ChanelMuslim.com- Jin itu ada. Mereka tinggal bersama kita. Ada di tempat kita ada: di rumah, di kebun, di kantor, di gorong-gorong, bahkan di masjid.
Sepulang dari i’tikaf di sebuah masjid, Rani merasakan sesuatu yang beda. Sesuatu yang secara bertahap terus terasa dan nyata. Sesuatu yang tidak banyak orang bisa mengalaminya.
Ya, Rani bisa melihat jin. Bukan hanya melihat, bahkan ia bisa ngobrol. Ia bisa menyimak curhat jin, dan jin pun mau mendengarkan curhatnya. Sebuah persahabatan yang tiba-tiba terjalin antara Rani dengan jin yang ia temui di masjid.
“Kamu ada di masjid, apa nggak takut dengan suara ayat Al-Qur’an?” ucap Rani saat mulai akrab dengan jin yang bernama Surti.
“Setelah aku masuk Islam, aku nggak takut lagi. Justru hatiku tenang kalau dengar ayat Al-Qur’an,” jawab Surti.
“Sebelumnya?” sergah Rani penasaran.
“Ya iyalah. Dulunya takut sekali. Rasanya seperti dibakar. Panaaas!” jawab Surti dengan ekspresi agak menyeramkan.
“Emangnya cuma kamu doang yang tinggal di masjid?” tanya Rani lagi.
“Nggak juga sih. Masih banyak yang lain. Apalagi yang masih kafir,” jawab Surti enteng.
Rani menoleh ke kiri dan kanan di sekitar rumahnya. Ternyata, ia juga mampu melihat sosok-sosok misterius yang mondar-mandir. Ada yang sangat seram. Dan, ada juga yang seram sekali.
Anehnya, Rani merasa biasa saja. Ia melihat mereka. Dan mereka pun melihat Rani. Kadang mereka cepat menghilang ketika menyadari Rani memperhatikan mereka.
“Seperti mereka itu yang kau maksud masih kafir?” ujar Rani kepada Surti, sambil matanya melirik ke kiri dan kanan.
Surti mengangguk pelan. “Ya, seperti mereka,” jawabnya pendek.
“Aku bingung, bagaimana mereka bisa ada di masjid padahal tempat itu bisa membakar mereka?” tanya Rani lagi.
“Aku dan mereka tidak seperti manusia yang memiliki keterbatasan ruang. Aku dan mereka bisa sangat halus dan larut dalam darah. Bersembunyi di situ. Mondar-mandir di pembuluh hingga duduk asyik di hati manusia. Di situ kita beroperasi!” ungkap Surti.
“Semua yang ke masjid bisa kamu gitukan?” tanya Rani lebih penasaran lagi.
“Nggak semua. Tapi, sebagian besar bisa digitukan,” ungkap Surti lagi.
“Nggak semua? Kenapa nggak? Kan kamu makhlus halus yang bisa menyusup ke tubuh siapa pun?” ucap Rani menimpali.
“Aku dan semua jenis bangsaku yang sesat tidak akan mampu menyusup ke tubuh orang yang ikhlas. Dan kami melihat benteng begitu kokoh yang tidak mampu kami tembus,” jelas Surti. “Kalaupun kami mampu menyusup, kami akan tersiksa luar biasa di dalam sana!” tambah Surti lagi.
“Siapa yang bisa menyusup? Kamu pernah?” ucap Rani.
“Aku tidak. Hanya yang kelas perwira yang mampu. Pertaruhannya hidup dan mati!” jelas Surti yang diiringi anggukan Rani.
“Mereka yang kafir, apa yang mereka lakukan di masjid?” tanya Rani lagi.
“Hmmm,” suara Surti menarik nafas dalam. “Kami langsung menempeli semua yang lemah. Yang kurang ikhlas. Kami ceritakan di hati mereka hal-hal yang indah. Tentang enaknya jadi orang kaya. Tentang asyiknya kalau jadi penguasa. Tentang wajah-wajah cantik dan tampan yang mereka idam-idamkan,” ungkap Surti mengenang masa lalunya.
“Tujuannya?” sergah Rani setelah memberikan jeda istirahat buat Surti.
“Apalagi kalau bukan lalai. Silahkan tanya pada yang ke masjid itu, surah apa yang tadi dibaca imam. Sebagian besar mereka jarang yang ingat,” jawab Surti. Rani mengangguk lagi.
“Masya Allah!” ucap Rani seketika. Ia terkejut. Terkejut karena panitia i’tikaf membangunkannya dari tidur.
“Astagfirullah. Aku mimpi!” ucap Rani dalam hati. [Mh]