ChanelMuslim.com – Zina, Pembunuhan, dan Tragedi Dunia Akademik, oleh: Nuim Hidayat (Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Depok)
Beberapa hari ini, masyarakat ibukota dikejutkan dengan kejadian yang di luar akal sehat. Sepasang kekasih memutilasi seorang pemuda menjadi 11 bagian. Potongan-potongan tubuh pemuda itu, dimasukkan dalam koper dan tas ransel dan disimpan dalam sebuah apartemen di Kalibata, Jakarta Selatan. Mayat yang telah dimutilasi itu rencananya akan dikubur di sebuah pekarangan halaman belakang sebuah rumah di Cimanggis, Depok. Namun, rencana dua pembunuh laki-laki dan perempuan itu gagal. Polisi keburu meringkusnya sebelum mayat yang dimutilasi itu dikubur.
Baca Juga: Zina Walau Sama-Sama Ridha dan Suka Tetap Haram
Zina, Pembunuhan, dan Tragedi Dunia Akademik
Peristiwa mengerikan itu, didahului dengan perzinahan yang dilakukan oleh pemuda itu dengan perempuan, salah satu pembunuh. Setelah perzinahan selesai, kekasih perempuan itu –yang bersembunyi sebelumnya di kamar mandi- langsung membunuh pemuda itu. Pemuda itu dibunuh dengan pukulan benda keras di kepalanya dan tusukan pisau. Selesai membunuh, dua kekasih itu kemudian memotong-motong tubuh korban menjadi 11 bagian dengan golok dan gergaji.
Dua pembunuh itu juga mengambil beberapa kartu ATM yang dimiliki korban itu. Mereka menguras uangnya dari mesin ATM sekitar Rp97 juta. Dari jaringan digital mesin ATM inilah polisi mengendus keberadaan para pembunuh itu. Karena beberapa hari sebelumnya polisi telah mendapatkan laporan tentang adanya orang hilang di Jakarta.
Hikmah
Kejadian mengerikan di atas, kita mesti mengambil hikmahnya. Pertama tentang dampak zina. Seperti diketahui, zina adalah perbuatan kriminal dalam Islam. Pelakunya dikenai hukum pidana dengan hukuman cambuk atau hukuman mati. Tidak seperti hukum Barat yang menganggap zina adalah perbuatan mubah, yang dibolehkan berkembang dalam masyarakat.
Alquran menyatakan,
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS al Isra’: 31)
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS al Isra’: 32)
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS al Isra’ 33)
Kalau kita perhatikan, ayat tentang zina (al Isra’: 32) diapit dengan dua ayat tentang pembunuhan (al Isra’: 31 dan 33). Seolah-olah alquran hendak mengatakan bahwa perbuatan zina itu dekat dengan pembunuhan.
Faktanya di masyarakat memang demikian. Banyak terjadi perempuan (dan laki-laki) yang berzina, menggugurkan kandungannya. Ada yang membunuh benih bayinya dalam kandungan, ada pula yang membunuh atau menelantarkannya ketika lahir. Fitrah dalam diri perempuan itu mengatakan malu yang luar biasa, melahirkan bayi tanpa pernikahan yang sah.
Selain itu, banyak kejadian pula, laki-laki atau perempuan setelah berzina meninggal dunia di kamar tempat adegan berlangsung.
Kejadian kriminal yang diceritakan di atas, nampak lebih mengerikan lagi. Dimana pembunuhan dengan cara mutilasi terjadi, setelah adegan perzinahan. Al Quran mengingatkan,” Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
Jadi dalam hal ini, laki-laki yang menzinai perempuan (pelaku mutilasi), sebenarnya ikut dalam lingkaran kriminal itu. Ia berzina, tidak takut akibat dosa besar yang dia lakukan.
Kedua, kejahatan itu berkelindan dengan kejahatan lain. Maka jangan heran, di tempat-tempat pelacuran, banyak beredar minuman keras, narkoba dan lain-lain. Di tempat-tempat seperti itulah para penjahat, pembunuh, perampok, koruptor dan lain-lain, mengistirahatkan tubuhnya.
Maka, jangan heran kejadian pembunuhan mutilasi di ibukota baru-baru ini dilakukan oleh para pezina. Mereka yang terbiasa melakukan perbuatan kriminal (termasuk zina), akan dengan enteng melakukan perbuatan kriminal lainnya. Membunuh, merampas harta korban dan lain-lain.
Ketiga, ramai diberitakan di media massa bahwa salah satu pelaku mutilasi itu, adalah lulusan perguruan tinggi ternama di tanah air. Perempuan pembunuh itu (Laeli) adalah lulusan FMIPA UI. Dari sini, kampus UI harus mengaca diri dan melakukan evaluasi, apakah sudah benar kurikulum yang diberikan kepada mahasiswanya. Meskipun mungkin Laeli ini adalah pengecualian, tapi tidak salah bila pimpinan UI kembali melakukan review sejauh mana pendidikan akhlak/adab diberikan ke mahasiswanya.
Mahasiswa-mahasiswa di perguruan tinggi negeri –tidak hanya UI- kebanyakan dicekoki oleh pelajaran-pelajaran yang menumbuhkan IQ/EQ semata. Tetapi pendidikan spritualitas/ESQ-nya banyak terabaikan. Akibatnya, banyak alumni-alumni perguruan tinggi yang berbuat kriminal atau setelah lulus hanya memikirkan dirinya sendiri saja. Abai terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar.
Mengenai hal ini, tokoh Islam, Mohammad Natsir menceritakan kejadian menarik tragedi dalam dunia akademik di bukunya Islam dan Akal Merdeka. Dalam bab Tauhid Sebagai Dasar Didikan, Natsir menceritakan,
”Ketika Prof Kohnstamm membuka tahun pelajaran baru dari Nutseminarium yang ia pimpin di Amsterdam beberapa tahun yang lalu, dimulainya pidato pembukaannya dengan memperingati seorang koleganya yang karib, Prof. Paul Ehrenfest, Guru Besar dalam ilmu fisika yang kebetulan baru meninggal dengan cara yang amat mengejutkan dunia wetenschap (ilmu pengetahuan) di waktu itu.
Prof Ehrenfest amat dicintai oleh teman sejawatnya sebagai sahabat yang setia, dihormati dan disayangi oleh pelajar-pelajar sebagai pemimpin dan bapak dalam ilmu yang ia perdalami. Guru Besar tersebut telah meninggalkan dunia yang fana ini masuk ke alam baka dengan membunuh diri, setelah ia membunuh lebih dahulu seorang anaknya yang amat dicintainya dan tunggal pula. Siapakah yang tidak akan heran, terkejut dan sedih mendengar peristiwa itu?
Paul Ehrenfest seorang terpelajar. Seorang intelek dengan arti yang penuh. Ia berasal dari famili yang baik-baik. Ia telah mendapat pelajaran dan didikan yang teratur menurut cara didikan yang sebaik-baiknya yang ada di tempat kelahirannya. Otaknya yang amat tajam itu telah menukik menggali rahasia ilmu yang dapat dicapai oleh manusia di zamannya pula. Dari seorang yang menerima ilmu, ia telah sampai kepada derajat seseorang yang mengupas, meretas dan menaruh rahasia-rahasia ilmu pengetahuan yang masih tersembunyi dan menyediakan buah penyelidikannya itu untuk dihidangkan kepada dunia luar, kepada orang banyak dan perangkat baru yang akan menyambung dan meneruskan pekerjaannya. Tak pernah terdengar ia melakukan suatu pekerjaan yang tercela. Pergaulannya selalu dengan orang-orang baik pula. Akhlaknya baik penyayang dan disayangi.
Kenapakah sekarang ia melakukan sesuatu perbuatan yang lebih buas dan ganas sifatnya dari perbuatan seorang penjahat, membunuh anak sendiri dan setelah itu membunuh dirinya pula? Tentu ada satu rahasia kehidupannya yang tidak diketahui orang luar…!
Dari suatu surat yang ditinggalkannya untuk teman sejawatnya yang paling rapat, yakni Prof Kohnstamm itu nyatalah, bahwa perbuatan yang menewaskan dua jiwa itu bukanlah suatu pekerjaan terburu nafsu, melainkan suatu perbuatan yang telah dipikir lama, berasal dari suatu perjuangan ruhani yang telah mendalam, yang tak dapat diselesaikannya dengan lautan ilmu yang ada padanya itu. Ternyatalah dari suratnya bahwa mahaguru ini kehilangan ideal, kehilangan tujuan hidup! Didikan yang diterimanya dari kecil, pergaulannya selama ini dengan orang sekelilingnya, telah memberi bekas kepada jiwanya bahwa tak ada orang lain, pokok dan tujuan hidup yang sebenarnya selain wetenschap. Dikorbankannya segenap tenaganya, ditumpahkannya seluruh cita-citanya kepada wetenschap, sampai ia menginjak tingkatan yang tinggi dalam ilmu pengetahuan itu…
Ehrenfest mempunyai seorang anak yang amat dicintainya. Ia harap bahwa anak inilah yang akan meneruskan pekerjaannya, menyambung tenaganya yang tentu pada suatu masa akan habis juga. Dicobanya mendidik anaknya itu dengan sesempurna mungkin didikan. Maklumlah anak seorang professor. Akan tetapi kenyataan, anak ini tidak pula sempurna otaknya…
Tapi semua itu rupanya tidak berhasil. Di saat yang demikian itulah rupanya muncul kemasygulan yang tak terderita, timbul putus asa yang menghancurkan iman. Iri hati melihat orang sekelilingnya yang senantiasa aman dan tenteram walaupun apa malapetaka yang menimpa. Ingin hatinya hendak seperti orang itu, orang yang ada mempunyai tempat bergantung, ada mempunyai satu keyakinan dan pegangan dalam hidupnya, yakni keyakinan yang dinamakan orang ‘kepercayaan agama”.
Bagi Ehrenfest, ini tidak dapat dicapainya. Sebagai pelukisan bagaimana keadaan batinnya pada waktu, ia menyatakan dalam salah satu suratnya kepada Prof Kohnstamm. “Mir fehit das Gott Vertrauen. Religion ist notig. Aber wem sienicht moglich ist, der kann eben zugrunde gehen.” (Yang tak ada pada saya, ialah kepercayaan kepada Tuhan. Agama adalah perlu. Tetapi barangsiapa yang tidak mampu memiliki agama, ia mungkin binasa lantaran itu, yakni bila ia tidak bisa beragama.”).
Ruhnya berkehendak penyembahan kepada Tuhan akan tetapi tidak diperdapatnya. Ia ingin dan rindu hendak mempunyai agama akan tetapi tidak diperolehnya jalan. Ini menjadi satu azab yang tak terderita olehnya. Yang amat mengharukan hati sahabat-sahabatnya yang tinggal, ialah ‘doanya’ yang paling akhir,”Moge Gott denen beistehen, die ich jetzt so heftig verletze”. (Mudah-mudahan Tuhan akan menolong kamu, yang amat aku lukai sekarang ini).
Demikianlah gambar kebatinan seseorang yang pada lahirnya boleh dinamakan atheist itu. Seseorang yang pada hakikatnya amat rindu untuk mempunyai Tuhan. Tetapi tidak didapatnya dalam hidupnya. Seolah-olah dengan membunuh diri itu, ia hendak mencari Tuhan di seberang kubur, yakni di akhirat dan supaya ia terlepas dari siksaan ruhani yang dirasanya amat berat mengimpitnya di dunia ini.
Kita bawakan peristiwa ini akan jadi sedikit perenungan bagi kita semua. Moga-moga jadi cermin perbandingan. Sebab kita yakin, bahwa di antara orang-orang Barat ataupun di antara kaum kita di negeri kita di sini pun, tidak mustahil pula adanya terjadi perjuangan batin seperti yang diderita oleh mendiang Prof. Ehrenfest itu. Yakni satu kerusakan batin yang pangkalnya ialah pada kekurangan pimpinan ruhani di waktu kecil. Lantaran ketinggalan memberikan makanan batin dalam bidang pendidikan dan terlampau condong kepada pendidikan yang bersifat intelektualis semata.”[ind]