ChanelMuslim.com – Kisah 18 jam di rumah sakit. Ridho dengan takdir-Mu. Berawal dari kontrol jantung rutin ke RS, akhirnya takdir membawa saya ke ruang isolasi RS karena dinyatakan positif COVID-19.
Memang sejak sepekan sebelumnya, keluarga kami meriang batuk, dimulai isteri, anak-anak dan kemudian saya.
Usai jogging rutin ba’da subuh, siangnya badan menggigil kedinginan dan tidak dapat tidur malamnya. Kebetulan esoknya jadwal rutin check-up jantung. Di-screening awal, kemudian dirujukkan ke IGD.
Di sinilah pelajaran kehidupan bagiku dimulai. Tidak hanya tentang bahaya COVID-19 yang disepelekan dan bahkan dianggap tidak ada (semoga Allah Subhanahu wa taala mengampuni dan memberi hidayah mereka),
namun ujian manusia tentang kehidupan dan kematian, kegembiraan dan duka, kesenangan dan kesempitan yang datang silih berganti dengan cara yang tidak terduga.
Di IGD, ada saat saat berat yang harus kuhadapi. 18 jam harus duduk di kursi pasien karena tidak adanya tempat tidur. Pasien yang datang ke IGD bergelombang seperti arus air yang tidak putus. Banyak dari mereka sudah dalam keadaan parah sehingga membutuhkan prioritas penanganan.
Kebijakan RS tidak menyalakan seluruh AC di ruang IGD yang penuh manusia, menambah pengap dan berat kurasakan.
Jika ada video beredar pasien ditangani di selasar dan tergeletak di lantai, maka aku kini menyaksikannya sendiri. Berjam-jam, menunggu ruang isolasi yang penuh, aku memutuskan meminta isteri pulang mengambil selimut tebal agar aku bisa merebahkan tubuhku yang capek ke lantai.
Dimana aku menggelar tikarku? Di depan ruang informasi, menyisakan 2/3 untuk anggota keluarga yang menanyakan kondisi anggota keluarga, dan 1/3-nya untuk berbaring karena penuhnya pasien.
Baca Juga: Hukum Shalat di Kursi Ruang Tunggu Rumah Sakit
Kisah 18 Jam di Rumah Sakit
Dalam 18 jam itu, aku menyaksikan drama kematian yang hampir tidak putus. Hampir tiap jam sehingga aku sepertinya pola kapan seorang yang siap menjemput ajal.
Di sampingku, seorang ibu kulihat tidak sadar dengan ventilator, saturasi di monitor rendah dan nafasnya tersengal- sengal, maka tampak olehku seperti tanda batas hidup-matinya sangat tipis, dan benar saja tidak lama, beliau meninggal.
Seorang pria muda, berkisar 35, duduk ditenangkan isterinya, tampak tersengal- sengal nafasnya. Menjelang maghrib, dia meninggal diiringi jerit tangis keluarga.
Seorang bapak memakai prioritas tempatku karena kondisi pernapasan, meninggal menjelang isya’.
Jam 9 malam, kudengar mobil berhenti. Tiba-tiba kudengar jerit tangis anggota keluarga. Kukira pasien meninggal dalam perjalanan. Tidak. Rupanya, mereka protes karena ditolak karena tempat yang sangat penuh, namun akhirnya diizinkan.
Itupun setelah ada pasien lain yang dilepaskan ventilatornya, mungkin karena dianggap lebih baik untuk digantikan pasien baru.
Di sepanjang lorong menuju kamar mandi, aku hitung ada 5 jenazah, dugaanku menunggu antrian perawatan di kamar jenazah yang penuh.
Dan ketika aku hendak ke kamar kecil habis maghrib, aku dapati jenazah tergeletak di depan persis kamar mandi yang kupakai.
La Haula wala Quwwata Illa Billah. Sepanjang 18 jam, telah menjadi pengalaman hidup yang tidak akan pernah kulupakan. Aku memohon kepada-Mu. Semoga jangan terulang kembali.
Jam 2 malam, aku dibangunkan setelah dapat tidur sejenak. Semalam sebelumya dan 18 jam, aku susah tidur.
Alhamdulillah, ada ruang isolasi kosong sehingga bisa kutempati dan sejak itu aku mulai bisa beristirahat lebih nyaman.
Baca Juga: Rumah Sakit Dubai Tanggung Biaya Pasien yang Jalani Operasi Robotik
Ridho atas Ketentuan Allah
Rupanya ruang yang aku tempati adalah bekas pasien yang cabut paksa. Istilahnya, Atas Permintaan Sendiri (APS) karena isterinya yang juga terkena Covid meninggal.
Aku sendiri termasuk orang yang sangat berhati-hati dengan wabah ini, sangat menghormati ilmu dan pendapat ahli. Sangat membenci pandangan minim ilmu dan tuduhan tidak berdasar tentang wabah.
Namun, takdir Allah, aku dinyatakan positif dan lebih dari itu, anggota keluarga saya terkena. Ada perasaan sedih tentu, namun saya tidak menyesal atas segala ikhtiar yang telah saya lakukan. Semoga ini menjadi bagian dari sikap Iman, “Ar Ridlo bi Qodho’ wa Qodarillah“.
Dan semoga Allah Subhanahu wa taala mencatatnya sebagai kebaikan dan pahala, termasuk menyaksikan wabah dan kisah pilu di baliknya. Dan semoga mengampuni dan menyembuhkan saya dan keluarga. Aamiin Ya Rabb.
Semarang, Senin, 28 Juni. Hamba-Mu yang Lemah.[ind]
sumber: Facebook Ahmad Dzakirin