Chanelmuslim.com- Jakarta pernah memiliki kisah sukses saat dipimpin oleh seorang aktivis Islam dari Masjumi. Namanya Sjamsuridjal. Meski, hanya memimpin Jakarta dalam waktu singkat (1951-1953), pria kelahiran Karanganyar ini berhasil menorehkan kebanggaan bagi warga Jakarta.
Apa yang dilakukan Sjamsuridjal untuk mengatasi problematika Jakarta memang menarik. Kependudukan, misalnya, ini adalah masalah laten kota Jakarta sejak tahun 1950an.
Saat itu tanah-tanah warga banyak dikuasi pihak swasta. Kondisinya sangat buruk; Kampung-kampungnya sangat kotor; Jalan-jalannya tidak diaspal sehingga berdebu ketika musim kemarau.
Bila musim hujan, jalan sukar dilalui karena becek dan berlumpur. Di sana-sini terdapat comberan. Baunya menusuk hidung. Keadaan perumahan penduduk penuh berjubel. Akibatnya, sumur dan tempat buang air “bergandengan”.
Untuk mengatasi masalah ini, langkah Sjamsuridjal bisa terbilang nekat. Pria kelahiran 1903 ini berencana membeli tanah-tanah tersebut. Semuanya dilakukan agar warga Jakarta memiliki hak hidup layaknya manusia, bukan binatang.
Jika Sjamsuridjal hidup saat ini, pasti dia sudah banyak ditekan. Konglomerat China pasti tak terima dengan langkahnya. Pengembang mengiming-iminginya proyek tambahan. Tapi Sjamsuridjal bukanlah pemimpin yang mudah dibeli. Baginya, berpihak kepada ketimbang pemodal adalah harga mati.
Untuk menolong rakyat miskin, Sjamsuridjal membangun beberapa perumahan darurat. Rumah-rumah ini kemudian diberikan kepada tukang becak dan tukang makanan. Pedagang-pedagang kecil itu hanya dibebani ongkos sewa yang sangat ringan. Eks petinggi Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII) ini sadar, tak semua warga mampu membeli rumah karena mahalnya harga tanah. Orang miskin benar-benar menjadi raja saat itu.
Tak jauh beda dengan saat ini, ekonomi pribumi telah menjadi persoalan serius Jakarta zaman 1950an. Yang memprihatinkan, rata-rata sepuluh perusahaan yang tercatat di Balai Kota, hanya ada satu perusahaan aseli Indonesia.
Saat itu, pada umumnya industri besi, kayu, minyak kulit, sabun, es, makanan dan minuman tidak dikuasai pribumi. Perdagangan di toko-toko dan warung-warung eceran sebagian besar juga masih di tangan orang China.
Melihat ketidakadilan ini, Sjamsuridjal langsung tancap gas. Pemerintahannya langsung memberikan bantuan khusus dalam bidang ekonomi pribumi. Perusahaan dan koperasi pribumi langsung bergeliat.
Hasilnya, pada tahun 1952, Jakarta memiliki 76 buah koperasi dengan rincian 13 koperasi pusat, 34 koperasi simpan pinjam, 15 koperasi produksi, 23 koperasi konsumsi, dan 1 koperasi lainnya. Ini menunjukkan bahwa koperasi di Jakarta ada kemajuan.
Hasil pertanian berupa padi dihasilkan dari sawah-sawah yang berada di bagian barat Cengkareng, bagian timur Kelender, dan bagian utara Tanjung Priok.
Hasilnya diperuntukkan untuk konsumsi rakyat Jakarta sendiri. Ya, di tengah kota Jakarta yang bukanlah daerah penghasil pangan.
Pemerintah juga telah menentukan tiga tempat pelelangan ikan: pasar ikan, tanjung priok, dan kamal. Para nelayan harus menjual ikannya di tempat tersebut. Ini adalah bentuk usaha pemerintah agar nelayan tidak menjual kepada rentenir.
Sontak pada tahun 1951, pemasukan ikan mengalami peningkatan hingga mencapai 35.615.73 kilogram.
Meski hanya menjabat selama dua tahun, Sjamsuridjal telah memberikan banyak perubahan untuk Jakarta. Kota yang dikenal kumuh, bau, dan menjadi neraka bagi pribumi dapat diubahnya menjadi Kota maju dan berkeadilan bagi warga Jakarta.
Situasi ini sangat berbeda dengan pemimpin Jakarta saat ini. Basuki Tjahaja Purnama justru berjarak dengan masyarakat kecil. Halaman muka media-media massa lebih sering diisi kata-kata kasarnya ketimbang prestasinya.
Ironisnya, rakyat miskin justru sering dimarah-marahi. Usaha-usaha mereka banyak digusur. Sepanjang tahun lalu, berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, ada 113 kasus penggusuran paksa oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki alias Ahok. Penggusuran itu merugikan 8.315 kepala keluarga dan 600 unit usaha. Sebanyak 84 persen penggusuran dilakukan secara sepihak.
Kini di tengah musim hujan, sebagian mereka tak ada lagi tempat berlindung. Anak-anak mereka yang masih kecil terpaksa tidur di pinggir jalan ditemani polusi pekat kota Jakarta. Hasilnya, banyak di antara mereka yang jatuh sakit karena kelaparan. Seperti kasus penggusuran rumah pemulung di Taman Honda, Tebet.
Kasus penggusuran sejatinya adalah masalah laten di Jakarta. Ironisnya, meski digusur karena menempati bangunan ilegal, tapi diam-diam pemerintah daerah juga memungut pajak mereka.
Mereka tetap “dipalak” oleh oknum-oknum pejabat hingga membuat ekonomi kian sulit. Jika mereka dianggap menghuni bangunan liar, maka berikanlah mereka tempat yang layak. Bukan membiarkan mereka mati di jalan.
Melihat kondisi seperti ini, maka kita sangat merindukan kembalinya sosok Sjamsuridjal. Seorang pemimpin yang pro rakyat, peduli pada ekonomi pribumi, dan tak mau menyusahkan rakyatnya. Ia adalah pemimpin DKI di mana orang miskin diperlakukan sebagai raja. Maka jika ingin sukses membangun DKI, belajarlah dari Sjamsuridjal. (Mh/pizaro)