ChanelMuslim.com- Dua hal yang selalu mencuri perhatian publik terhadap pejabat akhir-akhir ini: korupsi dan pencitraan. Yang satu termasuk tindakan melanggar hukum, sementara yang keduanya tidak. Benarkah?
Kalau ditelisik secara detil, korupsi dan pencitraan mempunyai kemiripan. Korupsi melanggar hukum karena memanipulasi uang negara untuk kepentingan pribadi. Sementara pencitraan, tidak ada yang dinilai merugikan pihak lain.
Padahal, seperti halnya korupsi, pencitraan juga termasuk tindakan memanipulasi. Memang bukan uang atau jabatan yang dimanipulasi, melainkan kenyataan atau informasi yang sebenarnya.
Apakah pencitraan tidak merugikan orang banyak, sehingga tidak digolongkan seperti korupsi yang termasuk dalam kejahatan?
Untuk menjawab ini, sepertinya perlu diuraikan secara lebih dalam tentang hakikat jabatan yang sebenarnya.
Jabatan adalah Amanah
Dinilai dari sudut pandang apa pun, jabatan merupakan amanah yang harus ditunaikan dengan baik. Tidak boleh ada penyimpangan, penyelewengan, dan lainnya. Siapa yang menyimpang dan menyeleweng, tentu ada sanksinya.
Dengan kata lain, jabatan adalah amanah yang tidak boleh ada manipulasi yang berakibat merugikan pihak-pihak lain yang memberikan amanah.
Pejabat yang korupsi berarti memanipulasi uang negara yang berakibat pada kerugian negara dan rakyat yang memberikan amanah. Dan semestinya, begitu pun dengan pencitraan.
Karena dengan pencitraan, si pemberi amanah dikaburkan dengan informasi yang menutupi ketidakmampuan atau ketidakbecusan pejabat tersebut. Terlihat berprestasi, tapi sebenarnya cacat. Terkesan amanah, tapi sebenarnya menyimpang dan menyeleweng.
Manipulasi lewat pencitraan terjadi karena adanya gap atau jarak antara si pemberi amanah dengan pejabatnya. Gap inilah yang dimanfaatkan sebagai celah untuk menghias ketidakamanahan tadi dengan hal-hal yang seolah bagus.
Seorang sopir pribadi misalnya, ia sulit melakukan pencitraan kepada bosnya. Karena sang sopir dan bos nyaris tidak ada gap sama sekali. Bos melihat langsung prestasi atau cacat tugas yang dilakukan sopirnya.
Berbeda dengan sopir angkut barang di gudang. Ia bisa saja bersembunyi di balik gap itu dengan memanipulasi informasi tentang dirinya. Ia kirimkan foto-foto yang menunjukkan seolah ia begitu sibuk, lelah karena banyaknya tugas, dan lainnya.
Padahal sebenarnya, foto atau informasi tersebut hanya pencitraan yang menutupi keadaan yang sebenarnya. Sang sopir hanya bermodal kamera, atau orang-orang yang membantunya melaporkan kebaikan tentang dirinya kepada bos. Tanpa kerja keras, ia mendapatkan imbalan yang memadai, bahkan pujian dan prestasi.
Kesadaran tentang amanah mestinya menghentikan kemunculan manipulasi, baik yang berbentuk korupsi ataupun informasi yang sebenarnya. Orang yang amanah sadar betul bahwa manusia bisa saja dimanipulasi dengan teknik-teknik canggih. Tapi Allah, tidak akan pernah luput dari manipulasi apa pun.
Kenali Pencitraan
Manipulasi pencitraan sangat merugikan orang yang memberikan amanah. Pejabat yang gemar melakukan pencitraan, disadari atau tidak, akan sangat merugikan pihak-pihak yang memberikan amanah.
Karena itu, rakyat harus paham betul mana pejabat yang amanah dan mana pejabat yang hanya terlihat amanah dan berprestasi karena manipulasi pencitraan.
Seperti inilah kira-kira ciri mereka yang memanipulasi diri dengan pencitraan.
1. Tidak mengambil tanggung jawab terhadap kekurangan di bawahnya. Ia hanya mengaburkan kasus, atau menyalahkan bawahannya, atau bahkan menyalahkan informasinya.
Padahal, ada istilah hukum yang menyebut guilty by omission, atau kesalahan bawahan menjadi tanggung jawab atasannya.
2. Lebih sibuk dengan polesan diri daripada prestasi. Polesan diri antaran lain, menyengajakan diri berkomunikasi lewat foto, video, dan lainnya.
Padahal, foto, video, dan sejenisnya sudah menjadi alat manipulasi yang begitu efektif kepada orang banyak.
3. Tampil di program atau kegiatan yang tidak biasa ia lakukan. Contoh, seperti pejabat Amerika yang berjalan-jalan bersama anjing kesayangan, seolah ia begitu peduli dengan hewan.
Padahal, boleh jadi, ribuan nyawa manusia terkapar karena ulah para pejabat bengis ini, di luar pantauan foto, video, dan sejenisnya.
4. Menampilkan diri seperti orang dimuliakan di masyarakat. Bisa berbusana atau akrab bersama pendeta, jika di luar negeri, atau akrab dan berbusana seperti ulama atau orang saleh, khusus di Indonesia.
Padahal, nyaris tak seorang pun tetangga atau keluarganya yang bisa memberikan kesaksian bahwa pejabat ini memang sering ke masjid atau berbusana saleh seperti itu.
Lalu, perlu sekali lagi kita merenungi lebih dalam: sebenarnya berbedakah antara korupsi dengan pencitraan? Karena kedua-duanya sama-sama memanipulasi sesuatu yang menjadi hak rakyat sebagai pemberi amanah. (mh)