TIDAK hanya laki-laki, perempuan juga punya hak untuk memilih siapa yang akan menjadi pasangannya, hanya saja keduanya memiliki cara yang berbeda. Dan cara-cara ini tergantung juga pada latar belakang budaya dan kebiasaan masing-masing calon mempelai.
Di suatu budaya mempelai laki-laki yang datang untuk meminta seorang perempuan menjadi istrinya. Dan ini tentunya adalah bentuk pilihan bagi dirinya, ia telah menggunakan hak memilih perempuan yang diinginkan.
Baca Juga: Janji Suci Pernikahan
Laki-Laki dan Perempuan Punya Hak untuk Memilih
Perempuanpun juga memiliki hak untuk memilih calon laki-laki yang datang kepadanya, ia punya hak memilih antara menerima atau menolaknya.
Hak memilih ini diberikan untuk menyatukan kecenderungan, ketertarikan, dan kecocokan di antara keduanya. Karena kehidupan yang akan di jalani bukan hanya tentang empat hal sebagai mana yang dijelaskan dalam hadits:
Artinya “ Di cerikan Musadad, diceritakan Yahya dari ‘abdulloh berkata bercerita kepadaku Sa’id Ibn Abi Sa’id dari Abi Hurairah ra bahwasanya Nabi saw bersabda wanita dinikahi karena empat perkara. Pertama hartanya, kedua kedudukan statusnya, ketiga karena kecantikannya dan keempat karena agamanya. Maka carilah wanita yang beragama (islam) engkau akan beruntung.”
Namun kecocokan secara naluriah juga menjadi pertimbangan untuk mewujudkan keluarga yang nyaman dan tentram. Jika ke empat hal diatas telah terpenuhi namun ternyata mereka tidak memiliki kecocokan karakter dan chemistry maka kehidupan rumah tangga juga tidak akan menemukan keharmonisan.
Ustadz Ahmad Sarwat, Lc. M.A, dalam Dauroh Ilmu Nikah 3 yang diselenggarakan oleh Yayasan Dukung Sahabat Menikah mengatakan bahwa pernikahan tidak hanya tentang dua calon mempelai saja, keluarga juga terlibat dalam berlangsungnya sebuah pernikahan dan ini tentunya berkaitan erat dengan budaya yang melatarbelakanginya. (23/01)
Sehingga walaupun kedua mempelai memiliki hak untuk memilih calon pasangannya, namun untuk menghindari konflik rumah tangga maka keterlibatan keluarga harus menjadi pertimbangan.
Ustadz Ahmad Sarwat kemudian memberikan contoh budaya Arab kuno, dimana seorang ayah memiliki kekuasaan yang absolut dalam memilih calon suami untuk anak perempuan, yang dalam ilmu fiqih disebut sebagai wali mujbir. Bahkan jika pernikahan dilangsungkan tanpa sepengetahun anak perempuannya.
Secara hukum pernikahan ini bisa dikatakan sah, namun ajaran Islam tidaklah kaku. Islam memberi ruang bagi seorang perempuan untuk menolak atau menerima.
Ayah seperti ini dianggap tidak bijak karena akan meninggalkan beban psikologis pada anak perempuannya jika ia tidak ridho dan tidak bahagia dengan pernikahannya. Dan ini tentu menjadi beban pengadilan akhirat, karena telah mendzolimi anaknya.
Jadi, sudahkah kamu menentukan pilihan?