Oleh Sapto Waluyo
(Pembina Central Indonesian Reform)
ChaneMuslim.com- Dalam konteks itu, maka posisi Sandi Uno bisa seperti “layangan putus” karena sangat tergantung dari restu Prabowo. Betapapun cukup tinggi elektabilitasnya, Sandi tidak mungkin maju tanpa restu Prabowo. Andaikata Sandi tetap nekad maju pencalonan tanpa delegasi dari Prabowo, maka pasti Gerindra akan melepas ikatannya. Itu skenario yang nyaris mustahil. Dukungan Ijtima Ulama di beberapa daerah agar Sandi maju pilpres mewakili aspirasi umat telah dikritik sangat keras oleh elite Gerindra (Kamrussamad), karena dinilai bisa menggeser orientasi ideologi Gerindra ke kanan.
Posisi Ganjar (21,5%) yang berkibar setinggi Prabowo juga sama beresiko untuk “putus”, karena PDIP secara formal belum mengajukan calon, tapi kandidat terkuat adalah Puan Maharani. Ketua Bappilu DPP PDIP Bambang Wuryanto menyatakan dengan tegas, bahwa “mereka yang berada di luar barisan bukan banteng, itu namanya celeng” bagi para pendukung di luar keputusan DPP PDIP (Tribun News, 13/10/2021). Aksi Ganjar memberikan bantuan kepada akar rumput PDIP telah mendapat reaksi balik, karena dipandang sebagai pencitraan belaka. Sementara kebijakannya sebagai Gubernur Jawa Tengah dua periode belum mampu mengentaskan kemiskinan masyarakat Jateng yang bertengger 11,25 persen.
Nasib serupa dialami Anies Baswedan (17,7%) yang bersaing ketat elektabilitasnya dengan Prabowo dan Ganjar. Belum ada satupun partai yang mengusungnya, karena pendaftaran capres memang masih jauh (resminya sekitar Agustus 2023). Partai Nasdem terus merapat ke Anies, PPP dan PAN juga simpati dengan kinerja Anies, meskipun publik tahu pendukung setia Anies adalah PKS. Tapi, Anies tak boleh meremehkan PKS karena pengalaman selama berkoalisi politik di berbagai momen pemilu/pilpres telah mematangkan sikap partai oposisi itu. Jika PKS memberikan dukungan kepada figur lain, maka posisi Anies bisa “putus” juga. Dinamika politik nasional tak bisa ditebak.
Dari simulasi yang dilakukan Datasight Indonesia, Anies unggul bila berpasangan dengan figur alternatif seperti Khofifah Indar Parawansa atau Airlangga Hartarto. Untuk simulasi 3 pasang kandidat: Anies-Khofifah (34,8%) menang menghadapi Prabowo-Puan (30,4%) dan Airlangga-AHY (9,9%); ada 24,8% warga belum menentukan sikap. Pasangan Anies-Airlangga (24.0%) bersaing ketat dengan Sandi-AHY (27,7%) dan Ganjar-Salim (24,8%); sedang 23,4% pemilih belum menentukan sikap.
Suara Anies akan anjlok bila menggandeng Puan (20,0%) menghadapi Prabowo-Muhaimin (37,5%) dan Airlangga-Salim (14,0%); dan belum menentukan sikap cukup besar (28,5%). Anies harus menjaga suara umat, bila tidak ingin putus dan melayang-layang di langit politik. Sebagaimana Sandi Uno dengan beragam trick pendukungnya mencoba mendekati suara umat lewat Ijtima Ulama dan temu komunitas.
Kristalisasi dukungan semakin nyata, bila simulasi hanya dua pasang kandidat: Anies-Airlangga (38,4%) akan unggul menghadapi Prabowo-Puan (36,5%), karena berhasil mempersatukan kekuatan nasiolis-reljius. Sementara koalisi PDIP-Gerindra yang semakin erat untuk membayar utang politik Megawati (Perjanjian Batu Tulis tahun 2009) semakin menunjukkan limitasi politik nasionalis. Dengan suara warga belum menentukan sikap 25,0%.
Keunggulan semakin nyata bila Anies berpasangan dengan Sandi (43,1%) menghadapi Ganjar-Ridwan Kamil (36.6%), dengan suara belum memutuskan (20,3%). Pasangan Anies-Sandi seperti memutar memori publik tentang kemenangan di Pilgub DKI Jakarta tahun 2017, dan hanya mungkin terulang kembali bila Prabowo merelakan kartu politiknya kepada Sandi atau Sandi mengambil sikap keluar dari Gerindra dan mendapat dukungan partai lain. Skenario ini seperti roller coaster dalam dunia politik, jungkir-balik posisi politik. Dengan kata lain, akan banyak layang-layang putus di langit politik Indonesia.
Apapun yang terjadi di langit politik nasional, rakyat Indonesia sebagian besar tidak terlalu peduli lagi, bila tidak dapat dibilang apatis. Begitu kerasnya pertarungan politik 2019, namun rakyat menyaksikan para kandidat yang berkompetisi toh akhirnya bisa duduk satu meja untuk berbagi kekuasaan dan aset negara. Betapapun keras suara rakyat, buruh, petani dan mahasiswa berteriak: agenda elite oligarkis akan tetap berlaku seperti pemaksaan RUU Cipta Kerja dan RUU Ibu Kota Negara.
Harapan rakyat seperti layangan putus yang diterpa hujan badai. [Mh]