Chanelmuslim.com – Ada kalanya kita ragu ketika shalat, apakah telah keluar angin atau tidak, karena mungkin saat perut kurang nyaman dan atau memang ingin keluar angin (maaf:kentut) tapi masih tertahan sementara tengah khusyuk shalat. Perbedaannya adalah menahan buang angin saat shalat dan keadaan buang angin yang tertahan karena berbagai faktor dalam tubuh. Disaat kita ragu apakah kita telah buang angin saat shalat atau tidak, Rasulullah menyatakan untuk tidak membatalkan shalat hingga kita benar-benar yakin apakah telah batal atau tidak.
Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab, dari Abbad bin Tamim dari pamannya, bahwasanya ia mengadu kepada Rasulullah SAW perihal seorang laki-laki yang merasakan sesuatu dalam shalat?” Nabi SAW menjawab, “Janganlah ia berpaling (menghentikan shalatnya) hingga ia mendengar bunyi atau mencium bau.” (HR. Muslim)
Baca Juga: Hukum Menoleh ke Arah Imam saat Shalat Karena Suaranya Tidak Jelas
Ragu Ketika Shalat, Tidak Perlu Berwudhu Kembali
Keterangan Hadits:
Dalam hadits yang dimaksud dengan mendapatkan atau merasakan sesuatu adalah hadats yang keluar darinya. Pengertian ini dapat kita temukan dalam riwayat Al Isma’ili, (Dikhayalkan kepadanya saat shalat bahwa telah keluar darinya sesuatu). Di sini terdapat petunjuk untuk tidak menyebutkan langsung sesuatu yang tidak baik dengan namanya kecuali dalam situasi yang mengharuskan atau membutuhkannya.
Kejadian dalam hadits disebut dalam keadaan shalat. Sebagian ulama madzhab Maliki berpegang dengan makna lahir lafazh ini, sehingga mereka mengkhususkan hukum ini bagi mereka yang sedang shalat saja dan mewajibkan wudhu bagi orang yang ragu di luar shalat. Perbedaan ini mereka dasari dengan alasan bahwa seseorang dilarang untuk membatalkan ibadah, padahal larangan untuk membatalkan ibadah sangat tergantung dengan keabsahan ibadah itu sendiri. Maka, alasan yang mereka kemukakan itu tidaklah tepat. Di samping itu, sesuatu yang membatalkan wudhu di luar shalat juga dapat membatalkan wudhu di dalamnya, sebagaimana hal-hal lain yang membatalkan wudhu.
Hadits ini memberi keterangan sahnya shalat selama seseorang belum yakin kalau ia telah berhadats. Hadits ini tidak bermaksud untuk mengkhususkan keyakinan bagi kedua hal ini. Karena jika makna suatu teks dalil lebih luas daripada lafazhnya, maka yang menjadi pedoman hukum adalah maknanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Khaththabi.
Imam An-Nawawi berkata, “Hadits ini merupakan dasar kaidah yang mengatakan, bahwa hukum segala sesuatu sebagaimana asalnya sampai ada keyakinan yang menunjukkan sebaliknya; dan keraguan yang timbul tersebut tidak dapat mendatangkan mudharat (bahaya).” Jumhur ulama berpendapat sebagaimana kandungan hadits ini.
Diriwayatkan dari Malik, beliau berpendapat bahwa wudhu tetap batal bila seseorang ragu apakah telah keluar sesuatu darinya atau belum. Lalu diriwayatkan dari Imam Malik bahwa wudhu orang seperti itu batal jikaberada di luar shalat dan tidak batal bila dalam shalat. Perincian seperti ini dinukil pula dari Al Hasan Al Bashri. Namun pendapat pertama merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Malik seperti dikatakan oleh Al Khaththabi, yang diriwayatkan Ibnu Al Qasim darinya.
Kemudian sebagian ulama memahami hadits ini untuk mereka yang memiliki sikap was-was. Alasan mereka adalah, bahwa pengaduan itu tidak mungkin ada kecuali adanya sebab tertentu. Sebagaimana diterangkan dalam hadits yang lebih umum, yaitu hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Apabila salah seorang di antara kamu merasakan dalam perutnya sesuatu lalu ia ragu apakah telah keluar darinya sesuatu atau belum, maka janganlah ia keluar dari masjid hingga mendengar bunyi atau menemukan (mencium) bau.'” Sabda beliauSAW, “Janganlah ia keluar dari masjid”, maksudnya adalah shalat, sebagaimana ditegaskan oleh Abu Dawud dalam riwayatnya.
Al Iraqi berkata, “Pandangan yang dikemukakan oleh Imam Malik adalah pendapat yang lebih kuat, sebab beliau lebih menjaga shalat yang merupakan tujuan utama sehingga beliau tidak memperhitungkan keraguraguan dalam membatalkan shalat tersebut. Sementara selain beliau lebih menjaga wudhu yang merupakan sarana, lalu mereka tidak memperhitungkan keragu-raguan dalam hal hadats yang dapat membatalkan wudhu tersebut. Padahal, menjaga sesuatu yang menjadi tujuan utama adalah lebih diutamakan daripada menjaga sesuatu yang hanya berfungsi sebagai sarana.”
Ibnu Hajar mengatakan, “Pandangan ini cukup kuat menurut logika, tetapi tidak sesuai dengan indikasi hadits, dimana seseorang diperintahkan untuk tidak berbalik (membatalkan shalat) hingga benar-benar yakin (keluar angin).”
Sumber : Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqalani, Jilid 2, Pustaka Azzam