ChanelMuslim.com- Imam Nawawi rahimahullah dalam Kitab Riyadhus Shalihin menjelaskan tiga jenis niat orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa taala. Tiga jenis niat inilah yang akhirnya membedakan kualitas ibadah masing-masing pelaksanannya.
Penulis Kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi rahimahullah, menjelaskan tentang adanya tiga kriteria orang yang beribadah menurut niatnya. Yaitu, ‘ibadatul ‘abid, ‘ibadatut tijar, dan ‘ibadatul akhyar.
‘Ibadatul ‘abid adalah diumpamakan seperti seorang budak yang menunaikan tugas-tugas tuannya. Seorang budak bekerja tidak memperoleh gaji atau imbalan. Sehingga, ia melaksanakan tugas-tugas dari tuannya sebatas apa yang diwajibkan saja.
Ia tidak peduli dengan hal-hal lain yang tidak ditugaskan kepadanya. Fokusnya hanya pada kewajiban saja. Hal ini agar ia tidak kena hukuman.
Setelah yang diwajibkan tuntas ia selesaikan, sang budak pun bisa istirahat atau menunggu kewajiban lain yang akan ia lakukan. Persis seperti ia lakukan pada tugas sebelumnya: hanya untuk menggugurkan kewajiban.
Ada orang yang beribadah dengan model seperti ini. Fokusnya hanya untuk menggugurkan kewajiban. Ia lakukan itu agar terbebas dari beban dan selamat dari hukuman jika lalai dengan tugas itu.
Mungkin tidak sedikit di antara kita yang melaksanakan ibadah dengan model seperti ini. Ia menunggu waktu shalat.
Dan setelah tiba, ia segera melaksanakannya sebelum melaksanakan hal lain. Tapi, ia laksanakan itu sebatas yang wajibnya saja. Sekadar untuk menggugurkan beban kewajiban yang serasa seperti ingin cepat-cepat ia lepaskan.
Baca Juga: Suami Rajin Ibadah, Tapi Malas Mencari Nafkah
Tiga Ibadah Menurut Imam Nawawi
Kedua, ibadatut tijar. Ada orang beribadah seumpama dengan pedagang yang memburu keuntungan terhadap apa yang ia dagangkan. Pedagang hanya akan menjual barang-barang yang besar keuntungannya. Dan, mengabaikan dagangan yang kecil nilai keuntungannya.
Orang yang beribadah dengan model ini, lebih cenderung pilih-pilih mana ibadah yang besar pahalanya. Ia memburu pahala itu sesusah apa pun pelaksanaannya. Karena dengan cara itu, ia berharap akan mendapat keuntungan dari susah payahnya itu dengan pahala yang banyak.
Contoh, ada orang yang hanya memburu malam lailatul qadar di malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadan saja. Yaitu malam 21, 23, 25 dan seterusnya.
Di malam-malam itu, ia kerahkan segala tenaga yang tersisa untuk bisa terjaga semalaman suntuk beribadah. Tapi di malam-malam genap, ia lakukan ibadah sekadarnya saja.
Seperti itulah kira-kira model orang yang beribadah dengan kriteria kedua ini. Ia terdorong melaksanakan ibadah karena melihat keuntungan pahala di balik ibadah itu.
Mana yang pahalanya besar ia laksanakan dengan sungguh-sungguh, dan untuk yang tidak, ia lakukan dengan biasa saja.
Ketiga, ‘ibadatul akhyar atau ibadahnya orang-orang istimewa. Di antara mereka adalah para nabi dan rasul, para sahabat nabi, dan seterusnya.
Dikatakan istimewa dari ibadah orang-orang ini karena mereka beribadah bukan karena sekadar menggugurkan kewajiban. Bukan pula karena memburu pahala. Tapi lebih karena ungkapan rasa syukurnya kepada Allah Subhanahu wa taala. Yaitu, ungkapan rasa terima kasihnya karena Allah telah melimpahkan nikmat yang begitu banyak.
Suatu kali istri Nabi shallallahu a’alaihi wasalam, Aisyah radhiyallahu anha, pernah bertanya kepada Nabi. Pertanyaan ini terlontar manakala sering menyaksikan Nabi melaksanakan ibadah begitu bersemangat dan tak merasakan lelah.
Hingga, Aisyah mendapati kaki suaminya bengkak karena terlalu lama berdiri menunaikan shalat sunnah.
“Ya Rasulullah, kenapa engkau lakukan ini? Padahal, Allah telah mengampuni dosamu yang dulu dan akan datang,” ucap Aisyah radhiyallahu anha.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab pertanyaan Aisyah itu dengan kalimat pendek, “Apakah aku tidak patut untuk mengungkapkan rasa syukurku.”
Jadi, ibadah Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang begitu luar biasa hingga beliau tak merasakan rasa lelah, bahkan sakit di kaki beliau; semata-mata sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah subhanahu wa taala.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam ingin mengungkapkan rasa syukurnya atas segala nikmat yang begitu besar yang ia terima. Dan ungkapan itu ia wujudkan dalam bentuk pelaksanaan ibadah sunnah setelah menyempurnakan yang wajib.
Kini, tinggal kita pilih mana yang menarik untuk dilakukan. Apakah beribadah seperti yang dilakukan para budak dalam menunaikan tugas-tugas dari majikannya.
Atau, ibadah seperti para pedagang yang gemar memburu keuntungan yang lebih besar. Atau, ibadah yang dilakukan karena rasa syukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan.
Dan mereka yang bersyukur ini Allah berjanji, jika kalian bersyukur atas segala nikmat-Ku, maka akan Aku tambahkan. Dan jika kalian kufur, sesungguhnya azab-Ku amat pedih.
Wallahu a’lam bishawab. [Mh]