oleh: Dr. Sitaresmi S. Soekanto (Doktor Ilmu Politik UI)
Chanelmuslim.com-Pasca gagalnya upaya kudeta militer tanggal 15 Juli yang lalu, pemerintah Turki segera mengambil langkah-langkah tegas membersihkan instansi-instansi pemerintahan dari anasir-anasir yang diduga kuat memiliki keterkaitan erat dengan jaringan Gulen. Jaringan yang dipimpin oleh Fethulah Gulen ini ditengarai menjadi dalang upaya kudeta yang gagal tersebut. Maka segera terlontar tuduhan dan tudingan terutama dari negara-negara Barat bahwa pemerintahan Erdogan telah bersikap otoriter dan anti demokrasi. Apakah benar pemerintahan Turki dengan tindakan tegas yang dilakukannya pasca kudeta kemudian menjadi pemerintahan otoritarian dan anti demokrasi?
Analisis
Penyebab Konflik Gulen-Pemerintah Turki
Mencuatnya konflik antara pemerintah Turki dengan tokoh sentralnya Presiden Erdogan dengan Fethulleh Gulen bermula di ranah pendidikan yakni sejak pemerintah Turki mengeluarkan kebijakan konversi lembaga bimbingan belajar (bimbel) menjadi college yang mengikuti kurikulum nasional. Sementara gerakan Gulen yang mengelola banyak bimbel yakni lebih dari 70% dari keseluruhan bimbel Turki, menolak kebijakan tersebut dan melakukan perlawanan terbuka dengan pemerintah.
Menurut Andhika, master sosiologi agama, dari Marmara University, alasan pemerintah Turki mengeluarkan kebijakan mengkonversi bimbel menjadi college dituturkan Erdogan adalah untuk mengurangi beban rakyat. Erdogan menawarkan jika memang Gulen mampu bergerak di bidang pendidikan hendaknya mendirikan sekolah atau college sehingga rakyat yang berkeinginan bersekolah di sekolah swasta Gulen tidak mengeluarkan biaya dua kali yakni membayar sekolah swasta dan juga bimbelnya. Pemerintah Turki juga menyatakan sanggup menyediakan support infrastruktur berupa lahan dan support operasional berupa biaya dan tenaga pendidik. Namun, gerakan Gulen menentang dengan tegas kebijakan tersebut yang mereka anggap menghambat kebebasan ruang gerak mereka. Banyak orang yang menganalisis penolakan Gulen atas kebijakan tersebut disebabkan selama ini bimbel telah menjadi pintu dan wadah rekrutmen serta sumber dana bagi gerakan ini mengingat biaya bimbel sangat mahal.
Melihat konflik yang sudah berkembang menjadi seolah perang terbuka, maka 97 Ormas dan LSM di Turki mengeluarkan pernyataan bersama yakni meminta gerakan Gulen lebih tenang dalam menanggapi kebijakan ini. Para Ormas dan LSM tersebut menilai penolakan keras Gulen terhadap kebijakan tersebut memperlihatkan gejala “perang” sehingga dikhawatirkan memicu ‘chaos’. Mustafa Karaal?o?lu, seorang jurnalis di surat kabar ‘Star’ memberi penekanan dan menggarisbawahi pernyataan yang ditujukan kepada gerakan Gulen tersebut bahwa pernyataan atau imbauan mereka kepada Gulen adalah suara ormas-ormas besar seperti Jamaah ?smaila?a, Menzil, Erenköy, Akabe Vakfi, Hudayi Vakfi, Safa Vakfi, Sami Efendi, Barla Platformu. Selain itu, juga ikut ditandatangani oleh lembaga bantuan kemanusiaan seperti IHH, Yard?meli, Verenel, Turkiye Beyazay Derne?i dan asosiasi bisnis seperti MÜS?AD, ASKON, TUMS?AD. Beberapa LSM yang bergerak di bidang pendidikan seperti ?lim Yayma Cemiyeti, Türkiye Yazarlar Birli?i, Önder dan Ensar Vakfi bahkan ikut menandatangani imbauan kepada gerakan Gulen tersebut sehingga dapat dianggap sebagai representasi suara mayoritas muslim Turki dan juga mayoritas gerakan Islam di Turki.
Ergun Yildirim seorang pakar sosiologi dan kolumnis koran ‘Yenisafak’ mengomentari bahwa 97 organisasi yang mengeluarkan pernyataan bersama berupa imbauan agar gerakan Gulen tersebut mau bekerja sama dengan pemerintah merupakan representasi seluruh kaum agamis Turki baik dari kelompok Islam konservatif maupun modern. Di samping institusi para ulama seperti Menzil, Erenkoy, Risalah Nur, Suleyman Efendi dan Ismail Aga, juga terdapat kaum Islamis dan Milli Gorus yang melembaga dalam wadah-wadah institusi wakaf dan ormas. Dengan demikian, pernyataan ini bisa disebut sebagai pakta gerakan Islam yang cukup luas dan koalisi kaum agamis.[8]
Gerakan Gulen kembali mengabaikan imbauan mayoritas kaum agamis di Turki dan bahkan konflik antara gerakan Gulen dan pemerintah terus berlanjut dalam berbagai kasus. Gerakan atau jaringan Gulen yang ditengarai memiliki kader-kader militan di berbagai instansi pemerintah seperti birokrasi sipil, kepolisian dan kehakiman, sempat melancarkan upaya ‘kudeta sipil’ untuk menjatuhkan pemerintahan AKP dengan berbagai ‘black campaign’ melalui upaya penyadapan dan tuduhan korupsi kepada para pejabat pemerintah. Sejauh itu, pemerintah hanya memantau instansi-instansi yang telah diinfiltrasi oleh jaringan Gulen .
Namun kemudian, terjadilah upaya kudeta militer yang menewaskan ratusan orang yang sebagian besar adalah rakyat sipil. Maka pemerintah Turki pun mengambil langkah-langkah tegas berupa kebijakan membersihkan pihak anasir-anasir Gulen di berbagai instansi-instansi serta menutup jaringan lembaga pendidikan mereka sebab terbukti sekolah-sekolah pun dimanfaatkan sebagai ruang rapat perencanaan kudeta dan pusat lalu lintas informasi terkait rencana kudeta. Lagi pula, institusi institusi pendidikan tersebut yang juga mereka gunakan untuk membentuk “Alt?n Nesil” (generasi emas) yakni generasi yang pernah menjadi pasukan tentara di sebuah peperangan Rusia. Mereka adalah generasi yang loyal secara totalitas dan meyakini tidak memiliki hak suara di hadapan pimpinan yang dikultuskan sebagai imam Al-Mahdi.
Anggota generasi emas tersebut yang sehari-hari misalnya adalah pegawai negeri sipil, polisi atau tentara dan bahkan pengawal presiden yang kesehariannya bersama Presiden dan berinteraksi baik dengan Presiden, digaji oleh negara, tega untuk tiba-tiba menodongkan senjatanya kepada Presiden, begitu datang instruksi dari imamnya. Hal tersebut memang sulit dipahami yakni tentang betapa kuatnya indoktrinasi terhadap mereka sehingga mampu mengarahkan senjata kepada teman-teman yang selama ini shalat bersama mereka di masjid. Begitu totalitasnya ketaatan mereka kepada sang imam hingga tercatat ada 300 gugatan baru perceraian yang diajukan oleh para tentara pelaku kudeta sebelum melancarkan aksinya, berdasarkan fatwa dari imam mereka. Hal tersebut untuk mengantisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan misalnya terbunuh atau tertangkap maka keluarga dan aset mereka tidak terusik.[9]
Tokoh seperti Bulent Ar?nç, juru bicara pemerintah, sahabat Erdogan yang juga merupakan salah seorang dari tiga pendiri AKP yang selama ini dikenal kedekatannya dengan Gulen, setelah terjadi upaya kudeta mengeluarkan pernyataan bahwa orang boleh menyebutnya sebagai orang yang ahmak (idiot) karena baru malam ini saya menyadari bahwa kelompok Gulen adalah benar kelompok teror. Padahal selama ini, sebagai pakar sosiologi, Bulent dikenal selektif dalam memilih diksi.
Masih dalam perdebatan soal Fathullah Gullen dan permintaan pemerintahan Turki agar pemerintah AS mengekstradisi Gulen kembali ke Turki untuk diadili, seorang pakar Hukum Konstitusi Internasional mengungkapkan pendapatnya secara proporsional dengan tidak ada keberpihakan. Selama ini ia dikenal acap mengkritisi kebijakan-kebijakan Erdogan. Dr. Said Ali Abdurahman Al-Bashir, seorang pakar Konstitusi dan Hukum Internasional asal Jordan menyatakan bahwa langkah menyerahkan Fethullah Gulen Ke Turki adalah bentuk pemberantasan terorisme. Ia juga menegaskan bahwa upaya ekstradisi tokoh oposisi Turki, Fethullah Gulen sekarang berada di Amerika agar kembali ke Turki untuk diadili atas dugaan menjadi dalang kudeta Turki sudah diatur dalam konstitusi Internasional terkait pemberantasan terorisme. Dr Said Ali Abdurahman Al-Bashir, Anggota Persatuan Komisi HAM Internasional menyatakan kepada kantor berita Anadolu, Turki dan dikutip oleh Kantor Berita Suara Palestina: “Bila Amerika menerima permintaan Turki untuk mengekstradisi Fethullah Gulen, maka dunia akan melihat itikad baik AS untuk memberantas terorisme yang dikampanyekannya kepada dunia. Namun, jika AS menolak ekstradisi Gulen ke Turki, Amerika terbukti melindungi teroris dan mendukung pihak kudeta”.
Al-Bashir yang juga tergabung sebagai anggota dewan pelaksana persatuan pengacara muslim internasional menambahkan bahwa: ”Turki telah memiliki bukti-bukti kuat bahwa Gulen terlibat dalam upaya kudeta di Turki beberapa minggu lalu, maka Gulen harus segera diseret ke pengadilan. Terlepas dari hubungan bilateral Turki – AS, apabila kudeta atau penggulingan pemerintah yang sah berhasil, jelas akan mengubah konstelasi politik di Turki yakni militer kembali berkuasa. Dan ratusan korban yang meninggal saat ini adalah korban aksi terorisme dari militer yang membelot. Oleh karena itu, bila negara-negara di dunia ini menolak untuk membantu ekstradisi Gulen, hal itu akan membawa Turki kepada kondisi chaos dan gagal dalam memberantas terorisme?” tegas pakar hukum Internasional tersebut.
“Dalam kasus lain, penolakan ekstradisi dari sebuah negara bisa dipahami jika karena faktor politik, namun jelas bukan dalam hal kondisi luar biasa yakni pemberantasan terorisme. Sebab hak-hak ekstradisi kasus politik berbeda dengan kasus terorisme. Dalam kasus ekstradisi politik, sebuah negara boleh melindungi seorang tokoh oposisi di negara lain karena dianggap terzhalimi atas undang-undang yang berlaku di negaranya. Namun dalam kasus aksi terorisme, semua pihak harus tegas membantu”, Al Basyir menambahkan.
Duta Besar Turki untuk Amerika Serikat, Sardar Qulaij pun menyatakan dalam konferensi pers (22/7) bahwa Turki secara resmi sudah mengajukan permintaan ekstradisi untuk Gulen yang diduga kuat menjadi dalang aksi terorisme kudeta, yakni agar Gulen dikembalikan ke negaranya Turki.
”Pada hari Selasa (19/7) juru bicara Gedung Putih George Ernest menyatakan “Pihak Amerika telah menerima surat permintaan Turki untuk menyerahkan Fethullah Gulen.” Permintaan ini telah kami setujui dan sudah disepakati sejak 30 tahun yang silam.”
Seperti telah diketahui bersama, di ibu kota Ankara dan Istanbul pada hari Jumat tanggal 15 Juli, telah terjadi upaya kudeta dengan cara terorisme oleh segelintir militer di Turki, namun aksi ini berhasil digagalkan oleh rakyat dan militer yang setia kepada negara Turki. Pada saat upaya kudeta tersebut diketahui pula bahwa Fethullah Gulen memerintahkan untuk menutup jembatan Bosphorus yang menghubungkan Eropa dan Asia di Kota Istanbul serta berusaha menguasai media resmi di Turki. Namun kudeta ini gagal, karena jutaan rakyat Turki turun ke jalan menolak upaya kudeta militer teroris ini dan seluruh kota dikuasai rakyat. Rakyat juga melucuti senjata tentara militer Turki yang membelot pemerintah. Fethullah Gulen sendiri tinggal di Pennsylvania, Amerika Serikat sejak tahun 1998, di kediamannya yang seluas 250 hektar, konon dijaga ketat oleh Intel AS bahkan pesawat pun dilarang terbang di atas lahan milik Gulen. Saat ini, Fethullah Gulen berdasarkan banyak fakta dan pengakuan dari para jenderal dan perwira yang diinterogasi, diduga kuat sebagai dalang aksi kudeta di Turki.[10]
Bersambung…