Chanelmuslim.com – Inilah Kisah Pendiri Sekolah Islam Khusus Perempuan (2)
Sekolah yang didirikan Rahmah melangsungkan kegaiatan belajar-mengajar pada awalnya di serambi sebuah masjid di Pasar Usang, Padangpanjang—kini Masjid Ashliyah. Murid-murid duduk di lantai mengelilingi guru secara berkelompok. Pelajaran diberikan selama 2,5 jam, meliputi dasar pengetahuan agama, gramatika bahasa Arab, dan ilmu alat. Dalam buku Peringatan 55 Tahun Diniyah Putri dicatat murid terawal Diniyah Putri berjumlah 71 orang.
Baca Juga: Inilah Kisah Pendiri Sekolah Pertama Islam Khusus Perempuan (1)
Inilah Kisah Pendiri Sekolah Islam Khusus Perempuan (2)
Pada 10 Juli 1924, Zainuddin kakak Rahmah meninggal secara mendadak. Isnaniah Saleh mencatat, banyak orang menyangka bahwa usaha yang baru dirintis Rahmah akan hilang di tengah jalan setelah kematian Zainuddin. Dalam suatu rapat pengurus Diniyah Putri yang diadakan oleh Rahmah beberapa hari setelah Zainuddin meninggal, majelis guru sepakat untuk meningkatkan sistem pengajaran Diniyah Putri lengkap dengan sarana. Pada 1925, Rahmah menyewa rumah bertingkat dua di Pasar Usang untuk dijadikan ruangan kelas dan asrama Diniyah Putri. Ia mengupayakan sendiri mencari perlengkapan seperti bangku, meja, dan papan tulis. Pada 1926, Rahmah membuka program pemberantasan buta huruf bagi ibu-ibu rumah tangga yang belum sempat mengenyam pendidikan atau lebih dikenal dengan Sekolah Menyesal. Namun pada 28 Juni 1926 gempa berkekuatan 7.8 skala ricther mengguncang Padang Panjang dan merobohkan bangunan sekolah Diniyyah yang saat itu tengah diperluas secara gotong royong.
Selama 40 hari pasca gempa kegiatan belajar mengajar dihentikan, Rahmah melihat orang-orang berbondong-bondong mengungsi laksana kafilah di gurun. Dengan dibantu murid-murid Thawalib Rahmah membuat kelas darurat untuk melanjutkan kegiatan belajar mengajar. Dan kemudian ia bersama para wali murid membentuk komite untuk menggalang dana guna pembangunan kembali sekolah Diniyah Puteri.
Kepemimpinannya di Diniyah Putri membuatnya sering berpergian ke luar daerah. Dalam rangka penggalangan dana, Rahmah melakukan perjalanan ke sejumlah daerah Minangkabau dan luar Minangkabau pada pengujung 1927. Dalam kunjungannya, Rahmah menemui beberapa tokoh pemimpin Muslim, menyampaikan cita-cita dan program Diniyah Putri. Di tiap-tiap daerah yang dikunjunginya, Rahmah berpidato di mimbar untuk menggairahkan umat Muslim berkorban bagi pembangunan Islam, “terutama untuk putri-putri Islam mempelajari agama Islam yang mereka cintai”. Kegiatannya ini telah membentuk dirinya sebagai orator sekaligus meluaskan keterkenalan Diniyah Putri di Sumatera.
Dalam rangka pengembangan kurikulum, ia mengadakan studi banding melalui kunjungan ke sekolah-sekolah agama di Sumatera pada tahun 1931. Selain itu, ia banyak mengirim siswa-siswa tamatan Diniyah Putri untuk mengajar di berbagai daerah. Pada tahun 1933 dan 1935, ia melakukan ke Semenanjung Malaya untuk mengantar calon guru lulusan Diniyah Putri. Ia tercatat mengunjungi Pinang, Terengganu, Johor, Negeri Sembilan, Selangor, Perak, Pahang, Kelantan, dan Kedah. Di Sumatera, ia mengunjungi Kesultanan Siak menemui Sultan Siak Sri Indrapura. Dalam berbagai kunjungannya, ia tampil memperkenalkan Diniyah Putri dan menghimpun dana kelanjutan pembangunan sekolah.
Kiprah Rahmah di jalur pendidikan membuatnya mendapatkan perhatian luas. Ia duduk dalam kepengurusan Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS). Pada 1935, ia diundang mengikuti Kongres Perempuan Indonesia di Batavia. Dalam kongres, ia memperjuangkan hijab sebagai kewajiban bagi muslimah dalam menutup aurat kedalam kebudayaan Indonesia. Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Ia dipandang oleh ulama-ulama Aceh sebagai ulama perempuan terkemuka di Sumatera.
Kedatangan tentara Jepang di Minangkabau pada Maret 1942 membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan dan mengurangi kualitas hidup penduduk non-Jepang. Selama pendudukan Jepang, Rahmah ikut dalam berbagai kegiatan Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bergerak di bidang sosial. Dalam situasi perang, Rahmah bersama para ADI mengumpulkan bantuan makanan dan pakaian bagi penduduk yang kekurangan. Ia memotivasi penduduk yang masih bisa makan untuk menyisihkan beras segenggam setiap kali memasak untuk dibagikan bagi penduduk yang kekurangan makanan. Kepada murid-muridnya, ia menginstruksikan bahwa seluruh taplak meja dan kain pintu yang ada pada Diniyah Putri dijadikan pakaian untuk penduduk. Selain itu, Rahmah bersama para anggota ADI menentang pengerahan perempuan Indonesia sebagai wanita penghibur untuk tentara Jepang. Tuntutan ini dipenuhi oleh pemerintah Jepang dan tempat prostitusi di kota-kota Sumatera Barat berhasil ditutup.
Terimbas oleh Rasuna Said (salah satu pengajar di Diniyah Puteri) yang terjun ke politik lebih dahulu, dan dengan kondisi Indonesia yang semakin terpuruk oleh penjajah Jepang, akhirnya Rahmah terjun ke dunia politik. Ia bergabung dengan Majelis Islam Tinggi Minangkabau yang berkedudukan di Bukittinggi. Ia menjadi Ketua Hahanokai di Padang Panjang untuk membantu perjuangan perwira yang terhimpun dalam Giyugun (semacam tentara PETA). Seiring memuncaknya ketegangan di Padang Panjang, Rahmah membawa sekitar 100 orang muridnya mengungsi untuk menyelamatkan mereka dari serbuan tentara Jepang. Selama pengungsian, ia menanggung sendiri semua keperluan murid-muridnya. Ketika terjadi kecelakaan kereta api pada 1944 dan 1945 di Padang Panjang, Rahmah menjadikan bangunan sekolah Diniyah Putri sebagai tempat perawatan korban kecelakaan. Hal ini membuat Diniyah Putri mendapatkan piagam penghargaan dari pemerintah Jepang. Menjelang berakhirnya pendudukan, Jepang membentuk Cuo Sangi In yang diketuai oleh Muhammad Sjafei dan Rahmah duduk sebagai anggota peninjau.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dan Rahmah mendapat berita langsung dari Ketua Cuo Sangi In, Muhammad Sjafei, ia segera mengibarkan bendera Merah Putih di halaman perguruan Diniyah Putri. Ia tercatat sebagai orang yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat. Berita bahwa bendera Merah Putih berkibar di sekolahnya menjalar ke seluruh pelosok daerah. Ketika Komite Nasional Indonesia terbentuk sebagai hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945, Soekarno yang melihat kiprah Rahmah mengangkatnya sebagai salah seorang anggota.
Pada 5 Oktober 1945, Soekarno mengeluarkan dekrit pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pada 12 Oktober 1945, Rahmah memelopori berdirinya TKR untuk Padang Panjang dan sekitarnya. Ia memanggil dan mengumpulkan bekas anggota Giyugun, mengusahakan logistik dan pembelian beberapa kebutuhan alat senjata dari harta yang dimilikinya. Bersama dengan bekas anggota Hahanokai, Rahmah mengatur dapur umum di kompleks perguran Diniyah Putri untuk kebutuhan TKR. Anggota-anggota TKR ini menjadi tentara inti dari Batalyon Merapi yang dibentuk di Padang Panjang.
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda kedua, Belanda menangkap sejumlah pemimpin-pemimpin Indonesia di Padang Panjang. Rahmah meninggalkan kota dan bersembunyi di lereng Gunung Singgalang. Namun, ia ditangkap Belanda pada 7 Januari 1949 dan mendekam di tahanan wanita di Padang Panjang. Setelah tujuh hari, ia dibawa ke Padang dan ditahan di sebuah rumah pegawai kepolisian Belanda berkebangsaan Indonesia. Ia melewatkan 3 bulan di Padang sebagai tahanan rumah, sebelum diringankan sebagai tahanan kota selama 5 bulan berikutnya.
Pada Oktober 1949, Rahmah meninggalkan Kota Padang untuk menghadiri undangan Kongres Pendidikan Indonesia di Yogyakarta. Ia baru kembali ke Padang Panjang setelah mengikuti Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta pada akhir 1949. Rahmah bergabung dengan Partai Islam Masyumi. Dalam pemilu 1955, ia terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Sumatera Tengah. Melalui Konstituante, ia membawa aspirasinya akan pendidikan dan pelajaran agama Islam.
Pada 1956, Imam Besar Al-Azhar, Kairo, Mesir, Abdurrahman Taj, berkunjung ke Indonesia dan atas ajakan Muhammad Natsir, berkunjung untuk melihat keberadaan Diniyah Putri. Imam Besar tersebut mengungkapkan kekagumannya pada Diniyah Putri, sementara Universitas Al-Azhar sendiri saat itu belum memiliki bagian khusus perempuan.
Pada Juni 1957, Rahmah berangkat ke Timur Tengah. Usai menunaikan ibadah haji, ia mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan “Syaikhah” dari Universitas Al-Azhar, dimana untuk kali pertama Al-Azhar memberikan gelar kehormatan itu pada perempuan.
Hamka mencatat, Diniyah Putri mempengaruhi pimpinan Al-Azhar untuk membuka Kuliyah Qismul Banaat (kampus khusus wanita) di Universitas Al-Azhar. Sejak saat itu Universitas Al-Azhar yang berumur 11 abad membuka kampus khusus wanita, yang diinspirasi dari Diniyah Putri di Indonesia yang baru seumur jagung.
Sebelum kepulangannya ke Indonesia, Rahmah mengunjungi Syria, Lebanon, Jordan, dan Iraq atas undangan para pemimpin negara tersebut.
Sekembalinya dari kunjungan ke berbagai negara di Timur Tengah, Rahmah merasa bahwa Soekarno telah terbawa arus kuat PKI. Ia merasa tidak nyaman berjuang di Jakarta, kemudian memilih kembali pulang ke Padang Panjang. Rahmah melihat bahwa mencurahkan perhatiannya untuk memimpin perguruannya akan lebih bermanfaat daripada duduk di kursi parlemen sebagai anggota DPR yang sudah dikuasai komunis. Ketika terjadi PRRI di Sumatera Tengah akhir 1958, akibat ketidaksetujuan atas sepak terjang Soekarno, Rahmah ikut bergerilya di tengah rimba bersama tokoh-tokoh PRRI dan rakyat yang mendukungnya. Pada 1964, ia menjalani operasi tumor payudara di RS Pirngadi, Medan. Sejak itu hingga akhir hayatnya, hidupnya didedikasikan kembali sepenuhnya untuk Diniyah Putri.
Tampak pada foto, pahlawan ini mengenakan hijab syar’i dan baju kurung basiba dengan cara yang anggun, elegan dan modern yang menampakkan kecerdasannya dan kemajuannya dalam berpikir. []
Sumber : Wikipedia/Lulu Basmah