ChanelMuslim.com- Direktur NU Online dan Islami.co Savic Ali menyatakan bahwa harus melek digital dan bisa memanfaatkannya sebagai wadah untuk menyebarkan dakwah termasuk melawan kondisi dunia yang penuh dengan ungkapan kebencian.
Hal itu diungkapkan dalam kegiatan Literasi Digital ‘Indonesia Makin Cakap Digital’ di Sulawesi Selatan. Kegiatan ini diselenggarakan Siber Kreasi bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan tema “Dakwah yang Ramah di Internet” secara virtual pada Jumat, (04/06/2021).
Baca Juga : Cara Dakwah yang Ramah di Internet
“Kita hidup di bawah awan gelap kebencian. Di beberapa tempat sudah gerimis, bahkan hujan karena ada kekerasan,” kata Savic Ali.
Kehadiran internet diikuti media sosial membuat cara orang berinteraksi berubah. Dulu, orang akan berpikir belasan kali sebelum mengumpat atau melontarkan ujaran kebencian.
Kini, dengan tidak saling tatap muka, orang dengan begitu mudah melontarkan ungkapan kebencian kepada orang lain, ungkapan makian, bahkan fitnah.
“Karena berjauhan, obyek tidak saling kenal, makanya menjadi ringan ungkapan kebencian itu diucapkan. Maka, tidak heran media sosial dibanjiri ungkapan kebencian. Internet kita ini pun dibanjiri kabar bohong atau hoax,” terangnya.
Di Indonesia, lanjut Savic Ali, kondisi diperparah dengan adanya polarisasi masyarakat. Pendukung A akan begitu luwes menyebarkan kabar buruk kubu B.
Padahal, ia tidak tahu apakah berita itu benar atau tidak. Begitu juga sebaliknya. Dengan pengguna aktif media sosial di Indonesia yang angkanya lebih dari 170 juta, tentu tidak mudah untuk mengklarifikasi sebuah informasi keliru.
Tantangannya rumit. Maka, Savic Ali pun mengajak tokoh-tokoh agama, pengurus organisasi keagamaan, pendakwah untuk menyadari kondisi ini.
Atas dasar kondisi itu pula, Savic Ali menilai penting bagi pendakwah untuk melek digital.
Sebab, apabila tidak melek digital, mereka bisa menjadi korban disinformasi atau bahkan ungkapannya dipotong dari konteks.
“Penting untuk kita semua yang punya perhatian di dunia keagamaan untuk membanjiri internet dengan konten-konten positif.
Internet itu seperti sungai besar informasi. Kalau air yang mengalir jernih, otomatis sungai itu akan bersih dan sehat.
Bisa dipakai mengairi sawah, minum, atau mandi. Tapi, kalau air yang mengalir ke sungai besar informasi itu negatif, limbah sampah, apalagi limbah beracun, tentu itu membahayakan,” tutur Savic Ali.
Dalam kesempatan sama, tokoh MUI Sulawesi Selatan Usman Jasad menyampaikan, dengan melek digital.
Pendakwah diharapkan bisa membanjiri sungai besar informasi tersebut dengan konten-konten positif. Atau, setidak-tidaknya mengimbangi banyaknya informasi yang bernuansa hoax, ujaran kebencian, dan adu domba. Usman juga menilai digitalisasi dakwah penting dilakukan.
Apalagi, kata dia, saat ini banyak sekali konten-konten di media sosial yang berbau gosip (ghibah) atau hoax.
Gosip menjadi bahan yang banyak digemari di media sosial karena kalau tidak begitu dianggap tidak menarik.
“Dan ada hadistnya bahwa orang yang berbicara tidak sesuai fakta itu adalah orang-orang yang tidak beriman,” katanya.
Sementara itu, dosen jurnalistik UIN Makassar Andi Fauziah Astrid melihat saat ini ada sejumlah masalah yang dihadapi para pendakwah yang menggunakan media sosial.
Pertama,masalah privasi dan informasi pribadi.
Kedua, tidak berhati-hati dan bijak dalam mengakses atau membuat konten di internet.
Ketiga, membuat ketidaknyamanan dalam mengakses atau membuat informasi internet. Keempat, perundungan siber (cyber bullying) yang kerap menimpa pendakwah di platform YouTube dan Instagram.
“Saya ambil contoh netizen yang membahas cincinnya UAS (Ustad Abdul Somad), fisik UAS, donasi kapal selam yang digagas UAS, bahkan ada yang masuk ke ranah pribadinya, misalnya perceraian. Ini semua bagian dari cyber bullying,” terang Fauziah.
Terakhir adalah masalah hak cipta. Fauziah mengambil contoh kasus ustad Das’ad Latif, pendakwah yang disegani di Sulawesi dengan jutaan pengikut di media sosial.
Ada kanal lain yang memproduksi materi dakwah ustad Das’ad dan ditonton oleh jutaan orang hingga bisa dimonetisasi keuntungannya.
Padahal, akun media sosial tersebut bukanlah akun resmi ustad Das’ad.
“Makanya, suatu ketika saat ceramah, ustad Das’ad menyampaikan ke yang hadir, tolong yang mau merekam nggak usah merekam. Ini akan kami posting di YouTube. Permasalahannya, banyak orang yang nggak paham soal hak cipta, dan tidak menghargai hak cipta,” pungkasnya.
Baca Juga : Ada Empat Macam Juru Dakwah
Tidak hanya bagi para pendakwah, bijak dalam bermedia sosial juga harus ditunjukkan oleh para pengguna atau warganet.
Pemengaruh Arham Kendari membahas mengenai etika digital dengan tema “Bijak di Kolom Komentar”. Setidaknya, ada tujuh etika yang patut dipegang dalam bermedia sosial. “Ini sebagian besar berdasarkan pengalaman saya dalam bermedia sosial,” katanya.
Pertama, ingat prinsip habluminannas. Sebagai seorang beragama, menjaga hubungan dengan sesama manusia sama pentingnya dengan menjaga hubungan dengan Sang Pencipta atau dalam Islam habluminallah.
Kedua, ingat bahwa tulisan di media sosial adalah cerminan diri kita. Dengan mengingat hal ini, maka konten digital kita seharusnya tidak melanggar batasan atau norma agama.
Ketiga, mengelola emosi. Keempat, tidak memantik perselisihan. Sebelum mengunggah informasi atau konten, tanyakan kembali niat kita, apa tujuan kita mengunggah konten ini. Apakah memberikan manfaat atau edukasi atau justru memperkeruh suasana?
“Saya sarangkan cek dulu niat kita. Pertimbangkan maslahat mudharat sebagai Muslim. Apakah maslahat-nya lebih banyak dari mudharat-nya? Kalaupun mudharat-nya lebih kecil, bisa jadi ini menjadi besar,” katanya.
Kelima, menghargai privasi. Ketika masuk pusaran perdebatan hindari mengumbar informasi pribadi dan sensitif yang tidak pantas dilakukan.
Misalnya, membawa-bawah silsilah keluarga, nasab, dan sebagainya. Keenam, menyadari lingkaran pertemanan. Etika komunikasi digital tentu juga harus memperhatikan pertemanan kita.
Terakhir, paham literasi digital. Asal-asalan dalam menggunakan tulisan di media sosial tentu bukanlah tindakan patut.
Apabila ingin mengkritik orang. Lebih baik sampaikan melalui jaringan pribadi dan tidak perlu diumbar di kolom komentar.
“Karena mengkritik itu berbeda dengan mempermalukan,” tutupnya.
Kegiatan Literasi Digital ‘Indonesia Makin Cakap Digital’ di Sulawesi akan diselenggarakan secara virtual mulai dari Mei 2021 hingga Desember 2021 dengan berbagai konten menarik dan materi yang informatif yang pastinya disampaikan oleh para narasumber terpercaya.
Bagi masyarakat yang ingin mengikuti sesi webinar selanjutnya, informasi bisa diakses melalui https://www.siberkreasi.id/ dan akun sosial media @Kemenkominfo dan @siberkreasi, serta @siberkreasisulawesi khusus untuk wilayah Sulawesi.[Wmh]