ChanelMuslim.com- Mutu manusia bisa dilihat dari kebenaran ucapannya. Bukan hartanya. Bahkan bukan juga ilmunya.
Lidah itu tak bertulang. Itulah kiasan yang menunjukkan kelenturan lidah untuk mengucapkan apa pun. Soal benar dan salah, soal jujur dan dusta; hanya dia dan Allah yang tahu.
Karena itu, nilai ucapan sangat bergantung dari kedekatan atau hubungan khusus seseorang dengan Allah subhanahu wata’ala. Mungkin saja orang lain terpedaya dengan ucapannya, tapi Allah Maha Tahu di balik itu semua.
Sebuah cerita lama boleh jadi masih menarik untuk diambil pelajaran. Adalah seorang kiyai sepuh yang ingin mewariskan posisinya kepada sepuluh santri terbaik. Ia ingin menguji, siapa dari mereka yang pantas untuk menggantikannya.
Ujiannya lain dari yang lain. Pak Kiyai tidak menguji ilmu mereka. Karena semua memiliki ilmu yang sama hebat. Pak Kiyai juga tidak menguji kesetian mereka. Karena semua terbukti setia. Pak Kiyai juga tidak menguji mutu kepemimpinan mereka. Karena mutu itu sudah tertanam rata sejak lama.
Ujiannya sangat sederhana. Pak Kiyai hanya ingin menguji kejujurannya. Ia meminta santri-santri pilihan itu untuk menyembelih ayam di tempat yang tersembunyi. Di mana di situ hanya ada ia dan ayam yang akan disembelihnya.
“Ini ujian kejujuran untuk kalian,” titah Pak Kiyai begitu bijak.
Berangkatlah sepuluh santri ini bersama ayam yang akan disembelihnya. Mereka berpencar, mencari tempat-tempat sepi yang tak ada siapa pun yang melihat. Siapa yang sudah tuntas dengan tugasnya, mereka pun diminta segera balik dan memperlihatkan bukti sembelihannya ke Pak Kiyai.
Pak Kiyai menanti lama. Ada satu santri yang sudah kembali. Ia datang dengan ayam yang sudah disembelih.
“Kamu sudah berhasil santriku?” tanya Pak Kiyai.
“Alhamdulillah, Pak Kiyai. Ini buktinya,” jawab seorang santri.
“Di mana kamu menyembelihnya?” tanya Pak Kiyai lagi.
“Aku menyembelihnya di sebuah gua, Pak Kiyai,” jawabnya lagi.
Berikutnya, datang lagi santri kedua. Ia menceritakan telah menyembelih ayam itu di sebuah hutan lebat. Begitu pun santri-santri berikutnya dan berikutnya. Sembilan santri sudah kembali dengan ayam sembelihan dan laporan lokasi yang tersembunyi dari siapa pun.
Mereka menunggu lama untuk satu santri yang belum juga muncul. Terbersit perasaan was-was Pak Kiyai kalau sesuatu menimpa salah satu santrinya itu. Jangan-jangan ia dimangsa hewan buas, atau sejenisnya.
Hingga malam datang, satu santri ini juga belum pulang. Keesokan paginya, Pak Kiyai dan santri-santri lain kembali berkumpul menanti kepulangan satu santri ini. Hingga siang hari, tanda-tanda kepulangan itu belum terlihat.
Baru menjelang sore, satu santri ini mulai terlihat. Ia berjalan lunglai menuju pintu gerbang. Wajahnya menunjukkan aura kegagalan. Semua mata tertuju pada santri gagal ini.
“Kenapa kamu belum menyembelih ayam itu? Apa kamu tidak paham dengan instruksiku?” ucap Pak Kiyai menunjukkan rasa heran.
Santri itu tertegun. Ia agak bingung mau menjawab apa. Ia perhatikan sembilan santri lain sudah berhasil melaksanakan tugas. Tapi ia gagal.
“Hei, kenapa kamu diam. Aku tanyakan kenapa kamu tidak melaksanakan tugas sederhana itu? Kamu nggak bisa menyembelih ayam?” sergah Pak Kiyai dengan suara agak keras.
“Maaf Pak Kiyai. Bukan saya tidak bisa menyembelih ayam. Tapi, syarat yang Pak Kiyai ajukan tidak mungkin bisa saya lakukan. Saya coba ke gua, tapi saya merasa ada yang melihat perbuatan saya. Begitu pun ketika saya ke hutan, ke puncak gunung, ke pulau terpencil. Kemana pun saya pergi, saya merasa ada yang selalu melihat perbuatan saya,” jelas santri ini apa adanya.
Pak Kiyai terdiam. Kemudian ia berujar, “Siapa yang kamu yakini selalu melihat ke mana pun kamu berada?”
“Allah!” ucap santri itu begitu tulus.
Jawaban satu kata itu tiba-tiba menyentak kesadaran para santri lain. Mereka seperti merasakan, ilmu yang mereka yakini begitu banyak diperoleh, sama sekali tidak memberikan nilai tambah iman mereka.
“Kamu yang lulus santriku. Imanmu mengendalikan ilmu dan nafsumu. Bukan sebaliknya. Itulah kejujuran yang sebenar-benarnya,” ungkap Pak Kiyai yang disambut anggukan paham para santri itu.
Kejujuran bukan sekadar berkata apa adanya. Bukan sekadar tuntutan publik, aturan tertentu, dan seterusnya. Tapi lebih karena meyakini bahwa ada yang selalu tahu tentang yang tersembunyi dalam diri ini.
Dan itu berarti kejujuran menjadi universal. Menjadi karakter yang tidak pernah terpisahkan. Tidak berarti bicara jujur dengan atasan, sementara “boleh” dusta dengan bawahan. Selalu jujur dengan orang dewasa, tapi “bisa” dusta dengan anak-anak.
Siapa pun yang memiliki iman seperti ini, akan selalu jujur meski sulit diucapkan. Meski pahit yang akan dirasakan. Karena ia tidak sedang jujur dengan manusia, tapi apa adanya dengan Yang Maha Tahu segalanya. (Mh)