ChanelMuslim.com- Ada yang unik shalat Tarawih di tanah air. Entah siapa yang mulai, shalat tarawih di negeri ini umumnya dengan gerakan cepat.
Shalat tarawih merupakan ibadah khusus di Bulan Ramadan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya di masjid beberapa hari. Tapi kemudian tidak dilakukan lagi. Rasulullah melakukannya di rumah. Hal ini karena Rasul khawatir umat akan menilainya sebagai shalat wajib.
Setelah itu, para sahabat melakukan shalat tarawih mengikuti Rasul, di rumah masing-masing. Namun, ada pula yang tetap melakukannya di masjid secara sendiri-sendiri.
Begitulah shalat tarawih dilakukan para sahabat hingga datang masa Kekhalifahan Umar bin Khaththab. Umar bin Khaththab radhiyallallahu ‘anhu berijtihad untuk melaksanakan shalat Tarawih secara berjamaah di masjid. Hal ini disambut antusias para sahabat dan umat Islam.
Sejak itu, shalat Tarawih menjadi semarak di semua masjid di seluruh penjuru negeri umat Islam. Ia seperti syiar baru yang lebih menghidupkan malam bulan Ramadan.
Namun begitu, shalat mereka dilakukan dengan semangat untuk meraih fadhilah atau keutamaan di bulan Ramadan. Mereka melakukan shalat dengan tenang. Tidak terburu-buru seperti yang sering kita lihat. Tidak heran jika shalat Tarawih mereka baru selesai menjelang tengah malam.
Tarawih di Tanah Air
Sebagian ulama di tanah air dan wilayah melayu umumnya berijtihad untuk meringankan pelaksanaan shalat Tarawih. Meski jumlah rakaatnya mencapai dua puluh tiga, termasuk shalat Witir, bacaan ayatnya tergolong yang paling ringan.
Ayatnya diambil dari surah-surah terakhir dari Juz 30. Dimulai dari Surah At-Takatsur dan diakhiri dengan Surah Al-Lahab. Shalat dilakukan dua rakaat-dua rakaat. Dan di setiap rakaat kedua dibacakan Surah Al-Ikhlas, juga tergolong surah yang paling pendek dalam Al-Qur’an.
Hal ini boleh jadi sebagai keringanan untuk masyarakat yang masih perlu membiasakan diri dengan shalat sunnah dengan rakaat yang banyak. Secara syariah, pemilihan surah-surah itu tidak bermasalah. Jadi tetap sah dan bagus.
Namun, entah kenapa, tradisi yang berkembang justru pada gerakan shalatnya. Begitu cepat. Bahkan, makmum nyaris tak lagi bisa membaca doa dan zikir di setiap rukun shalat. Hanya gerakan saja.
Yang paling parah, adalah yang kerap ditayangkan beberapa media televisi tentang shalat Tarawih tercepat. Hanya tujuh hingga sepuluh menit. Bayangkan, shalat dengan 23 rakaat, hanya menghabiskan waktu sekitar 10 menit. Benar-benar ajaib.
Hal ini mengundang komentar banyak ulama tanah air. Termasuk, Majelis Ulama Indonesia. Menurut mereka, shalat seperti itu tidak ada thuma’ninah atau ketenangan. Padahal, thuma’ninah dalam shalat merupakan rukun yang harus dilakukan.
Dalam sebuah riwayat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan seseorang untuk mengulang shalatnya hingga tiga kali. Ternyata, orang itu shalatnya tidak thuma’ninah, alias terburu-buru.
Pendapat ulama lain, shalat seperti itu adalah shalatnya anak-anak. Mereka ingin mengejar waktu agar bisa cepat, tapi tetap dengan jumlah rakaat yang disunnahkan.
Padahal, shalat merupakan media taqarrub atau pendekatan seorang hamba kepada Allah subhanahu wata’ala. Ia seolah berkomunikasi langsung dengan Allah. Lalu, bagaimana mungkin hal itu bisa dilakukan dengan shalat yang terburu-buru alias ekspres.
Ada juga kekhawatiran sebagian masjid atau mushollah yang ingin tidak cepat-cepat dalam Tarawih. Mereka khawatir menyalahi tradisi setempat yang sudah sekian generasi melakukan seperti itu. Termasuk yang dicontohkan oleh guru-guru mereka.
Menjawab hal ini, Buya Yahya menjelaskan dalam channel Youtubenya, bahwa tradisi yang salah tidak perlu diteruskan. Dan apa yang dilakukan guru-guru mereka juga tidak perlu diikuti, tanpa mengurangi rasa hormat kepada para guru. Karena para guru atau ustaz itu bukan Nabi yang lisan dan perbuatannya menjadi syariat.
Kalau tradisi dan contoh itu salah, baiknya disudahi. Jangan diteruskan. Karena ada contoh yang lebih kuat, yaitu contoh dari Nabi Muhammad dan para sahabat yang Allah ridhai.
Jadi, meski shalat Tarawih dilakukan dengan surah-surah pendek bahkan paling pendek dalam Al-Qur’an, tapi gerakannya tetap menjaga thuma’ninah. Insya Allah, shalat seperti itu akan menambah barokah di bulan suci Ramadan. Khususnya, untuk bangsa Indonesia. [Mh]