ChanelMuslim.com – Merebaknya kasus pelecehan seksual di Indonesia saat ini semakin tak terbendung, belum selesai satu kasus, datang lagi kasus lainnya.
Kasus remaja perempuan yang bunuh diri akibat perkosaan yang dilakukan oleh pacarnya, kasus seorang yang mengaku pimpinan pesantren melakukan pencabulan kepada para santrinya, kasus dosen melakukan pelecehan terhadap mahasiswa didiknya dan masih banyak lagi.
Baca Juga: Konsep Human Rights Bertentangan dengan Agama (1)
Merebaknya Pelecehan Seksual dan Politisasi Korban (1)
Jika melihat kejadian di atas tentunya ini sangat menyayat hati. Namun sangat disayangkan, kasus ini banyak dimanfaatkan oleh pemilik kepentingan untuk mengesahkan sebuah rancangan undang-undang yang masih mengandung perdebatan.
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TP-KS) dianggap sebagai solusi dari merebaknya kejahatan seksual selama ini karena sangat berpihak kepada korban.
Padahal jika kita menilik kembali pada pasal-pasal yang ada di dalamnya masih banyak ambiguitas yang membuka celah pada kejahatan seksual lainnya, sebagai contoh pada pasal 4 RUU TP-KS yang berbunyi:
Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara non fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi yang merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas, dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat, dipidana karena pelecehan seksual non fisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Frasa keinginan seksual dalam pasal di atas berpotensi untuk membuka celah pada penyimpangan seksual seperti LGBTQ+,pedofilia, fetish, zoofilia dll, semua yang disebut itu dianggap sebagai keinginan seksual.
Sebagai contoh jika ada orang menasihati atau hendak meluruskan perilaku menyimpang tersebut maka ia dianggap merendahkan harkat dan martabat mereka, terkhusus jika orang yang dinasihati itu sakit hati dan merasa direndahkan.
Tentunya ini sangat terlihat ingin menormalisasi perilaku menyimpang. Mereka selama ini selalu berlindung dibalik suara HAM Internasional yang tentunya tidak sesuai dengan normal pancasila, agama dan budaya masyarakat Indonesia.
Di tambah lagi, KUHP kita atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masih mengalami kekosongan hukum. Pada KUHP pasal 292 yang berbunyi:
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun
Pasal di atas hanya memidanakan pencabulan sesama jenis kelamin antara orang dewasa ke anak-anak. Artinya jika sama-sama dewasa hukum kita belum bisa memidanakan para pelaku penyimpangan seksual ini.
Dengan adanya RUU TP-KS, bukannya malah memidanakan tindakan tersebut namun justru melegalkan penyimpangan seksual.
RUU TP-KS merupakan perundang-undangan lex specialis yang bersifat khusus dan ia akan mengesampingkan hukum yang bersifat umum seperti KUHP.
Kita mengharapkan segera teratasinya segala bentuk pelecehan seksual namun jangan sampai RUU ini menghadirkan penumpang gelap yang menginginkan legalisasi penyimpangan seksual. [Ln]
Bersambung…