Awalnya buat rumah besar karena suamiku berpikir kalau ada acara halal bihalal semua guru JISc maka rumah yang lama terlalu kecil (225 meter). Untuk menampung 300 orang staff dengan keluarganya. Dulu makan somay sampai keluar-keluar ke tepi jalan.
Lalu ketika ada uang, maka di pool ke sini. Kukira suamiku mau bikin rumah tahfid karena cat gedung putih-putih dan banyak kamar mandinya. Eh, nggak tahunya untuk pribadi.
Baca juga: Jelong-Jelong Time ke Bandung
Terlintas repotnya ambil sendok di malam hari. Bikin teh panas yang mendingin. Dan lain-lain. Nyapu dari ujung ke ujung dan susah kalau mau manggil anak.
Bulan pertama yang menempati rumahku itu akhwat-akhwat yang bikin daurah dan lain-lain. Lalu anak-anak sekolahan yang lagi UN di JISc Kodam. Sementara ketika itu, aku dan ketiga anakku lagi sekolah di luar negeri.
Aku di Australia. Anak pertama di Jordan. Lalu anak kedua di Perth. Anak ketiga di Turkye. Dan anak keempat di Perth. Jadi suami yang wara-wiri sana-sini.
Sementara rumah yang besar ini kayak mansion. Lalu dijadikan markas dakwah dan bahkan dulu ikutan jadi markas pemenangan Prabowo. Ah masa lalu.
Kemudian satu-satu anakku pulang dari luar negeri dan merasa malu dan kaget sampai-sampai si kakak menaruh mobil di depan rumah Pak RT.
“Malu Mii… punya rumah kegedean kayak museum.”
Rasulullah bersabda, “Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) sedekah jariyah, (2) ilmu yang diambil manfaatnya, (3) anak shalih yang selalu mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim, no. 1631)
Website: