ChanelMuslim.com – Ranjau
Dua tantara multinasional tersesat di padang pasir pedalaman Irak. Keduanya tercecer dari regu pasukan saat dikepung gerilyawan Irak. Kini, mereka sedang berjalan menuju desa terdekat untuk selanjutnya mendapatkan bantuan dari markas.
Terik panas khas gurun begitu menyengat tubuh keduanya. Beban ransel dan senjata laras panjang yang dibawa kian menambah beratnya perjalanan. Sesekali, mereka minum dari kantung air persedian masing-masing. Saat itu, mereka merasakan air jauh lebih penting daripada senjata.
Baca Juga: Ranjau Darat di Jalur Pengungsian Warga Rohingya, KPAI Kutuk Militer Myanmar
Ranjau
Dari kejauhan, keduanya melihat seseorang yang tampak sedang menggali, kemudian berpindah tempat dan menggali lagi. “Apa yang ia gali di padang pasir seperti ini?” ucap salah satu tantara.
Dengan posisi siap kontak senjata, keduanya bergegas mengejar pria yang berpakaian gamis khas warga Arab itu. Tapi, keduanya tak menemukan siapa pun.
Mereka pun melanjutkan perjalanan. Terik panas yang memanggang tubuh dua tantara itu pun memaksanya untuk minum dan minum lagi. Hingga, tak ada perbekalan air sama sekali.
“Aku seperti menyadari sesuatu dari orang misterius tadi,” ucap salah seorang tantara. “Gawat! Kita sedang berada di ladang ranjau. Orang yang kita kejar tadi adalah pemulung yang mencari ranjau di kawasan tak bertuan ini,” lanjutnya sambil menghentikan langkah.
Rekannya bukan hanya tidak menghentikan langkah, tapi justru mentertawakan. “Ayolah teman, mana ada ladang ranjau di kawasan terbuka luas ini. Kamu hanya dipermainkan halusinasi karena haus,” ucapnya sambil tertawa.
“Dor!” Suara bom meledak persis di bawah kaki rekan tantara yang belum selesai tertawa itu. Rupanya, ia terkena ranjau darat. Kedua kaki hingga sebagian tubuhnya luka parah. Dan, nyawanya tak tertolong.
Sang tentara satunya lagi terkejut. Saat hendak bergerak untuk memeriksa keadaan rekannya yang hanya berjarak lima meter itu, ia terasa seperti menginjak benda keras di kaki kanannya. Sontak langkahnya terhenti. Wajahnya pucat. Sekujur tubuhnya tiba-tiba berkeringat dingin.
Teori kemiliteran mengajarkannya bahwa jika menginjak ranjau yang belum meledak, jangan lepas pijakan. Tetapkan posisi pijakan di ranjau itu. Jika tidak memahami ranjau, jangan coba-coba melakukan penjinakan. Tunggu bantuan datang.
Syukurnya, radio komunikasi ada padanya. Perlahan, sang tentara menghidupkan alat komunikasi satelit itu. “Mayday…mayday. Ada petugas terluka. Mohon bantuan segera! Tolong respon!” ucapnya.
“Pesan diterima. Posisi Anda sudah diketahui. Pasukan terdekat akan kesana dengan waktu tempuh 25 jam. Pesawat helikopter tidak bisa memasuki kawasan tempat Anda berada,” ucap suara dari radio itu.
“Maaf, Pak. Situasi tidak seperti yang dibayangkan. Kaki kanan saya terinjak ranjau dan belum meledak. Saya rasa tidak kuat menunggu selama itu,” ucapnya kemudian.
“Jika tidak bisa menunggu, lakukan penyelamatan darurat dengan memperkecil luka yang mungkin terjadi,” respon di radio itu.
Sang tentara pun terdiam. Begitupun dengan suara di radio. Ia menekan tombol jam di lengannya untuk menghitung mundur jam untuk lama waktu 25 jam.
Kini, sang tentara hanya seorang diri bersama jenazah rekannya di belantara gurun pasir nan terik menyengat. Kaki kanannya tak mampu bergerak menahan pijakan ranjau di bawah sepatunya. Tubuhnya seperti kaku. Hanya tangan, kepala, dan matanya yang bisa ia gerakan ke berbagai arah.
Hari menjelang sore. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari-cari kalau ada gerakan gerilyawan yang akan menembaknya. Tiba-tiba, seseorang berteriak tak jauh dari posisinya berdiri. “Hei, kamu sedang apa? Hei, apa kamu dengar saya?”
Ternyata, suara itu berasal dari lelaki misterius yang tadi ia bersama temannya kejar. “Siapa kamu? Angkat tangan!” sahut sang tentara sembari membidik lelaki itu dengan pistol di tangannya.
“Tenang! Aku bukan musuhmu. Aku hanya pemulung yang sedang mencari ranjau!” teriak lelaki dengan pakaian khas Arab itu. Perlahan, ia melangkah menuju sang tentara yang tampak seperti patung di tengah gurun.
Sang tentara pun menurunkan pistolnya. Ia melihat sesuatu yang aneh dari cara lelaki itu melangkah. Ia tidak langsung melangkah ke depan, melainkan menyamping seperti bergeraknya kepiting.
Ketika lelaki itu berada persis di depan sang tentara, ia bilang, “Ada apa dengan kakimu? Kenapa kaku tidak melangkah?”
“Aku menginjak ranjau,” ucapnya seraya tangannya masih memegang pistol.
“Kenapa kamu menginjak ranjau?” tanya si lelaki itu. “Kenapa kamu ada di kawasan ini? Apa kamu seperti aku sebagai pemulung miskin?” lanjutnya.
“Mohon tolong aku. Gali dan ambil ranjau di bawah kaki kananku ini,” terdengar suara pelan dari mulut tentara.
“Maaf, aku tidak bisa mengambil ranjau yang sudah siap meledak. Aku akan menolongmu dengan cara yang lain,” ucapnya begitu tenang.
“Apa itu?” ucap sang tentara. Lelaki itu pun mengeluarkan kantung air dari balik gamisnya. “Ini persediaan airku. Kamu lebih butuh ini,” ucapnya sambil beranjak meninggalkan sang tentara yang masih tak mengerti dengan sosok si pemulung itu.
“Hei, tentara!” ucapnya setelah berhenti dari langkahnya. “Ayo melangkahlah. Buat dirimu merdeka. Kamu bebas bergerak kemana pun. Jangan mematung seperti itu!” ucapnya untuk kemudian pergi.
Sang tentara langsung meneguk air hadiah pemulung itu. Kini, ia kembali sendiri mengarungi malam sepi di tengah gelapnya gurun. Malam pun kian larut. Sang tentara mulai mendengar suara longlongan kelompok srigala. Saling bersahut.
Suara itu kian terdengar jelas. Erangan-erangan buas dari srigala mulai ia dengar jelas. Ia keluarkan pistol dan senter di kedua belah tangannya. Bagi srigala, posisi sang tentara persis seperti domba yang terikat tak berdaya di tengah kepungan.
Malam itu, sang tentara menghabiskan semua pelurunya untuk menembaki srigala, satu per satu. Hingga, peluru pun habis dan malam belum juga berakhir. Satu srigala melesat cepat menerjang tubuh si tentara. Hampir saja, kaki kanannya melangkah. Ia berusaha kuat melawan srigala terakhir itu dengan pisau komandonya. Tangannya terluka, tapi srigala berhasil ia bunuh.
Malam pun berakhir. Pagi kembali tiba, dan perlahan tapi pasti, panas terik pun menyambangi sang tentara. Dalam keadaan terluka, sang tentara kembali menghidupkan radio di ranselnya. “Apa Anda masih di posisi?” ucap suara di radio.
“Ya, aku masih di sini,” jawabnya cepat. Ia menarik napas lega. Tak lama lagi, sepertinya ia akan mendapati kunjungan bantuan.
“Halo, ada sedikit keterlambatan dari regu yang akan menyelamatkan Anda. Mereka dihadang pasukan gerilyawan dalam perjalanan. Mohon untuk menunggu. Mereka butuh waktu tambahan 10 jam lagi,” suara radio itu kembali berucap.
Sang tentara pun terdiam lebih kaku dari sebelumnya. Selama sehari semalam itu, ia hanya minum sedikit air dan memakan kue ringan yang ada di kantungnya. Berdiri, dengan kaki kanan yang tak bisa digerakkan.
Suara di radio itu baginya lebih dahsyat dari serangan srigala semalam. Bagaimana mungkin ia bisa bertahan untuk 10 jam lagi, padahal untuk 30 menit ia tak akan bisa bertahan.
Kepalanya tiba-tiba pusing. Tubuhnya seperti tak lagi bertulang. Suara sang pemulung yang memintanya untuk melangkah kian membuatnya tak lagi fokus. Semalaman suntuk ia tidur sedikit pun. Tubuhnya kian lunglai. Ia pun akhirnya terhuyung dan jatuh pingsan.
Lama sang tentara tergeletak tak berdaya di padang pasir itu. Ia pun siuman. Didapatinya beberapa orang memapah tubuhnya untuk berdiri.
Matanya mulai terbuka. Beberapa orang tentara penjinak bom sudah berada di sampingnya. Perlahan, ia menoleh ke arah kaki kanannya, untuk memastikan apakah masih utuh.
Sang tentara pun tersenyum. Kaki kanannya masih utuh. Tapi, bagaimana mungkin? Bukankah ia tanpa sadar terjatuh yang berarti melepas pijakan ranjau dari kaki kanannya.
“Teman, yang kau injak itu bukan ranjau. Tapi hanya kaleng ini,” ucap seorang penjinak bom sambil memperlihatkan wajah kaleng dari balik tumpukan pasir.
“Oh, terima kasih Tuhan. Betapa bodohnya aku!” gumamnya saat berada di atas tandu pertolongan.
**
Kita, apa pun latar belakang kita, boleh jadi persis seperti sang tentara di saat kepungan opini, berita, informasi, tentang sesuatu yang kita takutkan. Kaki dan tubuh kita kaku tak mampu bergerak sedikit pun. Kita pun menyiksa diri dengan seribu satu ketakutan.
Mungkin benar apa yang diucapkan sang pemulung ranjau dengan perkataan, “melangkahlah”. Karena Allah telah menciptakan kita bukan hanya dengan keistimewaan kaki dan tangan. Tapi, akal pikiran. Berkreasilah, karena masih banyak karya bentuk lain yang bisa kita ciptakan. (Mh)