ChanelMuslim.com- Tayangan ulang sidang kabinet yang berisi ungkapan jengkel Presiden Jokowi terhadap kinerja para menteri dan pimpinan lembaga beberapa hari lalu berujung “damai”. Tak ada pembubaran lembaga, tak ada reshuffle kabinet.
Hal tersebut disampaikan Menteri Sekretaris Kabinet, Pratikno, melalui tayangan video yang disiarkan ke publik, Senin (5/7). Menurutnya, teguran keras Presiden Jokowi sudah direspon positif melalui peningkatan kinerja para menteri. Karenanya, masih menurut Pratikno, isu reshuffle kabinet tidak relevan.
Respon positif seperti apa? Pratikno menjelaskan antara lain, serapan anggaran di kementerian yang sudah meningkat, dan program yang sudah dieksekuksi.
“Dalam waktu yang relatif singkat, kita melihat progres yang luar biasa di kementerian/lembaga. Antara lain, bisa dilihat dari serapan anggaran yang meningkat, program-program yang sudah mulai berjalan. Artinya, teguran keras tersebut punya arti yang signifikan. Teguran keras itu dilaksanakan dengan cepat oleh kabinet,” jelas profesor yang juga alumni Universitas Gadjah Mada ini.
Penjelasan Mensesneg ini sekaligus memupus isu reshuffle sebagai buntut hebohnya penayangan marah Presiden Jokowi beberapa hari lalu. Lalu, kenapa publik harus dibuat heboh dengan tayangan yang sudah kadaluarsa 10 hari itu, kalau tujuannya hanya untuk menggertak para menteri yang terhitung lelet menyikapi pandemi yang luar biasa ini?
Seperti diketahui, usai disiarkannya tayangan ulang sidang perdana kabinet dalam pertemuan langsung di era pandemi itu hampir semua media terkesima. Selama kurang lebih sepekan setelah itu, hampir tak ada tema politik yang lebih menarik dari pidato marah-marah Presiden Jokowi itu.
Publik pun tiba-tiba berpaling perhatiannya dari kasus RUU HIP yang sempat heboh sebelumnya. Yaitu, sebuah RUU inisiatif DPR yang direspon keras oleh Majelis Ulama Indonesia, dan semua ormas Islam besar seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah.
Apakah ini akhirnya membenarkan penilaian sejumlah pihak bahwa penayangan itu untuk mengalihkan isu yang sangat kritis dan sensitif itu? Meskipun, pemerintah sudah menjelaskan bahwa pihaknya sudah meminta DPR untuk menunda pembahasan RUU itu.
Di sisi lain, tayangan yang boleh jadi memang hanya pantas untuk internal kabinet itu tidak tertutup kemungkinan akan menurunkan wibawa Presiden sendiri di mata anggota kabinet dan rakyat Indonesia. Bahwa, marah yang sekeras itu saja berujung “damai”, apalagi marah dengan tingkat tensi di bawahnya.
Kedua, akan muncul kesimpulan dari rakyat bahwa pemerintahan Jokowi tidak serius menangani wabah corona dan berbagai dampaknya. Karena selama ini, rakyat memang merasakan bahwa kinerja pemerintah terasa lamban dalam perang melawan corona. Antara lain, nasib para tenaga kesehatan yang masih memprihatinkan, belum jelasnya solusi para tenaga kerja yang ter-PHK massal, bantuan kongkrit untuk UMKM yang masih di atas awan, hingga jalan keluar memperbaiki mutu pendidikan di masa pandemi yang terasa masih meraba-raba.
Di tingkat elit, boleh-boleh saja penilaian progres kinerja kementerian dianggap sudah baik, walaupun hanya dalam waktu sepekan. Tapi tidak demikian dalam penglihatan rakyat di bawah. Karena justru di masa pandemi inilah pengeluaran justru menjadi bertambah. Mulai dari kenaikan BPJS, tagihan listrik yang melonjak, biaya rapid tes yang tidak kecil, dan lain-lain.
Sepatutnya, pemerintah berhati-hati mengolah emosi rakyat di masa serba susah ini. Jangan ada lagi tayangan ulang yang tidak perlu untuk konsumsi rakyat. Sebuah tayangan ulang yang lebih terkesan sebagai gertak sambal marah-marah Presiden. (Mh)