ChanelMuslim.com- Angka dua itu sepertinya sakral. Kalau lebih, tidak stabil. Berkurang pun bisa bikin suasana labil.
Semua pasangan suami istri tentu ingin bersama selamanya. Suka dan duka. Sedih atau pun bahagia. Tapi, jalan hidup itu kadang bukan pilihan. Mau tidak mau, suami atau istri harus “pergi” duluan.
Saat itu juga, ada ketidakseimbangan muncul. Siapa pun yang “pergi” duluan, istri atau suami. Sejumlah kegamangan pun mondar-mandir. Tetap menjadi orang tua tunggal, atau membuka datangnya sosok baru untuk menjadi dua lagi.
Yang jelas, menimbang antara dua pilihan itu bukan perkara mudah. Butuh ketenangan dan kehati-hatian agar pilihan yang diambil menjadi solusi, bukan masalah baru.
Menggabung Dua Keluarga
Salah satu kemungkinan lanjutnya pernikahan adalah terjadinya penggabungan dua keluarga. Yaitu, suami dengan anak-anaknya, dan istri juga dengan anak-anaknya.
Kemungkinan ini sangat besar terjadi. Seorang janda yang memiliki anak berjodoh dengan duda yang juga memiliki anak. Dan sah-sah saja jika keduanya menyatu sebagai suami istri.
Namun, teknis penyatuan anak-anak mereka boleh jadi tidak semudah menyatunya mereka. Kalau anak-anaknya masih balita, mungkin penyatuan dua keluarga itu tergolong mudah.
Kerumitan baru terasa ketika anak-anak mereka sudah menginjak usia remaja. Kerumitan itu bisa muncul dari dua sisi.
Pertama soal dampak psikologis anak ketika mereka bergabung dengan keluarga baru yang baru mereka kenal. Bisa anak terhadap ayah atau ibu tiri. Bisa juga antara anak dengan anak dari ayah atau ibu tiri mereka.
Mungkin saja hal ini bisa teratasi dengan skenario adaptasi. Awal-awalnya saja ada gap, lama-lama juga akrab. Begitu kira-kira persepsi yang muncul.
Namun, hanya mengandalkan adaptasi saja mungkin belum cukup. Perlu ada pengkondisian terhadap anak-anak bahwa mereka akan seperti ini dan itu. Mereka akan bergabung dengan keluarga baru. Dan seterusnya.
Ketika kesiapan ini muncul dari anak-anak, penyatuan boleh jadi tidak begitu banyak masalah. Selanjutnya, tinggal masalah adaptasi yang tentu butuh waktu.
Kedua, soal kesadaran syariat bahwa anak yang “dibawa” istri dengan anak yang “dibawa” suami tidak memiliki hubungan mahram. Meskipun suami dan istri itu akhirnya menikah.
Yang masih tergolong mahram dari sebab pernikahan itu adalah suami dengan anak-anak istri, dan istri dengan anak-anak suami.
Karena itu, penggabungan dua “rombongan” anak-anak ini perlu mempertimbangkan pola hubungan antar anak-anak mereka. Terutama jika penggabungan juga dilakukan dalam satu rumah.
Berbeda jika masing-masing “rombongan” anak tinggal di dua rumah yang berbeda. Dan model seperti ini bisa saja terjadi, jika sarana memang sangat memungkinkan.
Yang harus menjadi pertimbangan utama adalah aset yang paling berharga dari keluarga. Yaitu, anak-anak. Karena hubungan orang tua dengan anak tidak pernah ada bekas. Sementara, suami istri bisa saja ada istilah bekas.
Dengan kata lain, pertimbangan tentang keadaan anak-anak harus lebih diutamakan daripada soal pertimbangan pribadi ayah atau ibu. Silahkan gabung, tapi tentang anak-anak juga harus menjadi pertimbangan yang matang. [Mh/bersambung]