oleh: Aisyah Karim (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
ChanelMuslim.com – Di tengah pemberitaan tentang virus corona, muncul peliputan soal mahasiswa-mahasiswa Aceh yang terjebak di Wuhan. Liputan6.com melalui wawancara dengan Ita Kurniawati, mahasiswa Aceh yang belajar di Wuhan University menyebut terdapat 63 mahasiswa Aceh di seluruh Tiongkok, 33 orang di antaranya berada di Wuhan. Sejak kapan anak-anak Aceh belajar ke China? Apakah mereka berangkat mandiri ataukah dengan sponsor? Siapa sponsor itu, Chinakah?
Sebuah catatan akan saya buka kembali, untuk memudahkan para pembaca mengaitkan fakta ini dengan fenomena berkuliahnya anak-anak Aceh di China, termasuk keberlanjutan kepentingan China ke depan di Aceh. Tahun 2011, Badan Koordinasi Pendidikan Bahasa Mandarin (BKPBM) Aceh membuka cabangnya di Banda Aceh. Seperti halnya di Jakarta, BKPBM Aceh membantu memfasilitasi beragam pelatihan untuk guru, serta memberikan pendidikan bahasa Mandarin bagi pelajar maupun masyarakat Aceh sebelum menempuh pendidikan ke China.
BKPBM Aceh kini sudah menjalin kerja sama dengan sejumlah universitas. Sebutlah UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Huazhong University Science and Technology Hubei, Nanchang University of China serta Nanjing University of China. Rutin mengirimkan wakilnya ke China, BKPBM Aceh diisi oleh pengajar alumni dari universitas terakreditasi di China dan tenaga profesional yang didatangkan langsung dari China. BKPBM juga memfasilitasi mahasiswa untuk mendapatkan beasiswa full scholarship serta pembuatan visa dan penerjemahan bahasa asing (tribunnews 20/12/2018).
Tahun 2014, sebanyak 7 alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry kembali memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke berbagai universitas ternama di China. BKPBM juga telah mengirimkan 2 orang untuk melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi bahasa Asing Persahabatan Internasional Asia di Medan serta 2 orang pada jurusan Sastra Mandarin di Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta. Di UIN Ar-Raniry juga telah didirikan Pusat Studi China, selama ini calon mahasiswa yang akan melanjutkan kuliah di China dibekali bahasa Mandarin di PSC, selain itu, juga banyak mahasiswa UIN Ar-Raniry yang tertarik mengikuti pendidikan bahasa Mandarin, ini terlihat pada banyak peminat untuk menjadi peserta kursus bahasa mandarin di PSC selama ini (aceh.kemenag.go.id).
Tahun 2018 terjadi kisruh di Pidie Jaya. Kisruh ini meledak karena pembangunan kampus Akademi Komunitas Negeri (AKN) yang didanai oleh Yayasan Budha Tzu Chi Indonesia. Masyarakat dan ulama menolak. Tak tanggung-tanggung dana yang akan digelontorkan senilai Rp25 miliar sumbangan dari 18.000 relawan Buddha Tzu Chi di Sumatera Utara.
Kisruh terjadi bukan hanya karena ghirah keislaman masyarakat yang masih menyala, namun merupakan bentuk pembelaan atas izzah yang mulai luntur di kalangan pemegang kekuasaan daerah. Sejumlah aktivitas pada prosesi peletakan batu pertama sarat dengan budaya China yang notabene adalah budaya kafir, pencantuman tulisan China pada monumen yang dibangun menyiratkan lemahnya bergaining position masyarakat Aceh yang notabene masyarakat muslim pemilik tempat. Ditambah dengan berbagai pembenaran yang diberikan oleh kalangan pemerintahan, yayasan advokasi, dan kalangan muda yang menyebut dirinya intelektual muda Aceh untuk membela China.
Logikanya, jika Anda menawarkan bantuan dan orang yang Anda tawari menolak, seharusnya Anda berlapang dada bukan? namun tidak demikian dengan Yayasan Budha Tzu Chi, ketika pembangunan kampus terhenti karena penolakan masyarakat, mereka pantang menyerah. Bersama Dewan Pengurus Daerah, Aksi Kesetiakawanan Sosial Indonesia Raya (DPD AKSIRA) Provinsi Sumatera Utara dan Aceh, pada Jumat 16 Februari 2018 berkunjung ke Dayah Al-Muhajirin menemui Abi Lampisang. Dalam kunjungannya Ketua Budha Tzu Chi, Mujianto, menyampaikan bahwa ulama memiliki peran yang sangat penting dalam upaya mencerahkan, mencerdaskan dan membimbing umat. Bisa ditebak bukan arahnya ke mana? Mereka merayu ulama untuk memuluskan jalannya. Langkah yang sangat berani.
Pada Juli 2019, Badan BKPBM menawarkan kuota beasiswa untuk mahasiswa Aceh. Hal ini disampaikan oleh Chief Executive atau Ketua Dewan Pelaksana BKKBM, Arifin Zain, saat memberikan sambutan dalam acara penutupan Pelatihan Bahasa Inggris dan Mandarin untuk Tes Akademik Gelombang I di aula BPDSM Aceh (mediaaceh.co). Chinese Proficiency Test (HSK) gelombang III bahkan diadakan di Pondok Pesantren Ruhul Islam Anak Bangsa (RIAB), Aceh Besar.
Penjajahan politik tidak terjadi begitu saja, China telah dengan penuh kesabaran, sistemik dan serius menancapkan kuku-kuku kekuasaannya melalui metode klasik hutang budi, yaitu pemberian beasiswa. Program ini menghantarkan China memenuhi target penjajahan pemikiran diikuti penjajahan budaya untuk kemudian merealisasikan penjajahan ekonomi dan politik. Langkah pertama adalah dengan menyiapkan agen-agen di jantung target. Agen tersebut, bahkan bisa jadi tidak menyadari semua proses ini, mereka akan berdiri di garda terdepan membela tuannya, baik secara langsung ataupun tidak langsung tersebab hutang budi.
Pembaca mau bukti? Mari perhatikan secara mendalam, video-video testimoni corona. Para mahasiswa Indonesia merilis Vlog dengan menyusuri jalanan sepi Wuhan, karena memang sedang winter vacancy katanya. Semua sehat, stok makanan cukup hanya saja tidak bebas keluar rumah untuk menghindari terinfeksi. Sisanya, berharap mendapat jemputan secepatnya. Bandingkan dengan rekaman penduduk lokal, gambar-gambar mengisyaratkan horor, ketakutan dan kepanikan yang melanda warga disertai suara tangisan dan ekspresi depresi kalangan medis.
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Asep Saefuddin pada 2017 diundang menghadiri Konferensi Confucius Institute (CI) yang ke 12 di Xi’an, China. Perhelatan yang berlangsung selama tiga hari (12-14 Desember 2017) ini dihadiri oleh sekitar 3000 peserta dari seluruh dunia. Mereka adalah para Rektor, Direktur dan tim pengkaji di universitas yang memiliki CI. Acara dibuka oleh Wakil PM Tiongkok yang intinya menekankan pesan perdamaian dalam kerangka OBOR (One Belt One Road). Padahal OBOR sendiri adalah proyek penjajahan gaya baru Tiongkok.
Di Indonesia, CI ini diberi nama PBM atau Pusat Bahasa Mandarin. Sementara ini ada enam PBM, yaitu di Unhas (Makassar), Untan (Pontianak), Unnesa (Surabaya), UM (Malang), Universitas Maranatha (Bandung), dan Universitas Al Azhar Indonesia (Jakarta). Di seluruh dunia, CI atau PBM ini mempunyai kegiatan yang relatif sama, yaitu penguasaan/penguatan bahasa Mandarin, seni, dan budaya Tiongkok.
Lembaga itu mengambil nama seorang filosof Tiongkok, yakni Confucius, yang sangat menekankan nilai-nilai kemanusiaan, kebaikan, kejujuran dalam kehidupan termasuk politik. Confucius Institute mirip dengan lembaga sejenis yang dimiliki oleh negara lain, misalnya German dengan Goethe Institute. Hanya, kelebihan CI itu selalu bekerja sama dengan Universitas. Saat ini, jumlah CI paling banyak ada di USA, bekerja sama dengan 110 universitas.
Sang Rektor melihat pola pembentukan CI ini termasuk upaya genius dalam memperkenalkan Tiongkok secara lebih saintifik dan akademik (soft approach). Dengan demikian, negara-negara dunia akan lebih mengenal dan memahami Tiongkok secara lebih rasional. Begitu juga melalui konferensi CI tahunan, para delegasi bisa melihat langsung pembangunan di Tiongkok dan kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat.
Mengapa diplomasi publik demikian penting bagi China? Tidak lain karena China adalah negeri yang layak baginya diumpamakan seperti serigala berbulu domba. Melalui Xinjiang, China telah menjelaskan kepada kita semua kebusukannya. Bentangan OBOR merupakan bentuk penjajahan yang terus dideraskan guna menjagal proyek Pan Pacific saingannya, Amerika.
Lalu di mana kaitannya dengan anak-anak Aceh? Mereka disiapkan sebagai agen yang akan meneruskan `pesan-pesan perdamaian’ ke dalam masyarakatnya untuk kemudian membuka penerimaan masyarakat terhadap China. Pola yang sama telah mensukseskan Kafir Barat menghancurkan Khilafah Utsmani dengan program beasiswa anak-anak Turki ke Eropa. Di Paris, mereka membuat kelompok rahasia yang terus bergerak ketika dikembalikan ke jantung Khilafah. Merekalah yang kemudian membubarkan Khilafah.
Setelah ini, akankah banyak intelektual-intelektual muda muslim Aceh yang berdiri mendukung kepentingan China di Aceh. Kita tunggu saja.[ind]