Chanelmuslim.com- Setelah sekian lama tak ada kejelasan soal siapa calon gubernur yang diusung PDIP, akhirnya semua terjawab malam ini (Selasa/20/9). DPP PDIP akhirnya secara resmi mengusung pasangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Djarot Saiful Hidayat di Pilkada DKI.
Keputusan itu setelah sekitar dua jam sebelumnya, Ahok dan Djarot diminta hadir dalam rapat kilat dengan pejabat teras PDIP di rumah Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat.
Hadir dalam pertemuan itu, Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, Hasto Kristiyanto, Pramono Anung, Bambang DH, dan tentu saja pasangan Ahok dan Djarot.
Putusnya Tarik-Menarik Risma Ahok
Selama ini, publik termasuk pejabat di jajaran DPP PDIP masih belum bisa memastikan pilihan Ketua Umum, Megawati, soal siapa calon gubernur pilihan PDIP.
Begitu kuat tarik menarik antara kubu yang mendukung Ahok dan yang ingin mengusung Tri Rismaharini. Konflik sengit pun sepertinya tak bisa dipungkiri juga berkecamuk di internal lingkungan Megawati.
Jika dilihat dari bahasa tubuh dan isyarat yang selama ini ditangkap publik, Megawati lebih cenderung ingin mengusung kadernya sendiri yang tak lain Walikota Surabaya, Tri Rismaharini.
Gejolak di pengurus PDIP Jakarta pun lebih kuat arusnya ke Risma. Sebaliknya, mereka begitu bersemangat untuk menumbangkan Ahok. Suasana lebih panas lagi setelah media “mengadu” komentar antara Ahok dan Risma.
Puncaknya, apa yang disampaikan Megawati dalam pidatonya di Sekolah Calon Kepala Daerah PDIP di Wisma Kinasih, Depok, beberapa pekan lalu.
Saat itu, Megawati begitu keras mengkritik Ahok yang terkesan anti partai politik dengan mencibir istilah mahar politik. Padahal, menurut Megawati, Ahok telah diusung PDIP di Pilkada Jakarta saat cagub Jokowi.
Sebaliknya, Megawati begitu antusias saat Risma menjadi pembicara di acara yang sama. Belum pernah terjadi, Megawati begitu menyimak paparan kadernya, dalam hal ini Risma, dari awal hingga akhir.
Namun, harapan Megawati bukan tidak terbaca jelas oleh Risma. Justru, hal itu sangat terbaca di mata Risma. Karena itulah, di hampir semua kesempatan, Risma selalu “curhat” untuk tidak dibawa ke Jakarta, karena ingin menuntaskan amanah di Surabaya.
Tidak seperti biasanya, Megawati bisa mengalah dengan kadernya. Biasanya, seperti yang pernah terjadi pada Presiden Joko Widodo saat beberapa hari menjabat Presiden, Megawati melontarkan “kemarahannya” di depan publik.
Namun, untuk yang satu ini, Tri Rismaharini, Megawati hanya melontarkan bahasa isyarat. Ia tidak menunjukkan kata perintah yang lugas, dan tidak juga mengekspresikan kemarahannya seperti kepada kader yang lain.
Mungkin, hal itu karena keduanya sama-sama wanita, yang bisa saling berkomunikasi dengan isyarat perasaan dan bahasa tubuh lainnya. Terlebih lagi, Risma begitu tegas menunjukkan sikapnya yang bulat: tidak mau ikutan di Pilkada Jakarta, karena ingin menuntaskan amanah di Surabaya.
Andaikan Megawati menggunakan bahasa instruksi, tentu orang seperti Risma pun tak akan menyatakan penolakannya. Hal itu ia sampaikan kepada media dengan ucapan, “Sampai saat ini, saya ingin tetap di Surabaya, tapi urusan nanti hanya Tuhan yang tahu.”
Menjadi Partai Keempat Pendukung Ahok
Satu hal yang terkesan risih untuk sosok Megawati, boleh jadi, pilihan ke Ahok menjadi yang terakhir. Bisa juga dikatakan, ini pilihan yang murni bukan dari hati nuraninya, tapi lebih karena kepentingan partai.
Hal tersebut terbaca dari keputusannya yang bisa dibilang terlambat, dibanding dengan kubu Gerindra yang sudah lebih dulu menyatakan secara gamblang dan terang.
Hal lain adalah rapat singkat yang tidak lebih dari 90 menit antara dirinya, jajaran petinggi PDIP, dan calon pasangan: Ahok dan Djarot.
Dilihat dari nilai strategis dalam mengambil momen ajang Pilkada DKI, pilihan PDIP ke Ahok bisa dibilang terlambat dan kurang memiliki nilai dukungan yang tinggi. Karena secara waktu, PDIP terhitung sebagai partai keempat, setelah didahului oleh Hanura, Nasdem, dan Golkar.
Padahal, posisi PDIP di Pilkada DKI Jakarta terbilang sangat signifikan. Bahkan melampaui posisi Gerindra. Pertama, PDIP partai dengan perolehan suara tertinggi di Jakarta dalam Pemilu 2014, dan Presiden yang saat ini berkuasa merupakan kader murni PDIP dan punya hubungan historis dengan Ahok.
Posisi PDIP dalam koalisi partai pendukung Ahok bisa dibilang serba tidak menyenangkan. Selain berada di urutan keempat, dukungan ke Ahok bisa menyuburkan ketidaksolidan kader di tingkat pelaksana di Jakarta. Karena mereka sudah terlanjur “perang” dengan Ahok dan siap mental untuk mengusung Risma.
Hal tidak menyenangkan yang lain, hubungan Ahok dan Djarot selama ini sangat tidak harmonis. Kedua sosok sebelum ini, bahkan sudah saling “menyerang” melalui pernyataan dan manuver. Jadi, kalaupun akhirnya pasangan ini menang, sama saja melanggengkan ketidakharmonisan itu.
Selain itu, dan inilah yang paling sangat tidak menyenangkan, sepertinya Megawati secara pribadi sudah terlanjur tidak suka dengan Ahok. (mh/foto: detik.com)