ChanelMuslim.com – Mohon izin sharing kondisi rekan saya, seorang kandidat doktor di University of Twente yang harus pulang bersama keluarga dari Belanda ke Indonesia Kamis (14/05/20). Beliau dan keluarga mendarat di Jakarta langsung dibawa ke Wisma Atlet Kemayoran bersama rombongan TNI untuk dikarantina, meskipun rapid test menunjukkan hasil yang non reaktif. Berikut adalah penuturan beliau..
Kami masuk ke Wisma Atlet Kemayoran hari Sabtu siang.
Yang saya amati di gedung C2 Wisma Atlet Kemayonan bahwa social distancing tidak terlaksana sama sekali.
Tidak ada yang perlu disalahkan tapi ada yang bisa dibenahi.
Pihak TNI dan petugas di sini terlihat telah berupaya semaksimal mungkin dengan segala daya yang mereka punya. Namun, penularan terus terjadi. Melalui berbagai pengumuman kami diberitahu bahwa penularan terjadi karena banyak warga wisma turun ke lantai 1. Itu benar, tapi hanya salah satu penyebab. Yang jugs penting digali adalah akar penyebab mengapa orang pergi ke lantai 1? Mengapa orang tetap berdesakan?
Penyebabnya menurut saya sebagai berikut.
SATU
Distribusi makanan dan porsi makanan. Di hari Sabtu, makanan dibagikan di lantai 1. Setiap orang mengambil makanan sendiri ke kantung-kantung plastik di lantai 1. Orang turun ke sana dan berdesakan tanpa jarak.
Hari Senin orang dilarang turun ke lantai 1. Makanan diantar ke setiap lantai. Tapi jumlah makanan selalu kurang sehingga orang mulai berebut. Lagi-lagi, tak ada jaga jarak saat berebut makanan di setiap lantai.
Sahur tadi makanan datang setelah azan subuh. Kami berempat sekeluarga, tapi hanya dapat dua kotak nasi. Malam ini keluarga saya malah tak dapat makanan. Kami puasa dan tadi sahur berempat dengan dua makanan. Malam ini saya terpaksa turun ke lantai 1 mesan makanan lewat gofood.
Mengapa jumlah makanan selalu kurang? Mungkin karena porsi setiap kotaknya terlalu kecil. Anak saya yang besar dan kawan-kawab ABK yang masih muda dan kuat itu butuh porsi paling tidak 3 kali lipat dibanding yang dibagikan. Walhasil mereka ambil lebih dari 1 kotak sehingga yang ingin jaga jarak tak kebagian jatah karena keduluan mereka yang ‘kuat berebut.’ Mereka tak salah mengambil lebih, karena porsinya memang kecil.
Jika cara membagikan makanan tidak diubah, orang tetap akan berdesakan dan berebut makanan. Jika porsi makanan tidak ditambah, orang tetap akan ambil lebih dan yang tak kebagian tetap akan mencari solusi ke lantai 1.
Mulai Senin malam orang dilarang pesan makanan lewat gofood. Pertanyaan: mereka yang tidak dapat makanan akan makan apa, bukankah makanan tidak cukup?
DUA
Penggunaan lift wajib dikontrol ketat. Di hari Sabtu sore, aparat TNI yang menjaga lift di lantai 1 malah berusaha memenuhi lift. Di dalam lift, bahu ketemu bahu. Anak-anak saya ketakutan bersentuhan serapat itu dengan orang-orang yang baru datang dari negara-negara pandemi Covid, saya dan istri juga takut. Sudah 2 bulan lebih kami di rumah saja di Eropa sehingga agak ketakutan bertemu orang serapat itu. Tapi jika menunggu lift sepi, kami tak kan pernah sampai ke kamar di lantai 19. Koper kami 5 dan besar-besar, tak bisa diangkat lewat tangga walaupun kami ingin melakukannya. Pak TNI juga tidak salah karena memenuhi lift, sebab jika lift dibuat sepi, antrian di depan pintu lift akan sangat sangat panjang karena orang sangat ramai dan pendatang baru terus datang.
Lift juga sepertinya jarang (atau mungkin malah tidak pernah) dibersihkan. Bekas tangan dan jari amat jelas di tombol dan dindingnya. Berapa jari sudah menekan tombol-tombol di lift itu? Jari saya juga sering menyentuhnya. Saya alas dengan tissue tapi tentu tak sempurna terlindungi.
TIGA
Kami masuk Wisma Atlet tanpa protokol. Tidak ada aturan main di sini. Minimal kami tidak diberi tahu. Tak ada banner atau tanda-tanda penting di dinding. Orang seolah dituntut untuk cerdas sendiri. Orang tak tahu apa yang dilarang sehingga tetap melakukan kesalahan dan membuat pak TNI marah-marah di mikrofon. Tapi orang tidak tahu protokol kesehatan Covid yang benar itu seperti apa? Masih ada yang keluar kamar tanpa masker. Tidak sedikit yang ngobrol bergerombol sambil berpelukan. Ada yang makan di tangga.
Tidak semua warga wisma ini adalah para pembaca berita. Profesi orang di sini beragam; ABK, TKI, pelajar, dll. Tak semuanya sudah paham sebelum datang ke sini. Perlu ada upaya untuk membuat orang paham dengan pesan-pesan yang gamblang. Bukankah ini adalah pusat pengendalian Covid di Jakarta? Untuk promosi politik dan keberhasilan pejabat banyak infografis cantik, tapi di sini kok tidak ada?
Jadi, segala bentuk ketidakdisiplinan dan pengabaian itu ada latar belakang yang mendorongnya terjadi. Ada resiko besar di balik itu. Itulah yang harus dibenahi segera. Warga wisma ini kebanyakan hanyalah orang-orang yang tak tahu apa-apa saat dibawa ke sini. Kami sekeluarga begitu terkejut saat turun di Soetta langsung diangkut ke sini. Kami tidak dikabari siapapun sebelumnya. Andai kami tahu, mungkin kami memilih tinggal dulu di Eropa yang jauh lebih aman dan nyaman. Hak kami untuk tahu tidak diberikan. Sekarang di sini, hak kami untuk makan dan berjarak pun sedang terancam.
Tolong sampaikan ini kepada orang-orang di atas sana. Mungkin mereka belum tahu detail-detail berbahaya yang sedang berlangsung di sini. Jika tidak ada perubahan sistem, sebaiknya lepaskan saja kami. Di luar sana kami punya ruang yang luas untuk jaga jarak, menjaga diri dan orang lain. Jangan sampai kami yang sehat saat berangkat dari luar negeri justru terjangkit di pusat pengendalian Covid ini. Jangan sampai Wisma Atlet menjadi pusat penularan Covid.
Pengelola wisma melihat masalah dari sudut pandang mereka. Saya melihat dari sudut pandang selaku warga wisma. Tidak untuk menyalahkan siapa-siapa, tapi andai kedua sudut pandang dipertemukan, mungkin kita lebih cepat membuat perbaikan.
Penulis:
Kunaifi
Awardee LPDP program Doktoral di Universitas Twente. Terpaksa pulang ke Indonesia di tengah corona bersama istri dan dua anak karena visa dan beasiswa hampir habis.[ind]