CITAYAM Fashion Week (CFW) terlanjur menjadi fenomenal. Berbagai episode pun bermunculan. Ada tentang protes kaum miskin kota, ada tentang ‘numpang’ populer, ada juga tentang hiburan anak-anak muda.
Tiga episode dari CFW lambat-laun mulai dirasakan banyak orang. Kegiatan dadakan yang sejatinya terlihat seperti ajang unjuk busana anak muda, kini mulai menampakkan fenomena lain.
Setidaknya ada tiga episode atau peristiwa yang bisa dijejaki dari CFW yang hingga kini masih terus bergulir. Yaitu:
Satu, tentang protes kaum miskin kota.
Entah siapa yang mengawali, CFW bisa dibilang sebagai gagasan jitu untuk menyindir kesenjangan antara kaum kaya dan miskin di pusat kota.
Tentang nama lokasinya pun tidak sembarang sebut. Yaitu, SCBD, sebuah plesetan dari Sudirman, Citayam, Bojong, Depok.
Sudirman adalah jantung dari Jakarta yang menjadi simbol pusat elite kaum jetset kota. Sementara Citayam, Bojong, dan Depok; merupakan tiga daerah satelit sekitar Jakarta.
Kenapa tidak diikutkan Bekasi dan Tangerang? Hal ini karena lokasi kumpul itu memang kawasan yang biasanya dilakoni remaja asal Citayam, Bojong, dan Depok. Tiga daerah itu (Depok, Citayam, Bojong) merupakan tiga stasiun KRL yang berurutan dari Jakarta menuju Bogor.
Bisa dibilang, kesenjangan ekonomi tiga daerah tersebut dengan kawasan Sudirman Thamrin bak bumi dan langit. Remaja dari tiga kawasan itu seperti memasuki dunia lain ketika singgah di kawasan Sudirman Thamrin.
Dan pilihan acara ‘fashion show’ merupakan strategi yang sangat jitu: murah, meriah, dan tidak perlu skill yang jelimet.
Seolah CFW sebagai ajang protes kaum miskin kota, kalau mau disebut seperti itu, atas kesenjangan ekonomi dan sosial yang terjadi selama ini.
Dua, tentang yang ‘numpang’ populer.
Era digital menjadikan peristiwa sederhana bisa melambung tinggi ke seantero dunia. Silakan dicek di agenda terpopuler di semua media massa, CFW masih berada di urutan atas.
Hal ini mengundang mereka yang paham sekali tentang peluang popularitas. Mulai dari tokoh biasa, politisi beken, hingga artis beneran; juga nimbrung di CFW.
Sederhananya, peluang ini tidak boleh lewat begitu saja untuk mendongkrak popularitas. Terlebih bisa dilakukan dengan tanpa modal besar.
Yang terakhir, sempat terjadi silang kata tentang hak merek dagang yang mengambil nama CFW. Syukurnya hal ini sepertinya tidak berkepanjangan.
Tiga, tentang hiburan anak muda.
Di luar tentang aura protes dan ajang popularitas di balik CFW, sepertinya masyarakat Jakarta dan sekitarnya begitu haus dengan suasana kebersamaan.
Sebuah suasana yang kembali menjalin keakraban antar anak bangsa, tanpa peduli dengan label-label sosial dan politik mereka. Mereka saling berbagi, menghibur, dan menyuguhkan aneka canda keakraban.
Sepertinya, inilah yang kini dibutuhkan masyarakat Indonesia umumnya. Mereka jenuh dengan propaganda pembelahan dari para elite bangsa yang haus kekuasaan.
Tidak tertutup kemungkinan, dari sisi episode ini, cloning tentang CFW mungkin akan terjadi di daerah-daerah lain yang merasakan ‘dahaga’ yang sama.
Entah sampai kapan Citayam Fashion Week akan menutup cerita halaman akhirnya. Semoga hal itu bukan terjadi karena alasan klasik tentang stabilitas dan keamanan. [Mh]