ChanelMuslim.com – Ketika Ambulan Jadi Kendaraan Istimewa Kita
Kendaraan ini memang unik. Dari semua penumpang termasuk sopir yang ikut di dalam, hanya seorang yang boleh tidur. Bukan sekadar tidur sambil terduduk. Tapi, tidur dalam arti sebenarnya: membujur tanpa halangan. Dan tak seorang pun akan membangunkan, meski tujuan sudah sampai.
Jika kita tinggal tak jauh dari pusat pemakaman sebuah kota, maka telinga kita akan terbiasa dengan suara sirine ambulan. Suaranya begitu nyaring menusuk telinga. Ia terus dinyalakan tanpa peduli apakah yang mendengarnya terganggu atau tidak. Tak peduli juga apakah saat itu siang, sore, atau tengah malam sekali pun.
Baca Juga: Angkatan 27 IPB Donasi Rp322.5 Juta untuk Pengadaan Ambulans
Ketika Ambulan Jadi Kendaraan Istimewa Kita
Anehnya, tak seorang warga pun merasa terganggu. Meski menusuk telinga, suara ambulan sudah seperti suara mobil biasa. Orang hanya terhenyak sebentar, kemudian kembali dengan dunianya masing-masing.
Sekarang, bayangkan kita menjadi penumpang di mobil istimewa itu. Bukan sebagai sopir atau asistennya. Melainkan sebagai penumpang istimewa yang boleh tidur dengan posisi apa pun.
Saat itu, kita akan membayangkan betapa cepatnya mobil itu melaju. Tanpa ada hambatan. Meski lampu merah sekali pun. Sedemikian cepatnya, kita seperti melaju di jalan tol yang sepi. Ah, betapa enaknya.
Kita pun akan membayangkan di depan dan belakang mobil yang ditumpangi berjajar kendaraan pengawal. Ada motor dan mobil yang begitu sigap menutup pertigaan dan perempatan. Mereka rela mengambil risiko terserempet kendaraan lain. Rela pula mendapat cemooh pengendara sekitar. Semua demi mobil yang kita tumpangi tetap melaju cepat.
Padahal, kita bukan pejabat. Kita juga bukan orang penting yang harus diutamakan dari pengendara lain. Kita hanya warga biasa yang sudah tidak lagi menjadi apa-apa.
Bukan cuma pengawalan, mobil istimewa kita pun diikuti begitu banyak kendaraan sanak kerabat. Mereka berjejer di belakang kita. Mereka rela ikutan. Walaupun undangannya begitu mendadak. Walaupun, mereka tak mendapat uang transport sepeser pun.
Semua ikutan. Tanpa kecuali. Persis seperti sebuah pawai keluarga. Ah, sebuah momen yang benar-benar istimewa.
Kita juga membayangkan lokasi tujuan yang akan dicapai. Lokasinya bukan tempat rapat penting yang dikhawatirkan akan berpengaruh besar jika terlambat semenit pun. Bukan juga tempat darurat yang tak boleh ada kata terlambat.
Lokasinya hanya sebuah tempat sunyi. Tak ada gedung-gedung tinggi. Tak ada gemerlap lampu dan hiasan taman. Tak ada toko-toko serba ada untuk mencukupi segala kebutuhan. Bahkan, satu rumah pun sulit ditemukan.
Lokasinya hanya sebuah kumpulan gundukan tanah dengan sedikit hiasan batu nisan. Gundukan itu berjajar begitu panjang. Tanpa sedikit pun atap atau sekadar lampu penerangan. Gelap. Sunyi. Dan kian gelap dan sunyi manakala malam menyelimut pekat.
Itulah lokasi yang akan kita tuju. Ketika tiba, semua pengantar begitu bergegas menggotong tubuh kita. Tak seorang pun yang akan mau membangunkan. Meski dengan cara sehalus apa pun.
Kita akan menjadi pusat perhatian semua orang di situ. Semua mata memandang ke arah diri kita. Anehnya, tak seorang pun yang tersenyum. Mereka tampak sedih. Setidaknya, tidak menampakkan ekspresi apa pun.
Ah, betapa istimewanya diri kita. Setelah ditumpangi kendaraan istimewa, digotong pula dengan penuh hati-hati.
Tujuan akhir dari perjalanan istimewa itu memang bukan tempat istimewa seperti yang selama ini kita alami. Bukan gedung megah. Bukan mal nan penuh pesona. Bukan vila mewah yang serba ada. Melainkan, sekadar sebuah galian tanah berukuran sekitar satu kali dua meter.
Itulah tujuan dari perjalanan istimewa itu. Di situlah kita akan tinggal untuk selamanya. Tak pernah keluar walau sedetik pun. Selamanya, tanpa ditemani seorang pun. Tanpa fasilitas darurat seperti, ranjang tidur, selimut, baju ganti, toilet, makan, minum, dan lainnya.
Siapa pun kita, hanya akan berakhir dalam perjalanan istimewa itu di tempat itu. Sebuah ruang gelap tanpa fasilitas apa pun. Ditutup dengan tumpukan tanah serapat-rapatnya. Sepadat-padatnya.
Kendaraan istimewa itu pun akhirnya meninggalkan kita. Sirinenya tak lagi berbunyi. Kendaraan itu tak lagi istimewa. Karena yang membuatnya istimewa bukan dari sirinenya. Bukan juga karena para pengawalnya. Tapi karena kitanya yang istimewa: sesosok jenazah yang terbungkus kain kafan putih. Tanpa corak bunga. Tanpa corak batik nan abstrak. Tanpa sulaman indah nan mempesona. Hanya kain putih yang tak perlu disetrika. (Mh)