik kembali menggelorakan isu rasis di setiap kampanyenya seraya mengagungkan ras kulit putih. Walaupun kenyataannya, tidak semua kulit putih berada di garis perjuangan Partai Republik.
Iramanya selalu sama. Setiap ada serangan dari kulit berwarna, maka akan ada balasan dari kulit putih. Ketika Demokrat melakukan “serangan” dengan menjadikan Obama sebagai presiden, maka Republik mengangkat Trump sebagai “balasan” yang tidak kalah kerasnya.
Kini, setelah kebijakan bombastis Trump tidak lagi dihiraukan para gubernur dan aparat keamanan di Amerika, suasana di negeri berpenduduk 328,2 juta jiwa itu mulai tenang. Jam-jam malam di beberapa propinsi sudah dicabut. Tapi, potensi konflik berbau rasisme tetap menjadi bara dalam sekam.
Dari kasus ini, ada pelajaran menarik dari sang pemilik toko kelontong, Mahmoud Abumayyaleh. Ia sangat menyesali kejadian yang bermula dari tokonya itu akibat kecerobohan pegawainya yang masih baru. Padahal, ia sudah mengenal baik George Floyd yang biasa belanja di tokonya itu. Kalau saja ia ada di lokasi saat Floyd belanja, mungkin kasusnya tidak menjadi separah ini.
Ia pun mewanti-wanti pegawainya agar tidak langsung menelepon polisi. Terutama dalam kasus yang berkaitan dengan kulit berwarna. Amerika, oh Amerika. Betapa rapuhnya negeri ini. (Mh)