Chanelmuslim.com – Seringkali kita melakukan berbagai amal tanpa disertai niat atau mungkin dengan niat yang salah. Berniat karena Allah bukan berarti menghilangkan keikhlasan kita.
Dari Amirul mu’minin Abu Hafs, Umar bin Al-khaththab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi al-‘Adawi r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda :
Baca Juga: Teliti Kembali Niat Melakukan Kebaikan
Antara Niat dan Keikhlasan
“Bahwasanya semua amal perbuatan itu dengan disertai niat-niatnya dan bahwasanya bagi setiap orang itu apa yang telah menjadi niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itupun kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu untuk harta dunia yang hendak diperolehinya, ataupun untuk seorang wanita yang hendak dikawininya, maka hijrahnyapun kepada sesuatu yang dimaksud dalam hijrahnya itu.”
[Muttafaq (disepakati) atas keshahihannya Hadis ini]
Diriwayatkan oleh dua orang imam ahli Hadis yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah Alju’fi Albukhari, – lazim disingkat dengan Bukhari saja -dan Abulhusain Muslim bin Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi Annaisaburi, – lazim disingkat dengan Muslim saja – radhiallahu ‘anhuma dalam kedua kitab masing-masing yang keduanya itu shahih.
Penjelasan Hadits :
Hadis diatas berhubungan erat dengan persoalan niat. Rasulullah s.a.w. mengatakan hal itu karena diantara para sahabat Nabi s.a.w. sewaktu mengikuti untuk berhijrah dari Makkah ke Madinah, semata-mata sebab terpikat oleh seorang wanita yakni Ummu Qais. Beliau s.a.w. mengetahui maksud orang itu, lalu bersabda sebagaimana diatas.
Oleh kerana orang itu memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam hatinya, meskipun demikian itu boleh saja, tetapi sebenarnya tidak pantas sebab saat itu sedang dalam suasana yang amat rumit, maka ditegurlah secara terang-terangan oleh Rasulullah s.a.w.
Bayangkanlah, betapa anehnya orang yang berhijrah dengan tujuan memburu wanita yang ingin dikawin, sedang sahabat beliau s.a.w. yang lain dengan tujuan menghindarkan diri dari amarah kaum kafir dan musyrik yang masih tetap berkuasa di Makkah, hanya untuk kepentingan penyebaran agama dan keluhuran Kalimatullah.
Sangat ganjil jika kemudian ada yang berhijrah hanya karena ingin mengejar wanita.
Karena niatnya keliru, maka pahala hijrahnya pun kosong. Berbeda dengan sahabat-sahabat lainnya yang dengan keikhlasan hati bersusah payah menempuh jarak yang demikian jauhnya untuk menyelamatkan keyakinan kalbunya, pahalanya pun besar sekali kerana hijrahnya memang dimaksudkan untuk mengharapkan keridhaan Allah dan RasulNya.
Sekalipun datangnya Hadis itu mula-mula tertuju pada orang yang salah niatnya ketika ia mengikuti hijrah, tetapi sifatnya adalah umum. Para imam mujtahidin berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah dan diterima serta dapat dianggap sempurna apabila disertai niat. Niat itu ialah sengaja yang disembunyikan dalam hati, ialah seperti ketika mengambil air wudhu’, mandi, shalat dan lain-lain sebagainya.
Perlu diketahui barangsiapa berniat mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada Allah ia mendapatkan pahala. Demikian pula jika seseorang itu berniat hendak melakukan suatu kebaikann tetapi tidak jadi dilakukan, maka orang tersebut tetap juga menerima pahala. Ini berdasarkan Hadis yang berbunyi: “Niat seseorang itu lebih baik daripada amalannya.”
Maksudnya: Berniatkan sesuatu yang tidak jadi dilakukan sebab adanya halangan yang tidak dapat dihindarkan itu adalah lebih baik daripada sesuatu yang benar-benar dilaksanakan, tetapi tanpa disertai niat apa-apa.
Hanya saja dalam menetapkan wajibnya niat atau tidaknya, agar amalan itu menjadi sah, maka ada perselisihan pendapat para imam mujtahidin. Imam-imam Syafi’i, Maliki dan Hanbali mewajibkan niat itu dalam segala amalan, baik yang berupa wasilah yakni perantaraan seperti wudhu’, tayammum dan mandi wajib, atau dalam amalan yang berupa maqshad (tujuan) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan umrah. Tetapi imam Hanafi hanya mewajibkan adanya niat itu dalam amalan yang berupa maqshad atau tujuan saja sedang dalam amalan yang berupa wasilah atau perantaraan tidak diwajibkan dan sudah dianggap sah.
Adapun dalam amalan yang berdiri sendiri, maka semua imam mujtahidin sependapat tidak perlunya niat, misalnya dalam membaca al-Quran, menghilangkan najis dan lain-lain.
Selanjutnya dalam amalan yang hukumnya mubah atau jawaz (yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak), seperti makan-minum, maka jika disertai niat agar kuat beribadah serta bertakwa kepada Allah atau agar kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan ibadah bagi dirinya sendiri dan keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala, sedangkan kalau tidak disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, maka kosonglah pahalanya. []
Sumber : Ebook Syarah Riyadus Shalihin Imam Nawawi.