ChanelMuslim.com- Tak ada orang yang ingin begitu-begitu saja. Ia ingin berubah. Tentu sebuah perubahan yang lebih baik. Tapi dimulai dari mana?
Memaknai Surah Arra’d ayat 11, tafsirannya bisa beragam. Ada tafsiran bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri mengubahnya. Pertanyaannya kemudian, bagaimana suatu kaum mau mengubahnya kalau mereka sendiri tidak tahu apa yang mau diubah.
Ada tafsiran lain, Allah subhanahu wata’ala sudah memberikan segala yang baik di alam ini untuk manusia. Mulai dari mutu udara, sumber air, keseimbangan alam melalui hutan, laut, dan tanah. Tapi, manusialah yang mengubahnya menjadi buruk.
Masih ada beberapa tafsiran lain yang bisa dikaji. Namun, tetap saja ada celah kosong yang masih membingungkan. Yaitu, mau mulai dari mana?
Kalau menyimak apa yang dilakukan manusia terbaik di alam ini, teladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka, peta perubahan itu bisa ditangkap dengan mudah. Dan peta itu bukan kreasi dari diri Nabi atau sumbang saran dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajmain. Melainkan, bimbingan langsung dari Allah Subhanahu wata’ala.
Menarik apa yang pernah ditawarkan petinggi Quraisy kepada Rasulullah saw. Di antaranya, kalau mau kekuasaan, akan kami berikan kerajaan untukmu. Maka, engkau akan menjadi penguasa di Mekah ini.
Tapi, kenapa hal itu ditolak Nabi. Bukankah itu jalan cepat terjadinya sebuah perubahan. Kalau kekuasaan sudah di tangan, apa pun bisa dilakukan dari atas. Mulai membuat aturan, mengangkat siapa yang pantas memimpin, dan lainnya.
Pendek kata, perubahan yang ingin dilakukan Nabi tidak perlu lagi ditempuh dengan cara repot bergerilya, menguras tenaga, dan menerjang bahaya. Cukup dengan “otak-atik” kebijakan sebagai penguasa, maka perubahan akan terjadi signifikan.
Sekali lagi, kenapa hal itu ditolak Nabi? Apa yang salah dengan cara berpikir seperti itu.
Ulama asal Mesir, Sayyid Quthb pernah mengulas hal ini dalam kitabnya. Menurutnya, sepertinya Allah Subhanahu wata’ala menginginkan perubahan itu dilakukan secara alami. Dimulai dari perubahan yang ada dalam jiwa seluruh masyarakat Mekah waktu itu. Apakah mereka tergolong masyarakat “kecil” ataupun “besar”.
Dengan begitu, perubahan yang terjadi tidak formal dan elitis. Formal karena cenderung terkungkung pada aturan-aturan formal yang tidak tumbuh alami dalam jiwa masyarakat. Elitis karena perubahan akan cenderung kompromis agar tidak ada yang dirugikan. Terutama, kerugian dari kaum bangsawan.
Allah subhanahu wata’ala menginginkan perubahan itu benar-benar terjadi dalam jiwa penduduk Mekah yang kemudian akan menularkannya ke seluruh negeri. Tidak ada kompromi. Tidak basa basi. Murni dan seratus persen tuntunan dari Yang Maha Segalanya.
Perubahan itu diawali dari keyakinan. Inilah kekuatan perubahan yang utama. Yaitu, berubahnya iman. Iman kepada Allah, kepada hari Akhir, kepada Kitab, Rasul-rasul, Malaikat, dan takdir baik buruk.
Mulai saat itu, lepaslah semua keyakinan terhadap hal-hal yang salah. Lepas terhadap kekuatan semu yang selama ini dianggap kuat. Lepas terhadap peruntungan nasib yang disandarkan pada yang tidak jelas. Lepas terhadap kepatuhan kepada siapa pun yang tidak mematuhi Penguasa yang sebenarnya. Dan seterusnya.
Bayangkan, selama tiga belas tahun, Rasulullah saw. berkutat di persoalan itu. Dengan sabar ia ikuti bimbingan Allah terhadap isi peta perubahan yang dilakukan. Ia saw. tidak melakukan improvisasi, kreativitas, dan sejenisnya.
Itulah yang terjadi selama tiga belas tahun di Mekah. Tidak ada konflik senjata. Kalaupun didesak, biarkan semua urusannya diserahkan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Sabar dan sabar.
Pendek kata, lebih dari separuh masa dakwah Nabi dikhususkan untuk melakukan perubahan jiwa itu. Jiwa yang menjadi pusat perubahan sisi hidup manusia. Jiwa yang akan menjadi wadah kalimat Ilahi yang sempurna. Jiwa yang menihilkan kesombongan diri, kerakusan, nafsu, ego diri, kekikiran, dan lainnya.
Ketika jiwa-jiwa itu sudah berubah total seperti yang diinginkan tuntunan Ilahi, kelak, mereka akan menjadi sosok lain yang melampaui manusia mana pun. Meski secara ekonomi, mereka jauh dari memadai. Meski secara intelektual, sebagian besar mereka bukan kaum terpelajar. Bukan dari kalangan bangsawan dan teknokrat.
Mencermati peta perubahan Rabbani itu, ubahlah diri dan keluarga seperti perubahan itu. Bukan dimulai dari ekonominya. Bukan dari akademis formalnya. Apalagi, perubahan dari sisi fisik dan penampilannya.
Ubahlah diri dan orang-orang terdekat kita dimulai dari perubahan jiwa secara mendasar. Yaitu, tertanamnya nilai-nilai keimanan yang akan membentuk jiwa secara utuh dan benar. Tumbuhlah jiwa-jiwa yang penuh cinta bukan pembenci, jiwa-jiwa yang ingin berbagi bukan menerima, jiwa-jiwa yang ingin terus bergerak bukan enjoy dalam diam, jiwa-jiwa yang ingin selalu bersih bukan bergelimang kotor, jiwa-jiwa yang rendah hati bukan berbangga diri. Dan seterusnya.
Lakukan perubahan itu dengan sendiri jika mampu. Dan mintalah bantuan pihak lain sebagai upaya bersama untuk kebaikan bersama. Bisa melalui sarana pendidikan agama, majelis taklim, dan seterusnya.
Teruslah melakukan perubahan dengan cara yang baik dan benar. Jika tidak, orang lain yang tidak jelas akan mengubah kita dan keluarga menurut selera mereka. (Mh)