oleh: Isti Prihandini, S.Sos. (Pengamat Sosial)
ChanelMuslim.com – “Bunda, memangnya kita akan lebaran?,” tanya gadis sembilan tahun. Mungkin ia memperhatikan perbedaan tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya.
Lain lagi, seorang kawan menawarkan kue nastar dan kue-kue kering khas lebaran. Serta merta, seseorang berkomentar “Memangnya kita lebaran tahun ini?”
Begitu melimpah status di WhatsApp yang menampilkan kue nastar, putri salju, dan teman-temannya. Pedagang baju online pun tetap mengunggah jualannya dan kabarnya; laku keras. Di status WhatsApp lain, tak sedikit mengabarkan ramainya pusat perbelanjaan, berjubelnya pembeli di toko baju, dan melimpahnya pembeli di toko bahan kue.
Saat ini, grafik kasus Covid-19 di Indonesia masih menunjukkan angka sangat tinggi. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seharusnya masih dilaksanakan. Namun kini viral tagar #IndonesiaTerserah yang dicuatkan oleh petugas medis. Tagar ini menunjukkan kekecewaan tenaga medis terhadap kebijakan pemerintah pusat yang setengah hati dan kekecewaan terhadap masyarakat yang tak peduli (lagi).
Lebaran menjadi alasan bagi pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah membolehkan pulang kampung, menyebabkan kerumunan di terminal maupun bandara. Masyarakat pun sepertinya hendak memaksakan merayakan lebaran dengan “normal”; memakai baju baru, makan ketupat, makan kue nastar, dan lainnya.
Jika mau bicara ideal, di tengah pandemi inilah saat paling tepat untuk mengoreksi sedikit pemikiran masyarakat tentang lebaran.
Lebaran hanyalah sebuah tradisi di Indonesia. Hari yang dimaksud lebaran setelah berpuasa Ramadhan sesungguhnya adalah Eid al-Fitr (Idul Fitri), yang bermakna perayaan buka puasa. Jadi pada intinya, yang terpenting adalah pada hari itu semua muslim makan. Makanannya apa? Tak satu pun ayat dalam Alquran yang menyebutkan makanannya harus ketupat dan kue nastar.
Karena hakikat dari Idul Fitri adalah berbuka setelah puasa sebulan penuh, maka diwajikan mengeluarkan zakat fitrah, untuk memastikan tak ada muslim yang terpaksa puasa saat Idul Fitri. Tentunya pula, Idul Fitri tak bisa dilepaskan dari perjuangan sebulan penuh selama Ramadan. Bagaimana puasa kita, tilawah kita, sholat-sholat fardhu kita, tarawih kita, zakat shodaqoh kita, dan apakah kita sudah menghidupkan sunah I’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadan? Kekuatan fisik dan psikis kita idealnya dicurahkan untuk optimalisasi Ramadan, agar kita mendapat limpahan ampunan Allah, sehingga kita di hari raya Idul Fitri tercatat sebagai hamba beriman yang sudah mencapai derajat takwa.
Berikutnya, dalam adab-adab perayaan Idul Fitri, Rasulullah saw berpesan kepada kita untuk memakai pakaian terbaik yang kita punya. Tak ada satu pun kata dalam hadist yang memerintah kita membeli baju baru. Baju baru – apalagi dengan model koko dan busana muslim – hanyalah kebiasaan pendahulu-pendahulu kita yang kemudian kita langgengkan, dan kemungkinan besar akan diabadikan keturunan-keturunan kita.
Salahkah jika seseorang merayakan Iedul Fitri dengan seragam sekolah, karena itu pakaian terbaik yang ia punya? Salahkah jika orang merayakan Iedul Fitri dengan gaun pengantin, baju dinas tentara, atau daster, jika memang itu baju yang terbaik yang ia punya? Asal menutup aurat secara syar’i, tak satupun manusia berhak menyalahkan.
Jika kita menengok ke belakang, perayaan-perayaan Idul Fitri kita menguras energi untuk mudik, macet, tumpah ruah pasar, sibuk masak ketupat, membuat nastar, memborong baju, dan lainnya. Itu jauh dari hakikat Idul Fitri. Energi seharusnya terkuras untuk I’tikaf sesuai yang dicontohkan Rasulullah saw dan para sahabat.
Pembingkaian Iedul Fitri secara tradisi, dari waktu ke waktu, secara halus memupuk persepsi sebuah generasi tentang Idul Fitri. Kita mengenal Idul Fitri sebagai lebaran yang dibentuk orang tua kita. Lalu kita menanamkan pada anak-anak kita. Kelak dewasa, mereka akan menanamkan hal serupa ke anak-anak mereka. Bahkan di saat sedang diaspora pun, masyarakat Indonesia banyak yang menanamkan tradisi lebaran ke masyarakat luar negeri.
Maka, di tengah-tengah pandemi global inilah, dengan adanya keterbatasan di berbagai aspek, alangkah indahnya kita menanamkan hakikat Idul Fitri di hati kita, di hati anak-anak kita.[ind]