ChanelMuslim.com- Suami istri itu juga manusia. Tak luput dari khilaf dan salah. Teguran kadang seperti obat yang bisa pahit sekali rasanya.
Siapa pun bisa melakukan salah. Bisa disengaja, bisa juga tidak. Mestinya biasa saja, jika ada yang salah, ada pula yang menegur. Bisa suami yang salah, bisa juga istri. Saat itulah, teguran menjadi yang paling dibutuhkan.
Obat itu Biasanya Pahit
Kalau teguran diniatkan sebagai obat, maka rasa pahit itu wajar. Rasanya memang tidak enak. Bahkan pahitnya bisa bertahan lama. Tapi, teguran akan menyembuhkan.
Contoh, teguran pahit untuk suami yang “anak mama”. Meski sebagai pemimpin, suami juga bekas anak mama, anak ibu, anak emak, dan seterusnya. Tapi, “anak mama” adalah istilah yang menunjukkan bahwa ia mengalami ketergantungan dengan mama meski sudah hidup mandiri.
Ketergantungan itu boleh jadi tidak sepihak muncul dari suami. Tapi dipelihara oleh ibunya walau anaknya sudah sebagai suami orang lain, bahkan ayah dari anak. Hal ini biasanya karena suami merupakan anak bungsu atau anak tunggal. Kriteria terakhir biasanya lebih sering terjadi.
Terlebih lagi, suami merupakan anak yatim dan anak tunggal seorang ibu yang suka memanjakan. Sang ibu ingin selalu bersama anaknya. Walaupun sang anak sudah punya keluarga baru.
Kalau sekadar ingin selalu bersama, tentu itu tidak masalah. Sangat patut seorang anak mengurus ibunya sampai tua. Dan patut pula seorang ibu sebatang kara ingin selalu bersama anak tunggalnya.
Masalahnya, sang ibu masih menganggap anaknya sebagai anak kecil yang harus dibimbing dan diintervensi. Karena kondisi ini pula, suami yang anak tunggal ini pun tanpa sadar sulit untuk mandiri. Termasuk mengambil keputusan keluarga barunya.
Memang agak sungkan menegur suami di kasus ini. Karena ada hubungan birrul walidain antara suami dengan ibunya, dan antara menantu dengan mertua. Tapi jika tidak ada teguran, suami boleh jadi akan terus menjadi bayang-bayang ibunya.
Karena itu, teguran ke suami harus fokus bahwa ia harus menjadi kepala keluarga yang sebenarnya. Keputusan dan kebijakannya tentang keluarga adalah murni darinya, bukan kemauan ibunya.
Langkah berikutnya, setelah suami setuju ia keliru, “memisahkan” dengan cara yang baik antara suami dengan ibunya. Tentu bukan berarti memutus hubungan baik. Tapi, menjelaskan ke ibu bahwa anaknya sudah bisa mandiri.
Boleh jadi, penjelasan saja belum cukup, tapi perlu pengkondisian agar komunikasi dengan ibu bisa dilakukan melalui menantu. Bukan antara suami dengan ibunya. Meski tetap satu rumah, ibu nantinya akan terkondisikan lebih akrab dengan menantunya daripada dengan putera tunggalnya.
Teguran Bisa Lewat Orang Lain
Ada jenis teguran yang riskan untuk disampaikan langsung. Bisa karena jenis kesalahannya, bisa juga karena tidak imbang antara skill komunikasi suami dengan istri. Artinya, salah satu pihak merasa tidak mampu berargumentasi langsung, dan yakin pasti kalah.
Misalnya, menegur suami yang seorang ustaz tapi masih suka larak-lirik. Atau, menegur istri yang ustazah atau aktivis dakwah tapi masih suka terpesona dengan sosok pria lain.
Kalau suami istri ini memiliki kemampuan yang imbang dari segi ilmu, mungkin teguran bisa langsung. Tapi jika tidak, ia butuh orang lain yang memiliki kemampuan yang lebih agar dalil dan hujahnya bisa diterima.
Catatan dalam hal ini, harus berhati-hati memilih orang lain yang dimintai bantuan. Selain karena menjaga tidak tersebarnya aib, sosok orang lain juga harus dikenal akrab oleh yang akan ditegur. Bisa ustaz atau gurunya, paman, bibi, kakak, dan sejenisnya. [Mh/bersambung]