IRAN menjadi perhatian dunia ketika berani berperang melawan Israel dan Amerika. Tapi, Iran juga dihebohkan dengan kasus jilbab yang bersifat politis.
Hal yang paling melekat tentang Iran di kalangan umat Islam adalah syiahnya. Bahkan, syiah begitu lama menjadi ‘momok’ di sebagian besar dunia Islam hingga saat ini.
Memang, banyak perbedaan antara Islam di Iran dengan umumnya Islam di banyak negara termasuk Indonesia. Namun begitu, Al-Azhar Mesir dan ulama ahlus sunnah menilai bahwa meski berbeda, syiah tetap bagian dari umat Islam.
“Sunni dan Syiah merupakan dua sayap umat Islam yang harus saling bersinergi,” ucap Syaikh Al-Azhar, Syaikh Ahmad Thayyib dalam sebuah wawancara.
Keadaan Islam di Iran
Sekitar 95 persen warga Iran beragama Islam Syiah. Sisanya beragama Islam sunni, di antaranya mazhab Syafi’i.
Memang ada agama lain di Iran, seperti Kristen dan Yahudi. Tapi jumlah mereka sangat kecil. Mereka memang diakui oleh negara, tapi pengakuannya terbatas. Misalnya, Natal dilarang dilakukan di Iran, kecuali di rumah masing-masing.
Sejak revolusi Islam oleh Khameini pada tahun 1979, Pembangunan gereja dan sinagog di Iran sangat dibatasi. Yang diizinkan hanya yang sudah lama berdiri.
Di Iran, ada sebanyak 80 ribu masjid. Jumlah ini hampir sama dengan jumlah masjid di Arab Saudi. Tapi dibandingkan dengan Indonesia, jumlah ini jauh lebih kecil. Di Indonesia jumlah masjid dan musholah ditaksir sebanyak 800 ribuan.
Dari sekian masjid yang ada di Iran, sekitar sepuluh persennya merupakan masjid beraliran sunni, seperti umumnya negeri-negeri muslim termasuk Indonesia.
Mereka hidup berdampingan dengan damai. Menurut seorang muslimah asli Iran seperti diwawancarai wartawan Amerika yang berkunjung kesana, “Negara kami memang sering berperang. Tapi, negara kami tak berperang dengan rakyatnya.”
Bagaimana dengan kasus jilbab yang pernah heboh beberapa tahun lalu?
Heboh Kasus Jilbab
Sepertinya, Iran mengalami kesenjangan generasi antara generasi tua dan muda. Jumlah generasi muda di Iran sekitar 70 persen, atau sangat mayoritas.
Kesenjangan itu pada masalah pemahaman dan komitmen keislaman. Di Iran, jilbab menjadi hal wajib di tempat umum. Jika dilanggar, akan ada hukumannya.
Bukan hanya jilbab, segala hal yang bernuansa maksiat seperti alkohol, dan sarana-sarana maksiat lainnya dilarang. Pelanggaran ini juga akan ada sanksi hukumnya.
Sayangnya, sebagian muslimah di Iran, khususnya generasi muda, menunjukkan fenomena ‘enggan’ berjilbab. Meskipun begitu, tidak sedikit pula para muslimah yang terlihat begitu istiqamah dengan jilbabnya.
Mereka yang ‘enggan’ itu memberikan ciri tersendiri dalam berjilbab. Yaitu, mereka tidak menutup seluruh rambut dengan jilbab. Tapi, memperlihatkan sebagian, khususnya pada bagian atas atau semacam jambul di mode busana jilbab mereka.
Bahkan, tidak sedikit pula di antara mereka yang terkesan menjadikan jilbab hanya semacam ‘pemanis’ hiasan kepala: sekadar aksesoris saja.
Entah ini sekadar masalah kesenjangan generasi, atau ada metodologi pendalaman agama di rakyat Iran yang masih belum merata.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, fenomena ‘enggan’ berjilbab ini menjadi terlihat aneh. Karena hampir semua muslimah di Indonesia berjilbab dengan baik saat di tempat umum. Jarang ditemukan fenomena ‘jambul’ yang justru terkesan aneh.
Padahal, di Indonesia, jilbab sama sekali tidak diwajibkan oleh negara. Melainkan, murni sebagai kesadaran dalam beragama.
Simbol Perlawanan terhadap Pemerintah
Entah siapa yang ‘bermain’ di kasus kesenjangan jilbab ini, tiba-tiba para muslimah yang ‘enggan’ dengan jilbab melakukan unjuk rasa. Simbol perlawanannya begitu jelas: menolak jilbab: ada yang membuka jilbab, bahkan ada yang membakarnya.
Jumlah mereka memang tidak banyak di banding yang taat dengan berjilbab. Tapi, di sisi inilah, pemerintah Iran menjadi sasaran tembak kaum anti Islam dan anti pemerintah.
Terlepas dari rekayasa politik di balik kasus ini, dakwah Islam di Iran, khususnya tentang kesadaran berjilbab, sepertinya digencarkan lagi agar fenomena ‘jilbab jambul’ tidak menjadi ciri lain dari muslimah Iran. [Mh]